part-2 MAMA DIMANA?

3 1 0
                                    

Pagi ini bersamanya matahari membuka cahaya dibalik awan yang bergulir dengan langit biru cerah. Anty menggusik tidurnya, sesekali mengucek mata dan merasakan ada yang berbeda hari ini. Dia tidak mendengar suara mamanya.

"Ma ..., mama, mama, ma ..., mama ...." Anty berjalan menelusuri ruang rumahnya mencari keberadaan mamanya tetapi tidak kunjung ketemu.

Bu Titik yang sedang mengupas bawang lantas keluar dan menemui Anty yang sedang kebingungan mencari Bu Reni.

"Nenek, mama kemana?" tanya Anty sesekali mengikat tali sepatunya.

"Anty ..., mama lagi kerja dan kamu tinggal sama nenek sekarang," jelas Bu Tik sambil mengusap lengan Anty.

Anty mendongak menatap Bu Tik kemudian wajahnya berkerut.

"Kerja? Mama kerja dimana, kapan mama pulang?" tanya Anty. "Kenapa mama tidak memberitahuku lebih dulu kalau mau kerja, mama di mana?" tanya Anty lagi membuat Bu Tik semakin cemas.

"Mamamu kerja sebentar, palingan nanti juga pulang. Sekarang kamu sekolah dulu." Bu Tik mengantarkan Anty sampai ke depan dan setelah Anty pergi. Bu Tik kembali mengupas bawang untuk dia jual ke pasar tradisonal.

Anty berjalan kaki sampai ke sekolah. Jarak rumah dan sekolah memang tidak terlalu jauh sehingga Anty bisa bebas pulang-pergi tanpa angkutan umum dan bisa menghemat biaya. Namun, saat ini Anty tidak semangat buat melangkah ke sekolah karena tidak menerima kecupan di pipi seperti hari kemarin ketika mamanya masih singgah dan sekarang dia hanya mampu merasakan saja bekas kecupan dari Bu Reni.

Entah kenapa, rasanya begitu hampa dan hambar lalu-lalang pun begitu menganggu ketenangannya. Rasa keginginan untuk menyendiri dalam kesepian membuat dirinya manahan gejolak emosi karena harus merelakan mamanya untuk pergi sementara waktu dan tidak tahu kapan mamanya akan pulang buat menemui dan menemaninya lagi.

Tahun ini, gedung-gedung belum terlihat megah di tahun depan. Mungkin saja, karena perkembangan zaman mungkin akan mengikuti era globalisasi, kemajuan teknologi bahkan perkembangan pesat yang akan terjadi di tahun 2025. Kini, masih sangat jauh jika membicarakan tahun depan. Pasalnya, Anty kini berdiri di depan bagunan sekolah yang berpagar coklat, bilik kelasnya pun hanya ada enam ruang yaitu kelas satu hingga enam.

Di bangunan inilah Anty menuntut ilmu. Bangunan kecil berleter 'L' dengan fasilitas yang tidak terlalu memadahi. Di sekolahnya tidak ada perpustakaan bahkan kantin seperti di kota-kota besar.

"Kenapa kamu ngalamun di sana, ayo masuk. Pelajaran segera dimulai." Bu Erni menegur Anty yang sedang menatap sekitarnya.

Anty hanya menganggu kemudian mengikuti Bu Erni sampai ke kelasnya. Kali ini, pelajaran matematika yang akan di ampu oleh Bu Erni.

Anty masuk dan duduk di kursi paling belakang bersama Shanfa teman sebangkunya. Walau begitu, Anty terbilang pendiam dan tidak bertanya jika Shanfa tidak menanyainya.

"Tugas rumah sudah di kerjakan?" tanya Shanfa, menatap Anty.

Anty menggeleng lalu membuka buku yang masih kosong dengan jawaban sedangkan Bu Erni sudah menutup pintu yang pertanda pelajaran akan segera di mulai.

"Selamat pagi, semua. Anak-anak segera kumpulkan tugas kalian, ibu akan koreksi." Bu Erni mengambil satu persatu buku milik anak didiknya dan berhenti di tempat duduk Anty.

"Kamu belum mengerjakan?" tanya Bu Erni setelah melihat buku milik Anty yang masih kosong.

Anty lagi-lagi menggeleng, dia tidak ingin menjawab dengan suara karena tidak ingin membuat Bu Erni marah tetapi diamnya malah membuat Bu Erni semakin geram.

"Dari tadi, ibu tanya jawabannya geleng-geleng terus, kamu kalau gak belajar di rumah dan komunikasi kamu kurang di sekolah, ibu tidak yakin kamu bakal naik kelas tahun ini," ucap Bu Erni seraya mengambil buku milik Anty lantas kembali ke depan.

Anty menatap punggung Bu Erni, dia sama sekali tidak merasakan apapun bahkan rasa bersalah. Wajar saja, seusia Anty memang masih labil dan nakal. Namun, kenalakannya sering membuat orang di sekitarnya malas untuk berteman dengan dirinya.

Bu Erni menggambar lingkaran besar di lembar buku milik Anty. Dia tidak segan-segan menekan bolpoin merah sampai tembus ke halaman baliknya.

"Anak-anak, perhatihan ibu." Bu Erni berdiri sambil membuka lebar buku Anty untuk ditunjukan ke semua teman-teman Anty.

"Kalian kalau mendapat nilai nol setiap hari, apa kalian gak malu. Kalian udah kelas tiga dan sebentar lagi kelas empat tapi kalau nilai kalian nol, nol, nol, bulat seperti donat kayak gini. Apa kalian gak malu sama yang lain." Bu Erni masih membuka lebar buku milik Anty dan membuat semua terkekeh karena lingkaran sempurna berbentuk telur dadar itu terpampang nyata.

Anty menunduk, ada rasa malu tetapi sepertinya sudah menjadi hal biasa bagi Anty yang selalu dipermalukan oleh gurunya.

"Anty, ibu tanya sekarang. Ayo, maju ke depan." Bu Erni memerintahkan lantas Anty berdiri kemudian berjalan ke depan sambil terus menunduk.

"Coba ibu tanya kamu, lima kali lima berapa?" tanya Bu Erni.

"Sepuluh." Anty menjawab cepat dan terdengar gelak tawa dari seisi kelas.

"Sepuluh???"

Bu Erni menggeleng sambil menjewer telinga Anty sampai Anty meringis kesakitan.

"AUHHHHH, SAKIT BU!!" geram Anty seraya mencoba melepaskan jari Bu Erni yang menekan kuat daun telinga tetapi usahanya sia-sia malah semakin kecang. "ADOUHHHH, SAKIT BU!!" teriak Anty semakin kencang dan membuat semua kelas terdiam dan tak jarang siswi menyeringai senyum devil.

"Kamu gak pernah belajar di rumah, bodoh banget sih kamu ..., kalau sepuluh itu ditambah, Anty. Sekarang kamu duduk dan perhatikan ibu menjelaskan." Bu Erni terlihat mendorong tubuh Anty sehingga Anty tersyungkur ke depan dan hampir jatuh.

"Mama, Anty pengen cerita." Anty bermonolog dalam hati. Walaupun usianya masih muda tetapi dia sudah merasakan bagaimana di jewer oleh gurunya sendiri bahkan mamanya tidak pernah melakukan hal buruk terharap dirinya.

Anty masih mengusap-usap telinganya yang terasa panas lantas menanyakan pada Shanfa ketika dia melihat bercak darah di ibu jarinya dan Shanfa mengatakan bahwa telinga Anty kini mengeluarkan darah segar. Anty mengusap kembali daun telinganya kini perih itu dia rasakan.

Dalam diam, di sela Bu Erni menjelaskan. Anty menangis tertahan tetapi dia tidak mampu menumpahkan airmatanya sampai pelajaran berakhir.

****

Jam menunjukkan pukul 15:15 WIB tetapi Anty tidak berkutik dan masih menatap jam dinding yang memutarkan jarumnya. Gadis berusia sembilan tahun itu hanya berpikir mungkinkah di dalam jam dinding ada kehidupan dan di dalam perutnya yang sejak tadi demo meminta makan. Mungkinkah disana ada televisi, kasur dan cacing-cacing yang sedang bermain lantas sebagian cacing yang diam hendak tertidur di kasur mereka. Itulah, pikiran Anty saat ini ketika dia sedang memegang perut yang sedang krucuk-krucuk layaknya air keran yang mengalir.

"Hei, Nak. Kamu belum pulang?" tanya Pak Damo, penjaga sekolah.

Anty menggeleng. "Belum, pak, Anty pengen disini sambil nunggu mama. Anty pengen ketemu mama." Anty menatap wajah Pak Damo yang menggerutkan dahi.

"Memangnya mama kamu kemana?" tanya Pak Damo seraya berjalan menghampiri Anty.

"Mama kerja, Anty takut kalau mama gak pulang." Anty menenggelamkan wajahnya di sela kedua tangan.

Pria berseragam dengan rambut acak-acakan masuk ke dalam kelas Anty karena melihat Pak Damo yang sedang duduk berhadapan dengan gadis yang belum dia tahu namanya.

"Pak, ayo pulang. Radit udah selesai piketnya," ajak Radit seraya menepuk tangan Pak Damo.

Anty mendongak mendengar suara anak seusianya. Namun, dia lebih dewasa dari Anty.

"Ayo pulang, biar bapak kunci kelasnya," ajak Pak Damo kepada Anty.

Anty menyaut tasnya dan keluar lebih dulu tanpa bertanya pada lelaki yang masih berdiri di samping Pak Damo.

****

LUKA RIANTYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang