16. Obsesi

1.5K 440 46
                                    


Assalamualaikum, masyaallah rindu kalian semua.
Happy baca kembali
Sorry for typo
.
.
.

Pamit dari rumah mama, Barra langsung melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Kakinya melangkah menuju ruang perawatan anak, setelah berhasil memarkir kendaraan miliknya. Sepanjang ayunan kaki lelaki tiga puluh tiga tahun itu banyak merangkai kalimat yang akan dia bicarakan pada Kamela nanti. Iya, tujuannya selain ingin memastikan keadaan Ara, juga karena Barra ingin Mela bisa memahami pilihannya. Harapannya semoga saja setelah ini Kamela bisa mengerti dan tidak keras hati ingin tetap bersaing dengan Aluna untuk mendapatkannya.

Koridor rumah sakit nampak lengang. Sesekali Barra berpapasan dengan para suster atau keluarga pasien lain yang juga sedang menunggui kerabatnya. Dia lantas memasuki lift menuju lantai tiga - tempat ruang perawatan anak berada.

Merapal salam sembari menguak daun pintu saat Barra memasuki ruang perawatan Ara. Kamela langsung menyambut.

"Wa'alaikumussalam, Mas," sahutnya dibarengi senyum tipis.

Barra langsung menyongsong bed perawatan Ara, memeriksa gadis kecil yang tengah terlelap tersebut dengan meraba kening, serta leher Ara.

"Sudah agak turun demamnya Mas, sudah lebih anteng juga." Kamela menukas polah Barra. Perempuan itu duduki sofa, matanya isyaratkan pada Barra agar bergabung di sana. Barra mengangguk, sejurus mengenyakkan tubuhnya di sisi Kamela.

"Aku mau tanya lagi sama kamu." Preambul Kamela.

"Tentang apa Mel?"

Mata Mela menatap dalam. Ekspresi wajahnya menyendu disertai suara yang agak bergetar.

"Apa udah enggak ada lagi kesempatan buat aku, Mas?" Pertanyannya meluncur disertai gerakan tangan melingkar pada lengan Barra, membuat lelaki itu refleks menoleh Mela.

"Maksudnya, Mel?" Kening Barra terlipat. Bingung.

"Aku enggak keberatan meskipun kamu jadikan yang kedua, Mas. Aku mau, asal bisa terus sama-sama kamu." Mata gelapnya membias kaca saat berucap. Barra terdiam tak percaya dengan ucapan Mela barusan. Mata lelaki itu membelalak disertai gelengan kepala.

"Maaf Mela, saya rasa kata-kata kamu barusan terlalu melewati batas." Barra tidak habis pikir, bagaimana bisa Kamela berpikiran ingin jadi yang kedua baginya? 

Tidak-kah perempuan itu menyadari bahwa dirinya juga wanita, sama seperti Aluna dan perempuan -perempuan lain, tidak ada perempuan manapun yang ingin laki -laki yang menjadi teman hidupnya membagi cinta, atau perhatiannya pada wanita lain. Kenapa Mela bisa senekat itu?!

Wajah Barra mengeras, rasanya sedikit terpantik emosi mendapati sikap kepala batunya Kamela. Dia berusaha keras menahan jangan sampai amarahnya tumpah di ruang perawatan ini.

"Kenapa Mas? Bukannya dulu kamu sendiri yang mau nikahin aku?"

"Iya, tapi itu dulu Mela, keadaan berubah seiring waktu berjalan." Barra mengusap wajah, frustrasi.

"Aku enggak mau nyerah Mas, kalau enggak bisa jadi yang pertama buat kamu, aku rela jadi yang kedua. Kamu  ... Kamu enggak perlu kasih tahu Aluna, kan, aku pasti bisa memahami, Mas." Mata Mela merebak tangis saat bicara.

"Mel! Tolong mengerti, saya yang tidak ingin. Saya maunya menjadikan Aluna satu-satunya, bukan untuk yang pertama lalu akan ada yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Tolong banget kamu pahami. Kalau hanya perhatian, kamu jangan khawatir, saya akan tetap kasih perhatian buat Ara meski nanti sudah menikah." Perhatian buat Ara. Itu yang disebut Barra. Sengaja agar Mela bisa tahu bahwa limpahan perhatian yang selama ini diberikan tak lain karena adanya Kiara. Lantas, apa Barra bersalah jika Kamela juga ikutan baper atas semua perlakuannya selama ini?

Sweet and Tears (TAMAT-REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang