˖࣪ 🥃 ''

70 15 2
                                    

Angin berhembus menerbangkan helaian rambut (Hair Colour)ku. Aku berdiri di tepi jembatan, menikmati pemandangan sungai yang tersuguh di depanku.

Sungguh indah. Sungai dan langit fajar yang menemani kesendirianku jelas terpahat sempurna. Berbeda dengan hidupku.

"Ck."

Kesal. Air mata ini lolos tanpa mau toleran pada hasil yang akan terjadi, sembab dan membengkak. Aku tidak mau mataku akan terlihat begitu di depan umum.

Mengusapnya kasar, aku lantas menahan diri untuk tidak menangis lagi setelah semalam melakukannya. Haha memalukan, aku bukan lagi anak kecil tapi masih saja menangis karena hal sepele.

"Menyebalkan."

Mataku membendung bulir-bulir air yang siap menetes. Tidak, jangan lagi. Kumohon.

"Sialan!"

Ku tendang pagar pembatas jembatan, melampiaskan rasa kesal ku di sana.

Hatiku bergemuruh, jantungku berdegup kencang. Rasa kesal ku bertambah besar hingga kurasa aku mulai marah-marah sendiri di atas jembatan.

"Hhh gila."

Entah kenapa aku teringat pada satu hal.

"Mau bunuh diri ganda, nona?"

Dia muncul tepat saat aku memikirkannya.

"Dazai?"

"Hm?" sepasang tangan melingkari pinggangku dari belakang, "Kau langsung mengenaliku hanya dengan suara, mengagumkan."

Aku mendengus, "Siapa lagi yang akan mengajak bunuh diri ganda jika bukan kau, Dazai Osamu."

Dazai tertawa mendengar ucapanku.

Dekapannya pada pinggangku mengendur. Kini ia berdiri di sampingku, ikut menghadap aliran air yang jernih di depan kami.

"Jadi, bagaimana? Kau mau?"

Bunuh diri ganda? Dengan Dazai?

Aku menoleh, melihatnya yang tersenyum melihat matahari yang mulai menyingsing. Ekspresinya itu, aku tidak dapat membacanya. Apakah ia senang? Atau dia hanya ingin terlihat bahagia di depanku?

"Kau sendiri serius ingin melakukannya? Kau tidak khawatir apa yang akan terjadi kalau kau mati?"

"Memang apa yang mungkin aku khawatirkan?"

"Orang yang akan merindukanmu? Kau tidak memikirkan mereka, Dazai?"

Dia melirikku, lalu merubah senyumnya menjadi seringai, "Aku tidak perlu memikirkannya. Apa kau memikirkan itu sebelum mati, (Name)?"

Pertanyaan baliknya itu membuatku bungkam. Aku tidak bisa menjawab, atau lebih tepatnya tak mampu.

Aku tidak pernah berpikir seseorang akan merindukanku jika aku pergi, bahkan perginya aku ke jembatan saat pagi buta tidak membuatku berpikir aku akan dicari oleh seseorang.

Karena tidak ada yang peduli padaku.

"Mereka menyayangimu."

Pikiranku seketika buyar oleh suara Dazai.

"Menyayangi?" aku tidak yakin mendengar kata itu.

Mengangguk singkat, ia kemudian menoleh dan tersenyum hingga kedua matanya menyipit, "Mereka peduli padamu, (Name)."

Bagaikan sebuah mantra, ucapannya membuatku menangis dalam sekejap.

Mereka peduli padaku katanya? Siapa? Siapa yang akan peduli?

Tetesan air berjatuhan dari wajahku.

Tidak. Jangan menangis bodoh! Jangan menangis!

"Menangis lah, tidak ada yang melihatmu, ini masih terlalu pagi."

░▋   𝐍𝐎  𝐋𝐎𝐍𝐆𝐄𝐑  𝐇𝐔𝐌𝐀𝐍   ♥︎ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang