Ch IX

7 1 0
                                    

Awan cerah dengan angin sepoi-sepoi sangat cocok buat otaknya berpikir sekali lagi. Kejadian tersebut selalu membekas dalam memorinya dan memaksa keingintahuannya untuk terus mencari siapa gadis di balik sepatu itu. Namun, jawaban yang ia cari-cari belum dapat ia temukan.

"Woi, Xavir! Bengong terus dah."

Yessay tiba-tiba menepuk punggung Xavir terlalu keras hampir membuat laki-laki itu terjungkal ke depan. Hanya saja laki-laki itu tahu kebiasaan Yessay jadi tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut.

"Masih mikirin sepatu itu? Kalau ternyata yang punya sepatu itu cowok gimana. Mending gak usah dicari sih kalau kata aku."

Ia mendelik ke arah orang yang baru saja duduk di sampingnya. "Diam deh Yes! Ngerusak suasana tahu, gak mungkin lah yang aku ajak dansa laki-laki."

"Yeee, dari seratus persen akan ada kemungkinan satu persennya, Xa. Apalagi pakai topeng gitu, pas dibuka tahu-tahunya laki-laki," ucap Yessay kabur dari sofa yang diduduki oleh Xavir. Laki-laki itu selalu saja memanfaatkan suasana untuk membuat kekonyolannya sendiri.

"YESSAYYYYY!" teriak seseorang yang ada di lantai dua meneriaki nama Yessay berkali-kali karena lagi-lagi menyembunyikan handphone milik saudaranya itu.

"Kamu apain lagi tuh, gorila mulai ngamuk. Aku gak tanggungjawab ya."

Teriakan itu membuyarkan pertengkaran kecil mereka sementara karena dua saudara kembar tidak identik ini kembali mengibarkan bendera perang satu sama lain. Yessay hanya mengeluarkan tawa tanpa memiliki niat untuk mengembalikan handphone yang ia sembunyikan.

"Yessay, kenapa tuh yang di atas ngamuk-ngamuk?" Zihan yang baru saja tiba di rumah Yessay hanya membeku di ambang pintu setelah disambut teriakan yang sudah tidak asing lagi. Sepertinya, setiap kali ia ke sana, hanya teriakan yang ia dengar pertama.

Ia mencoba bersembunyi di antara sela-sela sofa di ruang tamu miliknya menghindari saudaranya yang mulai turun mencari Yessay. "Sssttttt, jangan kasih tau aku di mana."

"Tanpa aku beritahu pun dia akan tahu sendiri," gumam Zihan tanpa memperdulikan lagi drama dua saudara gorila ini. Ia langsung mengambil tempat di samping Xavir yang juga sedang berada di dunianya.

"Oh, hai Yasmine."

Gadis itu memutar matanya malas harus melihat sekawanan ini hampir setiap hari, di rumah maupun di sekolah. "Yasmin, Y-A-S-M-I-N!"

"Yasmine lebih terdengar bagus. Di akta kelahiran kamu kan namanya Yasmine Ardina juga."

Rasanya gadis itu ingin mengusir saja semua orang yang ada di rumahnya termasuk saudaranya, Yessay. Dijelaskan berapa kali pun, Zihan sepertinya akan tetap memanggilnya dengan nama itu. Namun sangat terdengar aneh bukan, namanya dibaca seperti bahasa Inggris.

"Di mana Yessay?!"

"Gak tau."

"Aku gak tanya kamu, Xavir. Aku tanya Zihan yang pasti jujur. Yessay di mana?!"

Tidak ada yang sanggup untuk melawan Yasmin kalau ia sudah mengeluarkan nada tinggi seperti ini. Setiap kalimatnya seperti ada tanda perintah daripada tanda tanya.

"Tuh, samping sofa."

Yasmin mengepalkan tangannya siap menghajar Yessay tanpa henti. Namun, Yessay segera mempercepat langkahnya meninggalkan Yasmin dan kedua temannya. Gadis itu tentu saja tidak akan mengalah dan langsung mengejar Yessay sampai ke ujung dunia pun.

Mereka memang cocok menjadi saudara, batin kedua laki-laki itu bersamaan.

"Apa yang sedang kau lakukan dengan sepatu ini?"

Sebuah sepatu yang kehilangan pasangannya ternyata sudah berpindah tempat yang tadinya berada di atas meja sekarang berada di genggaman laki-laki itu.

"Sedang berpikir. Ah, padahal aku sudah memeriksa undangan yang ada saat itu."

"Lalu, kau menemukannya?" tanya Zihan agak ragu. Ia tahu Xavir akan menemukan siapa pemilik sepatu itu, ini hanya masalah waktu cepat atau lambat. Namun, Zihan sendiri merasa tidak enak karena dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, pemilik sepatu itu memilih untuk diam.

"Masih pencarian. Seperti kita harus turun tangan langsung untuk mencari."

"Sebentar, kita?"

Kepalanya mengangguk sangat serius. Tatapannya tajam menatap sepatu itu tanpa ragu. Zihan tak tahu lagi apa yang sedang ada di otak Xavir sekarang.

"Sebagian dari para undangan yang hadir, ada tujuh puluh persen anak dari sekolah kita dan empat puluh persennya adalah cewek. Kalau dihitung, sekitar tiga puluh tiga cewek yang datang."

"Lalu?" Zihan masih tidak menemukan alasan mengapa mereka harus langsung mencari terlebih lagi bukan Xavir sendiri yang mencari, tapi the XYZ.

"Kita bisa mencari sendiri di sekolah."

Zihan menghela nafasnya berat. Kenapa dia harus ikut mencari, apalagi sebenarnya dia tahu jawabannya tapi harus mencari bersama seakan-akan ia tidak tahu apa-apa.

"Kalau ketemu, apa yang akan kau lakukan?"

Sudut bibirnya tertarik menampakkan matanya yang kian menyipit. "Menagih hadiah ulang tahunku."

"Apa kau tidak apa-apa? Maksudnya, kau tahu, Ibumu tidak akan membiarkan kau membuang waktu di sekolah seperti ini."

Senyuman manis yang baru saja ia terbitkan kini kembali datar. "Aku tahu. Ini bukan apa-apa, aku sudah pernah mendapatkan yang lebih parah. Jadi aku rasa, ini bukanlah apa-apa."

"Woi bro!" Yessay dengan nafasnya yang ngos-ngosan menghampiri Zihan dan Xavir, melempar handphone milik Yasmin ke arah Zihan secara tiba-tiba dan melanjutkan larinya ke arah luar rumah. Mereka hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Yessay yang tidak kapok dengan Yasmin.

Satu anak lagi menghampiri mereka berdua. Kondisinya pun tidak jauh berbeda dengan saudaranya.

"Hah, hei! Kemana dia pergi. Awas ya sengaja bohongi."

Zihan bangun dari rasa nyamannya pada sofa dan mengacak rambut Yasmin yang sudah kacau tambah semrawut.

"Yaaa! Aku tanya Yessay lari ke mana, bukan nyuruh buat aku kesal lagi," bentak Yasmin sembari menepis tangan Zihan yang sedang mengacak rambutnya.

Laki-laki itu sudah terbiasa dengan bentakan Yasmin sehingga ia hanya tertawa kecil dan terasa geli melihat Yasmin yang lucu tiap kali ia marah.

"Zi, mending langsung kasih aja. Habis ini pasti aku yang dibentak."

Gadis itu mendelik ke arah Xavir membuat laki-laki itu hanya terdiam membungkam mulutnya. Xavir merasa ada sebuah trauma yang tidak bisa hilang melihat Yasmin. Waktu kecil, Xavir menjadi orang kedua yang sering menjadi objek pelampiasan Yasmin setelah Yessay. Syukurlah semakin dewasa, yang menjadi objek kedua berpindah ke arah Zihan.

"Ini handphone kamu. Udah kamu istirahat saja sana gak usah ngejar lagi. Orangnya udah kabur keluar."

Gadis itu langsung merampas miliknya dan naik lagi ke lantai dua menuju kamarnya. Melanjutkan kegiatanbyang sempat tertunda karena aksi jahil saudaranya itu.

"Ya sudah, aku pulang duluan. Besok aku bakal kasih tahu rencana apa buat cari sepatu ini di sekolah."

Xavir dengan sigap memasukkan sepatu tersebut ke dalam kotak kosong yang ia bawa dan menyimpannya ke dalam tas. Berpamitan kepada Zihan yang tanpa Xavir sadari temannya sedang gelisah apa yang harus ia lakukan agar ia tidak terlalu dalam memainkan peran yang menurutnya serba salah ini. [22:413]

🌸

1057

Masquerella Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang