"Lain kali jangan kayak gitu. Seenggaknyaman apapun kamu disana, setidaksuka apapun kamu sama situasinya, kabur bukan solusi, Hages. Susah banget ya, buat bilang ke Papa atau Aunty, kalau kamu mau pamit buat pulang duluan?"
Hages menggeleng kecil, "m-maaf, Pa."
"Papa emang ngga pernah maksa kamu buat bisa ikut ke acara Papa. Itu makanya Papa selalu hargai keputusan kamu atas penolakan kamu. Tapi perihal ini beda cerita. Aunty Ambar sengaja bujuk kamu, dia pengen kamu ikut, dia rela nunggu kamu hanya supaya kamu bersedia hadir dengan kami. Kenapa kamu balas kebaikan Aunty dengan ketidaksopanan kamu?"
"Papa, ngga gitu. Aku ngga maksud buat ngga sopan ke Papa ataupun Aunty Ambar. Beneran."
"Lalu, maksud kamu apa, memangnya? Sengaja bikin Aunty Ambar sedih karena penolakan kamu yang terang-terangan itu?"
Hages meremat jari jemarinya yang ia taruh diatas kedua pahanya. Tenggorokannya selalu terasa kering saat ia ingin berusaha untuk jujur tentang apa yang sebenarnya terjadi. Ia ingin memberitahu ayahnya.
Ia ingin ... tapi tak semudah itu.
"Papa kok belum tidur?" Hages melirik sekilas ke arah Caka yang tengah menegak minumannya dari kemasan kaleng yang ia ambil dari kulkas. "Baju Papa juga belum ganti. Pasti Papa belum mandi, ya kan?"
"Nanti Papa mandi, Bang. Papa belum selesai ngomong sama Hages."
"Pa. Lihat ini udah jam berapa," Caka menunjuk jam didinding, "udah malem banget. Papa kan juga perlu istirahat. Besok kesiangan, emang mau?"
"Tapi--"
"Masih ada waktu buat marahin Hages Pa, tapi bukan sekarang. Aku bisa tangani ini kalau perlu. Biar aku yang urus, ya Pa?"
Jino akhirnya menyerah dengan anggukannya, "ajarin adik kamu ini tentang sopan santun, Bang. Mungkin dia hanya ngerti secara teori aja. Ngga dengan prakteknya."
"I will, Papa ngga usah khawatir." Caka tersenyum saat Jino menepuk pundaknya, lalu ayahnya itu masuk kekamarnya.
Caka menaruh kaleng minumannya diatas meja, menyandarkan punggungnya di sandaran sofa, lalu bersilang kaki dan tangan, menatap objek didepannya dengan penuh keseriusan. "Denger ngga tadi? Papa bilang, gue harus ngajarin Lo tentang sopan santun, sister." Kekehnya sinis, "ngga mau bilang makasih gitu? Karena barusan gue udah nyelamatin Lo dari omelan Papa yang mungkin akan menghabiskan waktu yang ngga sebentar, hm? Wanna say thanks to me, naughty girl?"
Mengumpulkan serpihan nyali yang selalu berhasil dihancurkan laki-laki didepannya itu, Hages memberanikan diri untuk membalas tatapan Caka, "Bang Caka yang bikin Papa jadi salah paham sama aku. Kalau bukan--"
"Waw, udah berani nyalahin gue ya sekarang? Beli nyali dimana tadi?"
"Gara-gara Bang Caka, Papa marah, dan Aunty Ambar jadi sedih."
"Gara-gara gue ya? Kalo iya, kok Papa tadi marahnya ke Lo sih? Bukan gue?"
"Ya itu karena--"
"Karena gue lagi? Lo mau nyalahin gue lagi?" Caka mengangguk kecil, "Lo udah mulai mau jahat sama gue ya, Dek?"
"Bang Caka yang jahat," susah payah Hages mengatakan kalimatnya, karena air matanya yang sudah mengalir dikedua pipinya, "Bang Caka yang selalu jahatin aku."
"Gitu ya? Jadi gue yang jahat disini? Lo doang sih yang bilang kalau gue jahat. Yang lainnya bilang gue itu baik. Baik banget malah. Tau ngga kenapa?"
Hages mulai ketakutan saat Caka melangkah menghampirinya. Ia bahkan tak punya kesempatan untuk menghindar saat laki-laki itu duduk dengan tak memberi jarak diantara mereka, "gue bisikin sini. Mau denger ngga?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Filthy Way [On Going]
Teen Fiction[FOLLOW DULU, BEBERAPA PART DI PRIVATE] Sequel : Puzzle Destiny Yang Caka tahu, Hages adalah orang yang pantas menanggung kebenciannya. Dia adalah orang yang menjadi target balas dendamnya. Karena hanya dengan menatap matanya, sisi iblis dalam diri...