"Bang, Papa ngga bisa anter Hages hari ini, karena ada meeting penting. Bisa kan Hages ikut berangkat bareng kamu aja? Kan kalian satu sekolah."
Caka yang tengah mengunyah makanannya menatap sang ayah lalu tersenyum hangat, "tentu Pa. Ngga usah khawatir, aku pasti anterin dia dengan selamat. Iya kan, Dek?"
Tak ada sahutan, Jino memegang pundak anak perempuannya, "Hages, kok malah bengong? Itu Abangnya tanya."
"I-iya," Hages memberanikan diri menatap Caka walau hanya sedetik. Setelah menjawab, ia menggigit bibirnya kuat-kuat, berusaha memfokuskan diri dengan makanannya, walaupun akhirnya sia-sia. Karena hatinya terasa sesak tiba-tiba.
"Oke kalau gitu, Papa lega kalau kamu berangkat bareng Abang. Jangan lupa pakai jaket, dan kamu Bang, jangan kebut-kebutan naik motornya, ngerti?"
"Ngga akan Pa. Tenang aja."
Jino menatap kedua anaknya itu bergantian sambil tersenyum bangga, "ngomong-ngomong, Bang. Gimana kabar Mama sama Biya? Papa belum sempat ke rumah Mama karena belakangan ini Papa benar-benar sibuk."
"Mereka semua baik kok Pa. Aku rasa Papa sebaiknya lihat sendiri kesana. Seenggaknya Papa sempetin waktu buat ajak ngobrol Biya. Kemarin pas aku tanya, dia lagi kesel karena ada cowok iseng yang jadi temen sekelasnya." Caka terkekeh kecil saat mengingat keluhan adik kecilnya perihal ulah iseng teman laki-lakinya di sekolah.
"Oh ya? Papa jadi kangen banget sama si bontot. Papa usahain pulang dari kantor nanti akan mampir kerumah Mama." Mengusap sudut bibirnya dengan tisu, Jino hendak beranjak pergi, "kalau gitu Papa berangkat duluan ya kekantor. Kalian habisin sarapannya. Dan ingat, hati-hati dijalan."
"Oke, Pa."
Menepuk pundak Caka, lalu mengusap pelan puncak kepala Hages, Jino lalu keluar menuju garasi.
Senyum Caka seketika luntur saat melihat mobil ayahnya sudah pergi dari pekarangan rumah. "Heh, Lo ngapain daritadi nunduk?"
"N-ngga papa," cicit Hages masih dengan posisinya. Kegugupannya tertangkap jelas oleh Caka.
"Tugas gue mana? Siniin!"
"Ini..."
Caka mengecek lembaran bukunya, "kalau sampai ada yang salah, gue hukum Lo. Ngerti?"
Masih tak berani menatap Caka, Hages mengangguk kaku. Ia baru mendongakkan kepalanya saat Caka pergi begitu saja.
Mendengar suara knalpot motor gede Caka, Hages berjalan kearahnya, "Bang Caka, sebentar. Aku ambil helm du--"
"Siniin hp sama dompet Lo."
"B-buat apa?"
"Ngga usah banyak tanya. Siniin."
Walaupun masih dibuat bingung. Hages tetap menyerahkan ponsel dan dompetnya pada Caka. Kedua matanya sontak mengerjap saat Caka mengambil seluruh uangnya. "I-itu uang aku, Bang."
"Lebih tepatnya uang dari bokap," Caka melempar asal dompet milik Hages, "Lo berangkat sendiri."
"T-tunggu Bang. Kata Papa kan kita mau berangkat bareng." Hages memberanikan diri untuk mencegah Caka pergi dengan menahan lengan jaket yang dikenakannya.
"Sejak kapan gue sudi berangkat bareng Lo? Jangan harap gue bakal biarin Lo duduk di jok belakang motor gue. Lo masih bisa berangkat sendiri, ngga usah manja."
"Tapi uangnya..."
"Kaki Lo masih berguna kan? Pake lah!"
"Kalau harus jalan kaki, aku pasti telat sampai sekolah, Bang."
"Terus, urusannya sama gue apa? Hm?"
"A-aku ada kuis sejarah hari ini."
"Gue ngga peduli." Caka tersenyum miring lalu mulai melajukan motornya. Namun tiba-tiba setelah tepat didepan gerbang, ia turun dan kembali menghampiri Hages sambil bersilang dada.
"Oh ya, gue lupa nanya sama Lo..." Hages meneguk ludah saat pandangan Caka seolah tengah menelanjanginya dari atas sampai bawah. "Jalan Lo aneh. Selangkangan Lo masih nyeri?"
Tubuh Hages menegang, saat mendengar kekehan Caka yang seperti tengah mengejeknya habis-habisan, "ngomong-ngomong thanks service-nya anak cupu. Senggaknya tubuh Lo bisa sedikit berguna buat muasin orang."
Hages menatap kepergian Caka dengan sorot sendunya. Ia meremas rok seragamnya kuat-kuat. Mencoba mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Nyatanya usaha ia untuk terlihat baik-baik saja tetap gagal. Caka masih bisa melihat sisi lemahnya. Padahal Hages mati-matian untuk tetap terlihat normal dimata laki-laki itu.
Caka berhasil membuat hidupnya terasa tidak berguna. Dan mungkin untuk kedepannya ia akan merasakan hal serupa. Dan bahkan bisa selamanya.
***
Segitu dulu prolognya, nyoba tes ombak...
Kalau rame tak lanjut, jadi coba komen yang banyak, pengen tau antusias kalian di cerita ini hehe❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Filthy Way [On Going]
Teen Fiction[FOLLOW DULU, BEBERAPA PART DI PRIVATE] Sequel : Puzzle Destiny Yang Caka tahu, Hages adalah orang yang pantas menanggung kebenciannya. Dia adalah orang yang menjadi target balas dendamnya. Karena hanya dengan menatap matanya, sisi iblis dalam diri...