Terkadang untuk menjadi manusia yang selalu baik baik saja itu tidak lah mudah. Senyum pengakuan hingga tawa kadang kala hanya sebuah topeng dari sebuah kebelengguan yang melekat dalam diri.
Opini orang orang bahkan komentator dari pihak terdekat juga menjadi alasan utamanya. Bahkan beberapa dari mereka lebih memilih mengenakan topeng daripada harus terbuka dan terlihat menyedihkan dihadapan manusia yang sering kali merasa sempurna.
Topeng dan panggung drama tak pernah luput dari kita yang sering kali butuh pengakuan maupun sanjungan dari mulut orang orang. Tak peduli meskipun cerita yang kita lakoni sudah hancur sedari naskah awal.
Yang berharta bukan penentu bahwa ia bahagia, jabatan dan kesuksesan sini sana tidak menjamin bahwa bahagia datang dari mana.
Begitupun yang miskin bukan berarti bahwa ia selalu sengsara dan tidak bahagia. Dari mana saja kebahagian bisa datang bukan?
Opini seperti ini yang harus dipatahkan dikalangan masyarakat yang selalu menganggap bahwa uang penentu segalanya.
Padahal ada hal lebih penting yang sering kali diabaikan bahkan disepelekan, yaitu kebersamaan dan waktu bersama Keluarga. Yang saat seperti ini tidak bisa diulang maupun diganti dengan ratusan juta uang, Kebahagian sederhana yang sering kali dilupakan.
Yang terlihat sempurna pasti memiliki celah didalamnya.
Mungkin itu lah pepatah yang sering kali mereka ucapkan kala melihat sosok yang begitu sempurna dihadapan banyak orang.
"Nana," Nathan mengalihkan pandangan dari buku yang ia baca kearah sang Ayah yang kini ikut mendudukan dirinya di sofa sebelah Nathan.
"Serius banget sih bacanya, lagi baca apa?"
Nathan hanya tersenyum setelah itu langsung menutup buku yang tadi dibacanya. "Ayah kepo!" Balas Nathan setelah itu langsung menunjukan cengiranya.
"Ikh anak ini..."
"Lagian kamu kok uda jalan jalan coba? Bukanya duduk diem dikamar," Perlahan tangan Agung mengambil remot yang berada dihadapanya dan mulai menyalakan tv, mencari siaran Seputar berita dalam negeri.
"Nana tuh bosen dikamar terus, lagian kan uda sehat, juga mau makan malam bareng bareng dibawah."
"AYAH! NANA! MAKAN MALAM NYA UDA SIAP. HAYUK SINI MAU PADA MAKAN GAK?" Teriak Yuna membahana memecah kesunyian malam itu.
Sepasang Ayah dan Anak itu kompak menoleh dan, "NANTI BUNDA, SEBENTAR LAGI KITA MAKAN," Balas mereka bersama dengan teriakan yang tak kalah membahana.
Terdengar tapak sandal rumahan yang perlahan mendekat kearah mereka. Siaga satu!
"Apa nanti nanti?! Makan sekarang itu uda bunda siapin semuanya, tinggal makan aja. Mumpung masih anget!"
"Nana lagi, baru sembuh juga. Mau makan bubur lagi?!
"Kamu juga mas! Yang tua bukanya nyontohin yang baik keanak nya untuk makan tepat waktu, ini malah ikut ikutan makan telat!"
Yuna berbicara dengan tempo yang cepat, mata melotot galak dan tangan yang berkacak pinggang.
Sedang yang menjadi tersangka keamukan kini sudah berdiri dihadapan Ratu mereka. Saling pandang dan mencoba memberikan argumen untuk meredam kekesalan Yuna. Yang hanya bermula menyuruh makan malam
"Kenapa masih diam aja? Gak ngehargai Bunda ya uda masak dan nyiapin semuanya?!" Ternyata kekesalan Yuna belum meredam sampai disitu.
"Aduh, Bunda sayang bukan gitu maksud kami. Maksudnya itu__"
KAMU SEDANG MEMBACA
Right Family
Fanfiction"Keluarga. Apakah benar benar menyayangi atau hanya sekedar menjaga karena takut kehilangan Lagi?" Janardana Nathan Randika Selamat datang dikisah keseharian Randika bersaudara, dengan satu anggota keluarga yang dijaga layaknya sebuah permata berha...