13. Tuna Sandwich

36 11 1
                                    


Kejuaraan basket antar sekolah semakin mendekat. Zach mendedikasikan seluruh waktunya sepulang sekolah di arena olahraga bersama teman-temannya. Ini tahun terakhirnya membela tim basket dan dia sudah bertekad membawa timnya meraih juara bertahan.

Hari ini mereka sedang melakukan uji coba pertandingan dengan rekan satu tim. Setiap kali hal itu terjadi, niscaya kursi tribun enggak pernah kosong. Mayoritas penontonnya tentu saja cewek-cewek yang ingin melihat tubuh-tubuh kekar pemain basket mandi testoteron.

Kimi yang enggak mau kehilangan kesempatannya ngeces sambil mengagumi Zach di tengah lapangan, malah memaksaku buat melipir ke arena olahraga. Sebenarnya aku hanya ingin pulang dan tidur. Entah kenapa tubuhku sedikit lemas sore ini. Mungkin karena tadi aku melewatkan makan siang, jadi semangatku ikutan menguap. Lagian, siapa pula yang masih nafsu makan setelah diganggu Azac?

Pendingin udara disetel penuh, tetapi titik-titik keringat masih bertengger di dahiku. Melihat kursi tribun sampai ke deretan atas, jantungku malah berdebar. Aku malas naik, jadi kami duduk di barisan paling depan.

Sementara Kimi bersorak bersama para penonton lainnya, mataku menyapu seluruh arena olahraga dan bersisian dengan Raisa yang duduk satu baris di atasku. Tatapan tajamnya bikin aku buru-buru menurunkan topi hingga menutupi separuh wajah dan menyembunyikan kepalaku di balik tudung jaket.

"Hey, what's up Xaqila? Gue balik lagi sama narasumber paling terpercaya se-Pradipta Negeri." Hara tahu-tahu sudah duduk di sampingku. Dari caranya mengarahkan kamera ponsel di depan muka, dia pasti sedang bikin konten.

"Narasumber?" ulangku enggak mengerti.

"Lo kan teman dekatnya Zach. Bagi info, dong. Banyak banget yang sudah penasaran nih soal alasan kenapa Zach dan Raisa putus. Kasih tahu juga dong siapa yang lagi dekat sama Zach sekarang?"

Kenyataan Hara belum tahu apa pun soal diriku yang tiba-tiba terjebak cinta segitiga di antara Raisa dan Zach sedikit melegakan. Itu artinya mulut Raisa belum bocor. Atau bisa jadi dia menunggu saat yang tepat buat balas dendam? Entahlah, yang penting aku aman. Setidaknya untuk saat ini.

Aku enggak menghiraukan pertanyaan Hara. Aku lebih tertarik memperhatikan layar ponselnya. Apa aku bilang?! Dia betulan lagi Live Instagram tanpa permisi. Puluhan orang pengikutnya sudah bergabung, komentar-komentar terus naik sepanjang siaran. Mataku mengernyit menangkap satu baris komentar.

Itu kakak kelas dua belas yang bulimia itu, kan?

"Ini follower lo semua? Nggak sopan banget kalau komen," protesku.

"Iya dong. Nggak usah marah gitu. Sans, Xaq. So, gimana? Zach lagi dekat sama siapa sekarang?"

"Bukan urusan lo!"

Kimi tahu-tahu menurunkan lengan Hara, seketika mengacaukan IG Live-nya. "Hara, lo tahu nggak gue bawa apa di tas?"

"Apa?"

"Semprotan merica. Gue bisa semprot wajah lo sekarang juga, kalau nggak berhenti gangguin Qila."

Hara menelan ludah susah payah. "Nenek lampir, galak amat."

"Thanks," gumamku setelah Hara menggeser duduknya sejauh mungkin dari kami berdua.

Kimi mengibaskan satu sisi rambutnya dramatis. "Meskipun lo main rahasia-rahasiaan, gue masih tetap baik kok," sindirnya.

Maksud Kimi pasti soal perkataan Raisa di kantin tadi. Walaupun aku sudah mengarang alasan paling masuk akal yang terlintas dalam pikiranku, Kimi masih belum yakin.

"Gue sudah jelasin. Gue ketemu dia di rumah sakit. Dia lihat gue baru keluar dari ruangannya dokter. Terus dia tuduh gue penyakitan. Ya, gue nggak bilang sebenarnya, tapi dasar mulutnya dia kayak dajjal, ngancam mau bikin rumor segala."

Gula - GulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang