Cinta Bersemi

6 0 0
                                    

Abyasa malam ini mencari makan di luar, hal yang sering ia lakukan sejak pindah ke Cibubur. Ibunya telah berangkat ke Korea sore tadi. 

Saat melewati sebuah restoran, melalui dinding kaca yang transparan, Abyasa menyaksikan sebuah keluarga sedang mengobrol sembari tertawa. Mereka tampak bahagia. Entah apa yang diobrolkan oleh laki-laki dan wanita paruh baya beserta remaja pria dan seorang gadis di sana. Pemandangan yang membuat Abyasa makin membenci mereka. Abyasa pun pulang, dan melupakan makan malamnya hari ini.

Di lain pihak, Abyasa tidak tahu bahwa keluarga itu sedang membicarakan dirinya.

“Benarkah ada orang sejenius itu, Ayah?” tanya gadis berwajah ayu, mulutnya penuh makanan.

“Kenapa kalo beneran ada, naksir? Lagipula kalo ngomong, habiskan dulu makanan dalam mulutmu. Gak baik begitu.”

“Ihhh, Bang Pras, pake ngomongin aku naksir-naksiran. Bang Pras tu yang naksir Kak Ara. Ayo ngaku?” Gadis itu menjulurkan lidah, mengejek Prasetyo. Prasetyo maupun orangtuanya tertawa melihat tingkah adik Prasetyo itu.

“Menurutmu dia masuk ke sekolah yang sama dengan Pras?” Ibu prasetyo bertanya pada ayahnya.

“Iya, kurasa.”

“Sejak kapan kau punya seorang jenius matematika di sekolah?” wanita paruh baya di samping Pras menoleh kepadanya.

Pras berkata ia tidak habis pikir siapa itu, karena baginya Zahara yang paling pintar matematika. Ibunya menggoda Prasetyo dengan mengatakan bagi anak laki-lakinya itu tidak ada yang tidak bisa Zahara lakukan. Pras tertawa.

Ayah Prasetyo teringat bahwa sebentar lagi bertepatan dengan tanggal kematian ayah Zahara. Profesor Adam selalu berziarah ke makamnya, mengikuti keluarga Zahara yang terbiasa melakukannya, sekedar membersihkan kuburan dan berdoa bersama untuk almarhum, sekaligus penawar rindu bagi mereka. Ia menawari Prasetyo untuk ikut.

“Kau sudah bertahun-tahun menziarahi makamnya dengan rutin. Bahkan saudara dekat belum tentu melakukan itu.” Ibu Prasetyo merasa keberatan.

“Sayang …. Ini hanya dilakukan setahun sekali. Bahkan kau tau ayah Zahara bukan sekedar teman akrab bagiku.”

***

UTS kali ini, untuk pelajaran PJOK, dilakukan di sekitar Danau Jambore atau dikenal juga dengan BUPERTA (Bumi Perkemahan dan Wisata). Awalnya akan diadakan di GOR POPKI, tetapi semua murid kompak meminta pada gurunya agar dipindah ke Danau Jambore saja. Selain letaknya saling berdekatan, di BUPERTA juga terasa lebih adem dan sejuk. Apalagi di jam sekolah seperti saat ini, tidak akan ramai. Guru bersangkutan menyetujui.

Ketika pengambilan nilai lari mengelilingi lapangan, saat sesi terakhir Abyasa, Prasetyo, Arvin dan dua siswa laki-laki lainnya bertemu dalam kelompok yang sama. Abyasa selalu berusaha mengejar Prasetyo, dia sengaja menabrak Prasetyo tiap kali berhasil mendahului temannya itu. Berulang kali Abyasa lakukan.

Begitu pun dengan jenis olahraga lain, ia selalu mencegah Prasetyo untuk menguasai pertandingan. Prasetyo heran dan bingung dengan tindakan Abyasa, tetapi ia berusaha menahan diri. Kejadian demi kejadian itu tak luput dari pandangan Zahara.

***

“Ara, kenapa buru-buru? gak balik bareng kita?” Inur yang biasanya pulang sekolah bersama Prasetyo dan Zahara, karena rumah mereka searah, hanya beda komplek dengan Inur, heran melihat sahabatnya itu tidak menunggunya.

“Kau duluan aja ya. Aku mau mampir ke suatu tempat dulu. Katakan sama Pras, sampaikan ke ibuku kalo aku terlambat pulang.”

Zahara menyadari gantungan tas yang selalu ada di gagang resleting tasnya sudah tidak ada, saat ia memasukkan buku-buku sebelum bel pulang berbunyi. Sudah dicari-carinya di sekitar tempat duduk. Namun, tidak ketemu. Terakhir kali ia melihatnya masih tergantung di tas saat di danau tadi. Gadis manis, yang tidak menyadari kecantikannya itu pun bergegas pergi ke danau.

Nyanyian HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang