Suara sirine terdengar keras dan kian dekat. Membuat langkah duo mabuk—yang masih berjarak dua meter dari Abyasa dan Zahara—terhenti.
“Bos, polisi datang. Mesti gimana ini, Bos?” tanya pemabuk berbadan kurus.
“Shit, Dasar, sialan! Cabut Bro. Elu mau ditangkep pak pulisi lagi. Gue baru aja nikmatin kebebasan bro.”
“Polisi Bos bukan Pulisi.”
“Ahh! Persetan dengan itu!”
Lantas pria berbadan besar memandang marah pada Abyasa dan Zahara.
“Hei, pelajar sialan, kali ini kalian beruntung. Jangan harap aman kalo gue liat muke-muke lu lagi. Dasar sialan!!!” umpatnya, lalu meludah ke samping. Lantas mereka berlari dengan cepatnya ketika suara sirine makin jelas terdengar.
Abyasa menoleh ke asal suara, tidak dilihatnya mobil polisi. Diedarkannya pandangan ke sekeliling. Tetap tidak terlihat, tetapi muncul lelaki seumuran orangtuanya dari balik pohon besar, tidak jauh dari mereka. Di tangannya ada sebuah ponsel yang terhubung dengan speaker mini di tangan satunya.
“Mang Bayan! Jadi sirine tadi …,”
Lelaki yang dipanggil Mang Bayan tersenyum lebar sambil mengangkat tinggi benda yang ia pegang. “Berhasil ‘kan,” ucapnya bangga.
“Alhamdulillah. Mang Bayan Allah kirim buat nolong kami. Benar-benar cemerlang idenya, Mang.” Abyasa menyodorkan dua jempolnya pada pria yang telah menyelamatkan mereka, sambil tersenyum penuh kemenangan.
“Apa ia terkilir?” Mang Bayan bertanya kondisi Zahara.
“Iya, Mang. Tampaknya begitu.”
“Kita ke rumah Mamang dulu, Apalagi ini mulai gerimis. Tuntun temanmu berjalan ke sana. Istri Mamang insyaallah bisa menyembuhkan kakinya. Ia ahli dalam hal urut-mengurut.”
Sambil diurut, Abyasa menjelaskan pada Zahara bahwa Mang Bayan adalah penjaga danau sejak Mang Bayan bujangan. Abyasa dan ibunya menjadi akrab dengannya dimulai ketika Mang Bayan menyelamatkan Abyasa ketika tercebur ke dalam danau saat Abyasa berumur delapan tahun.
***
Sesampainya di rumah setelah mengantar Zahara pulang, Abyasa mendapati paket berbentuk kotak berukuran besar kiriman dari ibunya, berada si atas meja ruang tamu. Di atas paket tertempel sebuah kartu. Abyasa melepaskan kartu dari paket, ia buka dan terlihat deretan kata di sana.
‘Saat melihat jaket ini, ibu teringat kamu yang selalu memakai jaket saat pergi dan pulang sekolah. Semoga anak kesayangan ibu menyukainya. Dari ibumu yang kini telah di Singapur.’
Abyasa tersenyum, lalu berubah sendu. Cepat sekali ibunya sudah berpindah ke negara lain. Kegiatan workshop membuat ibu dan anak itu semakin jarang berinteraksi. Namun, wajahnya kembali cerah saat ditatapnya kotak berwarna coklat itu.
Dibawanya paket itu ke kamar. Ia lepaskan jaket kuning yang dikenakan lalu menggantungnya. Dibukanya paket tersebut dengan antusias. Jaket biru muda ber-list hitam ia bentangkan di atas kasur, dipandanginya dengan mata berbinar. Dipakaikannya ke tubuhnya yang atletis itu.
“Akan kupakai mulai besok ke sekolah.”
***
Zahara berjalan menuju kelas, tangan kanannya menyentuh leher sebelah kiri yang tertutup koyo. Digerakkannya leher ke kanan dan kiri. Ia menyesal tidak sekalian minta diurut pada istri Mang Bayan, rasa nyeri di kaki membuat lupa bahwa lehernya juga sakit.
Sampai di kelas, baru saja duduk di bangku, Prasetyo menghampirinya dan duduk di kursi dekat Zahara yang masih kosong.
“Ara. Sore kemaren kau ke mana? Aku meneleponmu. Ponselmu gak aktif, jadi aku menelepon Dila. Ada beberapa kali aku menelpon adikmu, tapi masih saja kau belum pulang.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Nyanyian Hujan
Romance'Melihat hujan mengingatkanku akan dirimu. Suara hujan menuntunku mendendangkan kesedihan karna kehilanganmu. Titik-titik hujan yang jatuh ke bumi, menyadarkanku bahwa kau tak lagi bersamaku di sini, di dunia ini.' Bagi Zahara Nadindra, hujan adalah...