Jangan Bermimpi Aku Akan Berlutut

49 1 0
                                    

🌟BAB 5🌟
[Jangan Bermimpi Aku Akan Berlutut]

Orang asing itu mendorong tubuhku. Aku yang tidak menyangka akan diperlakukan seperti ini tidak dapat menghindari tumpahan kopi dari tangan pelayan.

"Maaf, Mbak. Maaf." Pelayan itu menatapku ketakutan.

"Tidak apa-apa. Orang yang mendorongku yang salah. Dialah yang harus minta maaf," kataku dengan nada cukup tinggi.

Sengaja kutinggikan suara agar orang minim sopan santun itu mendengarnya. Sesuai dugaan, ia langsung marah-marah saat mendengar perkataanku.

"Cih! Aku minta maaf padamu? Jangan mimpi!" bentaknya kasar. Ternyata dia seorang pria. Aku heran, jika dengan wanita asing seperti diriku saja dia berani bertingkah kurang ajar. Tidak terbayang bagaimana ia memperlakukan istrinya di rumah.

"Kamu bersalah. Jadi sudah seharusnya kamu minta maaf, 'kan?" Aku menatapnya tajam. Sejak aku datang ke tempat ini aku sudah dihina. Jadi untuk apa aku merasa takut di tempat ini.

"Hahaha! Sadar tempat, dong. Kamu tidak tahu siapa aku? Hah! Aku adalah cucu kesayangan Kakek Iskender. Kamu berani melawanku?" tanyanya sambil bergaya dengan congkak.

"Aku tidak peduli siapapun kamu. Kalau kamu bersalah, kamu wajib minta maaf," tegasku tanpa melepaskan pandanganku darinya.

"Wah, berani sekali kamu. Memangnya kamu ini siapa berani-beraninya nyuruh aku minta maaf sama kamu. Sultan? Ratu? Atau konglomerat unggul? Kamu mau jawab iya sekalipun, semua orang yang ada di sini tidak akan mempercayainya."

Kesombongan sepertinya sudah mendarah daging dalam diri orang itu. Apa masalah dia denganku, sampai bersikap seperti ini.

"Hei! Untuk apa menatapku seperti itu? Mau aku colok matamu yang jelek itu!" serunya kesal.

Enak saja mau nyolok mataku. Kalau dia sampai berani melakukannya, akan aku pastikan tangannya patah jadi beberapa bagian.

"Kakek, kenapa tidak diusir saja, 'sih orang seperti dia. Keberadaannya membuat acara reuni keluarga yang biasanya harmonis jadi kacau sejak awal." Ia menatap Kakek Iskender.

"Iya, Kek. Kenapa tidak diusir saja. Bikin gerah. Atau nggak kasih saja tuh dia makanan. Biar cepet pergi dari sini." Devika menimpali.

Kakek Iskender tampak sedang memikirkan permintaan dua cucunya. Aku hanya diam menunggu reaksinya akan seperti apa.

Kupikir dia akan mengusirku. Jadi aku akan meninggalkan tempat ini tanpa menunggu Mas Zeeshan datang.

Tapi ternyata aku salah. Kakek yang sudah berumur itu berjalan ke arahku. Wajahnya masih sama seperti saat menatapku tadi. Datar. Bahkan sekarang jauh lebih datar dari sebelumnya.

Andai dia mengaca. Ekspresi seperti itu membuat wajahnya berubah jadi sangat jelek sekali. Aku hampir terkikik geli melihat wajahnya seperti itu.

'Hahaha. Orang kaya memangnya begini-begini amat, ya. Perasaan aku punya teman yang jauh lebih dari keluarga Iskender nggak seperti ini tuh. Mereka cenderung ramah, serta sopan pada sesama.'

"Nak, kamu istri cucuku Zeeshan?" tanyanya lembut.

Apa aku tidak salah dengar? Ia lembut sekali. Jauh lebih lembut saat berbicara dengan Albani. Tapi kenapa ia berubah sedrastis itu yaa.

"Iya, Kek," jawabku singkat. Sudah malas hatiku berbasa-basi dengan keluarga ini.

"Kamu datang ke sini untuk reuni keluarga, 'kan?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk, mengiyakan pertanyaannya.

"Makan-makan juga, 'kan di sini?" tambahnya.

Aku merasa sedikit aneh dengan pertanyaannya. Seolah aku datang ke sini hanya untuk numpang makan saja.

"Emmm ...."

"Sudahlah, akui saja. Jika kamu ingin makan makanan yang tersaji di meja makan ini. Kamu harus berlutut di kaki cucu kesayanganku. Dengan begitu aku akan memberikan makanan gratis untukmu."

"Hahahaha!"

"Aku tidak akan pernah berlutut di kaki siapapun," jawabku tegas.

"Baik, mari kita lihat," tantang Kakek Iskender.

"Silahkan."

'Aku sudah sebisa mungkin menekan emosiku. Tapi mereka lah yang terus-menerus menabuh genderang perang. Aku tidak ada pilihan lain selain melawan.'

***

Bersambung ....

Runtuhnya Dinding KeangkuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang