Harapan (H-9)

1 0 0
                                    

Maureen sudah tidak berminat lagi untuk melanjutkan pekerjaannya malam ini.

“Loh, Ren. Katanya mau lembur?” tanya Indira sekembalinya Maureen dari ruangan sang bos.

“Udah bed mood. Udah, ah, balik, yuk,” ajak Maureen.

Dia menumpuk asal semua berkas di atas mejanya. Maureen juga berencana besok akan datang ke kantor lebih pagi, agar bisa melanjutkan pekerjaannya ini.

Akhirnya Indira hanya menurut saja. Dia mengikuti langkah Maureen ke arah lift, dan pulang.

***
Sampai beberapa hari kemudian, Maureen belum juga mau menceritakan apa yang terjadi ketika dia mengantar kue ke ruangan Aray pada Indira. Membuat Indira begitu penasaran.

“Ra, lo beda sekarang. Nggak mau cerita-cerita lagi sama gue,” gerutu Indira ketika mereka tengah istirahat makan siang di kantin kantor, mereka sedang duduk berhadapan.

“Emang penting, ya?”

“Penting banget lah. Gue itu penasaran, lo itu di apain aja sama bos ganteng itu.”

Seketika Maureen langsung menjitak kepala Indira. “Isi kepala lo itu apa aja, sih? Negatif mulu perasaan.”

“Aaw! Sakit tahu, Ren.” Indira cemberut. “Ya ... gimana, gue itu nggak ngebayangin, lo yang always jomlo ketemu sama pangeran se-paripurna itu.”

Maureen mencebik. “Emang dia yang kasih kue ultah kemarin.”

Akhirnya Maureen bercerita pada Indira.

“Hah!? Seriusan?” pekik Indira, membuat Maureen langsung berusaha menutup mulut sahabatnya tersebut.

“Jangan teriak-teriak, dong! Entar kalau orang-orang tahu bisa berabe, Ngehek,” ucap Maureen dengan suara rendah yang ditekan.

“Sorry, sorry,” balas Indira dengan bola mata berbinar. “Fix, gue yakin si big bos suka sama lo, Ren. Eem, beruntung banget, sih, lo.”

Wajah Maureen bersemu merah, senyum cantik tercetak di bibir tipisnya. Kedua telapak tangannya menopang dagu.

“Ngomong-ngomong, harapan lo di ultah ini apa, sih, Ren?” tanya Indira lagi penasaran.

“Gue pengen punya pacar, terus nikah, punya keluarga, punya anak-anak yang lucu-lucu.” Maureen berucap jujur tanpa sadar.

Hal itu langsung jadi bahan godaan untuk Indira. Gadis itu tersenyum nakal ke arah Maureen.

“Pasti lo pengennya nikah sama si pangeran Yunani lo itu, ya?” goda Indira.

Maureen yang tersadar dari khayalan pun langsung tergagap.

“Eh, eng ... apa, sih, Ra. Enggak.” Pipinya kembali bersemu merah.

“Ciyeee yang lagi kesem-sem pangeran Yunani.” Indira makin gencar menggoda sahabatnya.

Tanpa membalas godaan Indira, Mauren hanya tersenyum serba salah, sambil melemparkan kerupuk ke arah Indira.

Tidak jauh dari tempat kedua sahabat itu duduk dan bergurau, ternyata Aray tengah memerhatikan sembari berusaha menahan senyum gelinya. Lelaki itu tengah makan siang bersama ketiga koleganya. Aray kini yakin, rasanya pada Maureen tidak bertepuk sebelah tangan.

“Ke ruangan saya sekarang!” sebuah pesan masuk di aplikasi hijau ponsel Maureen.

Maureen yang tidak menyadari keberadaan Aray di sekitarnya pun hanya bisa mengernyitkan dahi.

“Kenapa, Ren?” tanya Indira penasaran.

“Umur panjang banget, sih, doi? Masa baru aja kita omongin, dia udah chat dan suruh gue ke ruangannya sekarang.”

Mata Indira membelalak. “Ya udah, sono buruan.”

Dengan terpaksa bercampur degup jantung yang tiba-tiba upnormal, Maureen memutuskan untuk segera memenuhi titah sang bos. Untung saja dia telah selesai makan.

Bukan tanpa alasan Aray melakukan itu, hal itu karena dia tidak ingin Maureen kembali bertemu dengan Bimo dan teman-temannya. Karena mereka pasti akan berusaha mendekati Maureen lagi. Begitu memastikan Maureen sudah berjalan cukup jauh, Aray segera pamit kepada Bimo dan kedua temannya untuk kembali bekerja.

Sesampainya di depan pintu ruangan sang bos. Bukan Dewi atau Aray yang Maureen temui, tetapi seorang wanita bertubuh seksi dan berpakaian sangat terbuka. Bahkan sampai memperlihatkan belahan dada, dan juga memperlihatkan separuh paha mulusnya. Sejenak Maureen terpaku melihat penampilan wanita bergincu merah merona tersebut.

Mumpung Berkhayal Masih GratisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang