PROSA

70 4 0
                                    

Sehampanya aku adalah manusia yang sibuk membangun ruang antologi prosa 

Persoalan tokoh aku yang ambil alih ruang fiksi dan berdalih peran menjadi tulisan

Prosa, prolog yang sudah nyaris terselip rasa protagonis serba tahu, And

***

Prosa Satu,

Aku Kehilangan 'Kemarin';Penikmat kebebasan dan pengamat retorika nyata yang sudah. Penyiram selembar kertas dari diksi sarkasme. Buku sastra itu rapi, semakin berselimut debu-karena tidak lagi disambati.

 Aku Mendapati 'Kini';Penggelut angka di kalkulator sudah menjadi sahabat karib. Naif!

***

Prosa Tentang Pak Karta, tapi diusir Prosa Satu,

Menerka nasib dari pintu kaca ruang Pak Karta, lalu ia berkata "Berhenti menulis sesuka hatimu." Sembari Pak Karta menggeser buku 'Aku Ingin Jadi Peluru'. Percakapan itu rambu di relung tuntutan tanpa titik terang. Barangkali, gusar memang sudah terselip seluas alam yang tahu. Pun segera melangkah keluar dari ruangan yang sesak dan ironis itu. Arsip linimasa di bawah kendali skenario tangan-tangan yang seharusnya tidak punya kuasa. Ia bisa hilang di tangan Pak Karta.

***

Prosa yang Diketahui And,

Hujan, balkon, laptop, kertas, pena, kata, narasi, puisi, one shot espresso ditambah fresh milk, meja, kursi, tanpa penumpang di kursi depan, semesta sebut Adaptasi. Ditutup Elegi Figura Renata dan Arungi Romantic Echoes.

Arsip, aku pena sekaligus kertas. Dia brankas. Aku bersapa makna dari dia yang bicara:"Bertukar aksara tak berucap, terlalu klise sudah banyak."Cengkrama sepasang kaki itu metamorfosa relung rumah sini.diskusi. Pengirim surat dari sikap yang tersirat. Dia nyata, tapi berdunia paralel. Arsip yang masih kokoh sejak 4 tahun silam belum pernah membuat kertas di dalamnya remuk. Terakhir, dia tidak berniat membuka cerita di luar batas yang tersimpan. Aku sapa dia (Arsip), And. 

Bangun! sudah seluas draft.

Terkurung udara pagi di naungan luka yang tengah berteriak dalam rasa nanar telah terpenjara. Aku mengisap aroma secangkir kopi hitam lalu memejamkan mata sambil bermain dalam ilusi. Duduk sendirian di depan layar laptop−jendela menyorot setapak jalan sepi. Aku seruput rasa kopi pahit itu. Dalam hening yang sedang tertawa, aku ingin mengajak waktu untuk diskusi dan bernegoisasi. Dalam selanya, menulis berlembar puisi dan menyeru "jangan mendengar tentang aku yang kaku dan berlidah kelu". Dalam kertas yang kelabu, aku ingin sembuh dari memar biru yang dipukul sembilu. Sedari tadi, termangunya aku tidak terburu-buru menyimpan cerita. Waktu terakhir adalah tidak lagi menjadi draft.

***

Prosa ditutup,

Ditulis di Venus atas kesepakatan dua kepala manusia Bumi yang bisa pegang kendali di luar ekspektasi. Puisi yang sudah seperti narasi cuma untuk keperluan objek, bukan dijadikan validasi. Makanya, evakuasinya tercatat di sini. 

Angin...Roda dua...Langit jingga...Lagu...temu! 

Bicara...Kabut. Hilang. Kalut

Realita! Bersambung...

Rentang Venus dan BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang