Tiga hari berlalu seperti biasa. Ketika Maureen sedang menunggu pintu lift terbuka, Aray pun datang dan berdiri di sampingnya. Maureen yang baru menyadari kehadiran Aray pun langsung kaget.
“Astaga!” Gadis itu terkejut.
Untung saja saat itu belum banyak karyawan yang datang, sehingga di sekitar hanya ada mereka berdua. Saat itu memang jam kerja dimulai tiga puluh menit lagi.
“Kenapa? Kamu kayak lihat hantu aja?” tanya Aray sambil mengerutkan kening.
Maureen tersenyum salah tingkah sendiri. Dia menggaruk kepala yang tidak terasa gatal sama sekali.
“E enggak, Pak. Saya tadi cuma ngelamun, makanya pas tahu Bapak di sini saya jadi kaget,” jawab Maureen jujur.
“Ngelamunin apa?” Aray tampak sangat penasaran.
Belum sempat Maureen menjawab, beberapa karyawan yang baru sampai kantor datang mendekat. Mereka sama-sama ingin naik ke lantai atas menggunakan lift. Seketika mereka langsung terdiam dan berpura-pura tidak saling kenal. Beberapa karyawan yang mengenal sang bos besar pun berusaha menyapa, sambil menunduk hormat.
Tidak berapa lama kemudian, pintu lift terbuka. Para karyawan lain menunggu hingga bos besar mereka masuk terlebih dahulu. Aray memilih berdiri di posisi paling belakang, sementara Maureen berada tepat di depannya. Ketika lift tengah bergerak naik, Aray menarik pelan tangan Maureen agar berdiri di sampingnya.
“Langsung ke ruanganku, ya,” bisik Aray tepat di samping telinga Maureen.
Maureen hanya mengulum senyum. Pipinya seketika merah merona karena tersipu malu. Aray suka melihat Maureen ketika sedang tersipu seperti ini. Gadis itu terlihat begitu menggemaskan di mata Aray. Lelaki itu tidak mengalihkan pandangan dari jawah yang selalu bersemu merah ketika sedang malu-malu.
Beberapa menit kemudian, lift sudah sampai di lantai lima belas. Aray benar-benar tidak membiarkan Maureen keluar dari lift. Tangannya terus berada di belakang punggung Maureen, dan menahan gadis itu dengan menarik bajunya agar tidak keluar. Alhasil, mau tidak mau Maureen pun menurut.
Maureen mengikuti Aray dari belakang. Dengan santai sang bos menyapa setiap karyawan yang dia lewati. Begitu pun dengan Maureen yang berjalan sambil terus menunduk karena malu. Dia merasa tidak seharusnya berada di lantai ini. Bukan tanpa alasan, lantai lima belas ini merupakan area kerja para manajer dan direktur dari beberapa divisi di perusahaan tersebut.
Begitu sampai di depan ruang kerja Aray, rupanya Dewi belum sampai. Lelaki itu langsung membuka pintu dan mempersilahkan Maureen untuk masuk terlebih dahulu, setelahnya dia menutup pintu dan menguncinya. Maureen hanya menuruti titah bosnya saja. Sejatinya dia tahu tujuan sang bos memintanya langsung ke ruangan itu bersamanya pagi-pagi begini.
Aray meletakkan tas di atas meja, lalu berbalik menghadap Maureen yang masih berdiri di tengah ruangan. Aray memandangi Maureen untuk beberapa lama hingga membuat gadis itu salah tingkah.
“Bagaimana keputusanmu, Ren?” tanya Aray tanpa basa-basi.
Maureen menghela napas berat, lalu berkata secara langsung. “Sebelum aku menjawab, ada sesuatu yang harus aku ceritain sama kamu.”
“Apa?”
Maureen mulai menceritakan mengenai kehancuran keluarganya. Perselingkuhan sang bapak yang membuat ibunya frustasi hingga memilih bercerai. Beberapa tahun yang lalu ibunya meninggal karena penyakit kanker serviks yang dideritanya, hingga akhirnya gadis itu memilih untuk hidup secara mandiri. Tidak ingin pulang ke rumah sang bapak ataupun memanfaatkan kekayaan orang tuanya yang melimpah. Selama ibunya meninggal, dia hidup dari uang peninggalan sang ibu.
Semua Maureen ceritakan tanpa ada yang ditutupi. Maureen tidak tahu apakah Aray akan tetap mau bersamanya atau tidak, dia sudah tidak peduli lagi. Yang pasti hatinya merasa lega karena apa yang dia simpan selama ini bisa dia ceritakan pada seseorang.
Aray menghela napas berat.“Aku tahu nggak mudah menerima seorang wanita dengan latar kehidupan sepertiku. Aku pun maklum kalau akhirnya kamu pergi dan menjauh. Aku sangat paham, asal kamu nggak pecat aku dari sini, aku udah sangat berterima kasih,” kata Maureen dengan suara yang sangat tenang.
Aray mendekati Maureen. Ditatapnya gadis itu dengan sorot mata yang tidak bisa diartikan. Maureen hanya bisa menunduk.
“Aku tidak peduli seperti apa latar kehidupanmu, Ren. Justru karena ini, aku semakin ingin mengenalmu dan keluargamu lebih jauh,” tutur Aray membuat Maureen seketika melongo.
Sebuah keajaiban lelaki bak pangeran Yunani ini dengan mudah mau menerima dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mumpung Berkhayal Masih Gratis
RandomEVENT CERPEN YAZAR TEAM Penulis: Any Ling Komunitas: Aksara World Exploration