Ulang Tahun (H-6)

2 0 0
                                    

“Pak, ini berkas yang Bapak minta." Maureen mengingatkan mengenai tujuannya diminta menghadap langsung.

Aray tersadar dari rasa terkejutnya, mengetahui status Maureen yang seorang jomlo. Dia langsung meraih map itu dan memeriksanya, sambil sesekali melirik Maureen yang masih berdiri di hadapannya.

“Masa cewek kayak Maureen ini jomlo, sih? Tapi bagus juga kalo dia jomlo,” batin Aray sambil memeriksa berkasnya.

“Oke, kamu boleh keluar sekarang,” titahnya setelah selesai menandatangani berkas tersebut.

“Baik, Pak. Saya permisi,” pamit Maureen, lalu membalikkan badan hendak keluar.

“Maureen! Inget peraturan baru tadi, ya.” Aray kembali memanggil Maureen dan mengingatkan gadis itu.

Meski merasa aneh, Maureen tetap saja mengangguk dan kemudian keluar dari ruangan Aray. Sejak tadi dia sudah tidak bisa tahan berhadapan langsung dan menatap pangeran Yunani-nya terlalu lama. Maureen takut terserang penyakit jantung jika terlalu lama berinteraksi dengan si bos paripurna.

Maureen memegang dadanya sambil berjalan pelan menjauhi pintu ruangan Aray. Dewi yang sedari tadi mengamati tingkah Maureen pun langsung mengerti situasi.

“Hei, kenapa?” tanyanya sambil cengengesan.

“Bos lo aneh, Mbak,” balas Maureen.

Dewi justru tertawa cekikikan melihat rona merah di pipi Maureen.

“Lo ditembak sama si bos?”

Pertanyaan Dewi spontan membuat mata Maureen melotot.

“Kagak lah. Mana mau dia sama gue,” kilah Maureen. “Eeh, tapi emang Mbak Dewi nggak jatuh cinta sama dia?” tanyanya kemudian karena penasaran.

“Huus! Ngawur lo. Mana mungkin gue jatuh cinta sama cowok laen. Mau di umpetin ke mana laki gue.”

Kali ini Maureen yang cekikikan. “Kirain Mbak mau poliandri lihat cowok yang gantengnya paripurna gitu.”

“Sembarangan lo. Udah sana balik kerja.” Dewi mengusir sambil memukulkan map ke bahu Maureen.

Maureen pun berlalu dengan meninggalkan suara tawa renyah di telinga Dewi, bahkan di telinga Aray yang ternyata sejak tadi memerhatikan mereka dari balik dinding kaca. Senyum menawannya terbit.
***

“Ren, lo nggak balik?” tanya Indira yang mulai menata mejanya ketika jam pulang kantor tiba.

“Gue lembur, Ra. Lo nggak lihat tadi si perawan tua itu kasih kerjaan numpuk gini ke gue,” keluh Maureen.

Insira menjatuhkan pantatnya lagi di kursi kerjanya. “Gue temenin, deh.”

“Eh, nggak papa kalo lo mau balik duluan, Ra. Gue, kan, udah biasa lembur juga.”

“Udah, nggak papa juga gue temenin lo lembur. Lagian bosen gue di rumah. Sepi.”

Maureen tidak menanggapi. Dia harus menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin, supaya dia bisa segera pulang dan beristirahat.

“Gue bikinin lo teh anget dulu, deh, ya.” Indira berinisiatif.

“Oke, thanks, ya, Ra.”

Indira berjalan menuju pantry. Sesampainya di sana, dia melihat Dewi tengah menata beberapa lilin kecil di atas kue tart.

“Waaah, siapa yang ultah, Mbak?” tanya Indira sambil meracik teh di dalam gelas.

“Eh, Ra. Kebetulan banget lo ada di sini. Tapi masa lo nggak tahu, sih, kalo sobat lo hari ini ultah?”

“Maureen maksudnya?”

Dewi mengangguk.

“Astaga, iya, ya. Ini, kan, tanggal sepuluh. Duuuh gue, kok, bisa lupa, sih.” Indira menepuk keningnya beberapa kali.

“Heh, heh, udah, udah. Yang ada jidad lo penyok nanti kalo lo tepukin mulu. Mending sekarang kita ke sana, kasih dia kejutan,” usul Dewi.

“Oke, oke, Mbak. Makasih banget, ya,” balas Indira.

Mereka berdua kemudian berjalan menuju meja kerja Maureen sambil mengendap-endap.

“Happy birthday Maureen, happy birthday Maureen, happy birthday happy birthday  happy birthday Maureen.”

Maureen langsung menoleh ke belakang, dia mendapati Dewi dan Indira tengah memegang kue tart sambil bernyanyi dan tersenyum ke arahnya. Saat itu dia baru ingat kalau hari ini dia berulang tahun. Maureen terharu, gadis itu menangis bahagia. Indira meletakkan lilin di meja kerja Maureen. Mereka memintanya membaca doa lalu meniup lilin.

“Ini surprise dari big bos,” bisik Dewi pada Maureen.

“Serius, Mbak?” tanya Maureen tidak percaya.

“Iya. Udah sana dipotong kuenya, lo anter satu piring buat dia. Doi masih ada di ruangannya, tuh.”

Seketika Maureen menjadi tersipu. Antara percaya dan tidak mendapat perlakuan seistimewa ini dari bos besar.

Mumpung Berkhayal Masih GratisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang