Siapkan Mental Baja

62 2 0
                                    

🌟BAB 2🌟
[Siapkan Mental Baja]

[Aida, kamu dibolehkan masuk, 'kan? Mas baru mau otw balik ke sana. Kamu diperlakukan dengan baik, 'kan?]

Aku tersenyum miris setelah membaca pesan dari Mas Zeeshan. Tidak tega kalau harus memberitahukan perlakuan buruk yang baru saja aku dapatkan.

[Boleh, 'kok Mas. Mereka juga baik. Kamu hati-hati ya Sayang]

Kubalas pesannya cepat. Aku tidak mau kalau ia cemas sepanjang jalan. Mas Zeeshan tidak perlu tahu apa yang wanita itu perbuat.

Setelah memastikan tidak ada balasan pesan dari Mas Zeeshan. Aku melangkah masuk. Di pintu utama sudah ada dua penjaga yang siap menyambut kedatangan semua orang.

"Selamat pagi Nyonya, silahkan."

Aku hanya mengangguk dan tersenyum menanggapi sapaan dari satpam. Di dalam aku langsung disambut dengan tatapan aneh orang-orang. Tapi itu hanya sementara, setelahnya mereka kembali tak acuh. Seolah-olah aku tidak pernah ada diantara mereka.

"Avika!" sapaku pada adik dari Mas Zeeshan. Aku mengenalnya, karena ia hadir cukup lama di pernikahanku dengan Mas Zeeshan.

"Siapa?" Ia menatapku aneh. Seolah ia tidak pernah bertemu denganku sebelumnya.

"Aida. Apa kamu lupa? Kita ngobrol cukup lama di hari pernikahanku," kataku berbinar. Berharap ia hanya lupa karena memang sudah satu tahun tidak berjumpa.

Awalnya kupikir begitu, tapi ternyata ....

Ini sungguh terlalu menyakitkan.

"Aku tahu kamu Aida. Istri Mas Zeeshan. Maksudku, siapa kamu berani-beraninya datang dan bersikap sok akrab denganku." Ia menenggak minuman di tangannya.

"Hari itu kamu bilang, kalau kamu sudah menganggapku seperti saudara kandungmu. Kamu anggap aku seperti kakakmu juga. Kamu masih ingat, 'kan?" tanyaku lagi. Hatiku masih cukup tangguh jika akhirnya kenyataan tidak seperti yang aku pikirkan.

"Saudara kandung? Hah. Bod*h sekali kamu mempercayainya. Aku tidak pernah serius dengan ucapanku hari itu. Lagipula, siapa, 'sih yang mau punya kakak ipar miskin seperti kamu. Entah apa yang menutup mata Mas Zeeshan sampai tertarik dengan wanita seperti kamu?" Avika ketus.

Ternyata Avika juga tidak pernah menerimaku sebagai istri Mas Zeeshan.

"Avika, jadi dia itu istri saudaramu? Kamu datang ke perniakahannya?"

"Ya, mau bagaimana lagi. Kalau aku nggak datang, Mas Zeeshan tidak akan mengakui aku sebagai adiknya lagi. Jadi, ya terpaksa, deh. Datang ke pernikahan Mas Zeeshan dengan wanita kampungan ini."

"Aku sih nggak datang. Mendengar calon istrinya keluarga miskin aja, tubuhku sudah gatal-gatal. Jadi enggak, deh. Enakan juga tidur di rumah."

Mereka begitu sombong dengan harta yang mereka miliki. Merasa bangga dengan pencapaian yang mereka dapatkan saat ini. Sampai-sampai menghina nasib orang lain.

'Apa ini benar-benar keluar Mas Zeeshan. Kenapa wataknya sangat jauh berbeda dengan suamiku itu. Nyaris berbeda 180 derajat.'

"Aida, mendingan kamu pulang saja deh. Di sini nggak ada yang mau nerima keberadaan kamu. Cuss, gih. Bikin gerah."

"Aku akan pergi kalau Mas Zeeshan sudah datang ke sini. Ia yang akan menjemput dan membawaku pulang dari sini. Lagipula aku datang ke sini juga diundang oleh Kakek Iskender. Jadi, kamu tidak berhak mengusirku," jawabku tegas. Mereka harus menghargaiku, karena aku memiliki hak yang sama seperti mereka.

"Belagu sekali dia Avika. Kasih pelajaran saja," ucap wanita yang tidak aku kenal. Mungkin ia dan Avika sepupuan.

"Tenang saja. Wanita miskin seperti dia, biar aku tunjukkan di mana tempatnya berada." Adik iparku tersenyum sinis.

Setelah menatapku tajam, Avika pergi entah kemana. Ia masuk lebih dalam ke rumah ini. Aku tidak tahu karena ini untuk pertama kalinya berkunjung ke rumah Kakek Iskender.

"Lozer!" Wanita yang sejak tadi berbicara dengan Avika mendorongku. Aku nyaris tersungkur.

'Sabar Aida. Sabar. Kamu belum bertemu dengan Kakek. Jadi, jangan terpancing keributan apapun. Sabar dulu, sabar.'

Aku terus menenangkan diri karena tidak mau menghancurkan suasana reuni keluarga yang bahkan belum dimulai.

Dibutuhkan ketabahan hati agar tidak terpancing emosi. Aku ikut membaur, di sana aku melihat Avika berbicara serius dengan seseorang. Setelah berbicara, ia sempat melirikku dengan tatapan yang menakutkan.

'Apa yang akan Avika lakukan padaku. Aku harus siapakan mental dan tenaga untuk menghadapi semuanya.'

***

Bersambung ....

Runtuhnya Dinding KeangkuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang