Tujuh: RASA

10 7 0
                                    

Pandangan pertaman yang ia tuju saat membuka pintu kamar adalah Sofa. Tempat dimana Semalam Steve memilih tidur disana. Tetapi lelaki itu tidak ada. Bahkan Niel yang semalam tidur di tempat itu juga hanya meninggalkan selimutnya di lantai beralas.

Pintu kamar disebelahnya juga tertutup rapat. Naya mencoba berjalan Menuju dapur untuk mencari Steve dan Niel yang barangkali sedang sibuk membuat sarapan, tetapi hasilnya nihil. Hanya ada sisa kotoran yang semalam belum sempat dibersihkan Niel setelah memanggang daging.

Alih-alih menicum asap rokok yang melewati hidungnya, Naya mengarahkan pandangannya pada balkon, dan disanalah dia melihat sesosok Niel dengan celana diatas lutut sedang menghirup sebatang rokok di tangan kanannya.

Tetapi anehnya, Niel hanya sendiri. Tanpa Steve ataupun Alika.

"Hai," Naya bergerak mendekati Niel.

Niel menoleh. Wajahnya biasa saja saat tahu Naya bergerak kearahnya. "Kau sudah bangun?"

"Dimana Steve?"

Niel menghempaskan asap rokoknya ke udara terlebih dahulu, barulah ia menjawab, "sedang keluar."

"kemana?"

"Membeli roti." Niel menjawab santai. "Karena di rumah ini bertambah dua orang. Kau dan Alika, jadi dia berpikir untuk membelikan kalian sarapan."

Naya manggut-manggut saja. Dia jadi merasa merepotkan Steve dan Niel. Padahal kan Steve tidak perlu memberinya tumpangan tidur yang katanya hanya untuk melindunginya. Lagian melindungi apa. Naya hanya ingin mencurahkan hatinya saja kemarin. Tapi Steve terlalu menganggapnya serius.

"Kau benar-benar hanya teman dengan Steve?" Sembari mematikan rokoknya, menekannya dalam-dalam ke asbak hingga warna merah di ujung rokok itu pun meredup.

Naya mengerjapkan matanya. Mencerna dengan baik pertanyaan Niel, kemudian menjawab. "tentu."

Mereka kembali terdiam. Semilir angin hanya berbisik lewat telinganya. Menyampaikan kegundahan yang menggelayuti pikiran Naya. Tentang Steve yang tiba-tiba saja masuk dalam ceritanya. Menjadi tokoh misterius yang sama sekali tidak masuk dalam pikirannya.

Musim dingin masih akan terus berlanjut. Sabtu pagi yang tiada habisnya tentang keindahan. Detik demi detik terus berlanjut tanpa mau berhenti sebentar. Sejenak terpaku pada kota ini. Besok Naya sudah harus kembali. Menjajakkan kaki lagi ditanah air. Kembali bergulir pada Papa dan segala opininya. Dia masih tidak tahu, apakah ia bisa membuka hatinya. Mempersilahkan seseorang untuk masuk. Karena, baginya jatuh cinta itu mudah, tetapi membuka hati untuk cinta yang baru itu susah. Tetapi Naya tidak perlu waktu lagi. Dia akan mencoba sesampainya nanti di Indonesia.

Samar-samar suara pintu dibuka, Niel dan Naya sama-sama menoleh kearah tersebut. Steve memegang satu kantong plastik berisi roti panjang. Kemudian mengangkat plastik tersebut seraya menoleh pada Naya dan Niel seolah memberitahu, 'aku sudah membelinya,'.

Naya hanya tersenyum ditempatnya. Sementara Niel melirik kesebelahnya kemudian melirik Steve lagi dan melirik Naya lagi. Lantas dia berujar, "Kau yakin tidak menyukainya?"

Naya menghentikan senyumnya, dia menoleh dengan pandangan kosong. Tetapi setelahnya dia menjawab dengan santai. "Tidak."

Niel tersenyum meremehkan.Seolah perkataan Naya hanyalah omong kosong. Tanpa mau memperpanjang lagi, Niel melangkahkan kakinya, meninggalkan Naya yang menatapnya heran sendirian. Tapi Diambang pintu Niel berhenti, kemudian membalikkan badannya. Seolah ada sesuatu yang lupa yang ingin ia katakan.

"Well, Tetapi bagaimana kalau dia yang menyukaimu?"

Naya memilih diam. Pandangannya mengarah lurus pada Niel yang senyum-senyum sendiri di ambang pintu. Ini kali kedua dia mendengar tentang bagaimana jika memang Steve menyukainya. Dan Naya tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Dia bahkan tidak mempersiapkannya. Lagipula untuk apa dan salah siapa jika itu terjadi? Siapa yang duluan merengek meminta masuk dalam cerita hidupnya? Kalau memang pertanyaan Niel barusan adalah benar, biarkan hal itu menjadi abu-abu tanpa ada yang menghakimi untuk mencintai.

LONDON and UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang