Part5-SADAR DIRI

1 1 0
                                    

   Berlabuh di ibu kota yang terbilang padat oleh masyarakat pendatang demi mengais rejeki dan menanamkan sabuk-sabuk masa depan yang akan menjadi kebutuhan dan berkelangsungan hidup bagi Reni dan di sinilah Reni melabuhkan diri yang sering orang katakan bahwa kota ini adalah kota dengan seribu harapan yang akan terpenuhi semua keinginan.

    Kota besar yang selalu disebut kota metropolitan, banyak budaya yang terkenal dengan pertunjukan Ondel-ondel ketika memperingati hari-hari besar. Selama satu hari satu malam, Reni menghabiskan waktu perjalanannya untuk menuju ke kota ini tetapi sampai pagi menyambut lagi. Dia seperti daun yang terombang-ambingkan oleh angin yang berembus bahkan dia tidak mengenal satu-satu orang yang berjalan silih berganti keluar dari kepadatan Kota Jakarta. Reni seakan kehilangan arah dan entah akan melangkahkan kaki hingga ke tujuan yang akan dia capai demi anaknya. Walaupun, sulit untuk melepaskan Anty tetapi Reni tetap meyakinkan diri bahwa dia mampu tanpa bertahan hidup meski pun sendiri.

   ****

   Sepagi ini, Anty sudah membantu neneknya untuk menyapu halaman. Dia tahu, bahwa neneknya itu sudah terlalu capek untuk merawat dirinya bahkan sudah bersusah payah untuk membesarkan dan mendidiknya sehingga sebelum berangkat ke sekolah, Anty meluangkan waktu untuk membantu sebisanya.

   "Nek, Anty sudah nyapu tadi dan sekarang mau berangkat." Anty mengantungkan sapunya di paku lalu menyalami neneknya yang sedang mempersiapkan dagangannya.

   "Hati-hati di jalan, ini uang sakumu," saran Bu Tik lantas memberikan dua ribu untuk Anty.

    Anty menerimanya kemudian memasukan ke kantong baju lantas berlalu pergi setelah berpamitan.

    Jalan dari rumah masih berbentuk gula kacang alias kericak sehingga Anty perlu hati-hati supaya tidak terjatuh apalagi jalan yang becek sebab guyuran hujan semalaman membuat genangan dimana-mana.

    Mobil yang melintasi Anty tiba-tiba berhenti sebab melihat Anty yang sedang berjalan sendirian. Tidak berselang lama, Ikhsan keluar menghampiri Anty.

    "An, bareng aku berangkat ke sekolah, mau gak?" tanya Ikhsan, menawarkan. "Kebetulan papa juga mau ke kantor pagi ini jadi aku bareng papa, kalau mau ayo." Ikhsan menjelaskan.

    Anty sungguh tahu diri dengan posisinya, walau usianya belum banyak tetapi Anty sudah diajarkan untuk tidak menerima tawaran pada orang kaya meskipun itu temannya sendiri.

     "Enggak usah, lagian udah mau sampai kok." Anty berjalan mendahului Ikhsan.

   Iksan tidak memaksa dan kembali ke mobil. "Aku duluan ya." Ikhsan sedikit menaikkan oktaf suaranya karena sudah masuk mobil dan diberi angguan oleh Anty.

     Lusie yang berangkat diantar oleh mamanya menggunakan sepeda motor meminta mamanya untuk menambah kecepatan dengan alasan jika sekarang sudah kesiangan. Namun, Lusie hanya ingin membuat Anty jera dengan kelakuannya.

    "BYUUKKKK!!!"

    Genanagan air yang bercampur lumpur berhasil mengenai rok Anty.

    "Yah, kotor ..., gimana ini," gumam Anty sesekali mengibas-ibas rok merahnya.

    Lusie terkekeh pelan lalu melihat Anty dari spion yang lagi sibuk membersihkan kotoran.

    Jalan pedesaan memang berbeda dengan jalanan yang di pusat kota. Mungkin jika pusat kota, jalanan sudah beraspal dan berpolusi berbeda dengan suasana halaman rumah yang ditinggali oleh Anty. Anty menunduk, bergegas masuk ke gerbang sekolah karena hanya tinggal lima menit lagi bel akan berbunyi.

    Shanfa memperhatikan Anty yang murung. Dia melihat rok merah dan baju putih milik Anty kotor penuh bercak lumpur.

     "Kamu kenapa, An?" tanya Shanfa seraya menggeser kursi ke belakang dan duduk.

     "Tadi ada honda melintas kenceng banget sampai gak lihat kayaknya ada orang segede gini." Anty menunjuk dirinya sendiri.

     Lusie sudah sampai di kelas dan mendengar percakapan mereka tetapi tidak ada niatan untuk meminta maaf pada Anty.

    "Terus kamu gak ganti baju?" tanya Shanfa kembali.

   "Enggak, bajuku cuma satu dan lagian aku udah jalan jauh." Anty menjelaskan.

    Shanfa mengangguk paham, Anty memang miskin ekonomi dan kebutuhan sekolahnya pun selalu tidak tercukupi. Di sela berbincangan mereka bel masuk dan semua siswa yang sedang bermain diluar langsung masuk kelas seperti semut-semut yang masuk ke sarang mereka.

    Bu Erni mengisi materi untuk jam pertama. Dia menyapu pandangannya menatap anak didiknya tanpa bersuara sesekali melihat kelengkapan atribut mereka supaya disiplin.

    "Anty, baju kamu apa gak dicuci sampai kotor gitu?" tanya Bu Erni seketika melihat kondisi Anty yang kumel. "Rambut juga kenapa berantakan, apa kamu sekolah naik jetcosster sampai rambut awut-awutan gitu, udah mirip kawol." Bu Erni mengunjing Anty.

    Lusie tidak hanya diam, dia pun ikut menyeringai. "Bu, mungkin tadi ada angin ribut jadi rambutnya berantakan atau gak diurus sama bapak sama ibunya." Lusie asal bicara.

    Bu Erni yang memang tante dari Lusie ikut tersenyum jahat. "Kalau begitu, berarti rumah Anty di atas gunung." Bu Erni menimpali sehingga menimbulkan kekacuan dan keributan.

    Anty terdiam mencerna kata-kata Bu Erni dan Lusie. Dia tidak paham, apa yang dimaksud dengan kawol bahkan angin ribut. Mungkin itu sejenis alat yang diciptakan atau malah sebuah ungkapan yang seperti guru bahasa indonesianya bilang. Anty sungguh, tidak mengerti.

    "Baiklah, kalian kerjakan buku matematikanya dari nomor lima sampai dua puluh dan kalau sudah kumpulkan." Bu Erni mulai memberi tugas karena kemarin dia sudah menjelaskan materinya.

    Anty membuka buku matematika. Entah kenapa, setiap membuka buku dan melihat deretan angka-angka yang banyak itu membuat Anty tidak bisa berpikir. Otaknya seakan menolak untuk bekerja dan menutup rapat-rapat syarafnya sehingga membuat dia tidak bisa menyelesaikan satu soal.

     "Anty!!!" Bentak Bu Erni.

   Anty terperanjat kaget karena dia sedang melamunkan sesuatu. Ya, dia sedang berpikir kenapa tahi lalat bisa menempel di hidung Bu Erni dan bulatan hitam yang menonjol itu kenapa disebut dengan tahi lalat, siapa yang memberikan nama tersebut. Anty menatap lekat benjolan hitam milik Bu Erni dan membuat Bu Erni sadar bahwa Anty melototinya.

    "Kenapa malah liatin saya, kamu heran dengan tahi lalat saya?!" tanya Bu Erni sekaligus membentak.

     "Kenapa dinamakan tahi lalat bu?" tanya Anty dengan polosnya."Apa lalat pernah nempel di hidung ibu lalu mengeluarkan kotoran makanan sehingga menjadi tahi."Anty melanjutkan.

    Shanfa menepuk kening heran. Kenapa temannya selalu ada bahan pembahasan sedangkan dia tidak pernah terpikirkan sama sekali tentang hal tersebut.

     "Anty, ibu tadi nyuruh kamu buat mengerjakan tugas bukan malah ngasih pertanyaan yang gak bermanfaat." Bu Erni mencoba mengalihkan topik.

    Anty mengambil pensilnya lalu mulai mengores satu angka, dua angka sampai ke angka dua puluh tetapi tidak dengan jawaban yang sama sekali dia tidak tahu.

     "Nanti saya kerjakan, saya hanya heran saja sama ibu. Sebenarnya, ibu itu cantik tapi kenapa tahi lalat itu menganggu pemandangan, kenapa ibu tidak mengelupasnya?" tanya Anty masih membahas tentang tahi lalat.

     Bu Erni mulai geram kemudian mengambil buku catatan milik Anty dan penghapus.

    "Kamu kerjakan di depan sana jika belum selesai, kamu tidak boleh istirahat." Bu Erni memerintahkan.

    Anty menuruti perintah Bu Erni lalu berjalan mendahului Bu Erni untuk menulis di depan tanpa meja dan kursi. Anty mengerjakan dengan cara jongkok di lantai.

     "Rasain," bisik Lusie penuh kemenangan hari ini.

    Shanfa melihat Anty tidak tega tetapi dia tidak bisa melakukan apapun sedangkan di luar. Ada pasang mata yang menyaksikan semua kejadian di dalam kelas Anty dan perlakukan Bu Erni terhadap anak didiknnya.

🐰🐰🐰🐰🐰🐰🐰🐰🐰🐰🐰🐰🐰🐰
Note

Si penulis memang selalu memikirkan hal-hal aneh 🤗 semoga gak membagongkan😶

    
    

LUKA RIANTYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang