3

316 85 14
                                    

Felix berdiri dihadapan Dewa Kematian, memamerkan jajaran giginya yang rapi. Wajah dibuat memelas, ia letakkan keranjang anyaman berisi beberapa persik serta kue bulan di atas meja. Johnny hanya memandang datar. Bukannya mendekam di ruang kerja menyelesaikan hukuman, sang anak buah malah datang membawa hal tidak-tidak.

"Apa ini?" Tanya Johnny kelam.

"Tentu saja sogok---maksudnya persembahan untuk Yang Mulia, hehe. Tolong, maafkan kesalahan hamba yang bodoh ini, wahai Tuanku." Ujar Meliodas seraya menunduk dalam, berusaha mendapat kemurahan hati Johnny. 

Dewa Kematian menyungging senyum manis, berbanding terbalik dengan perempatan kesal pada dahinya. Anak buah satu ini lain daripada yang lain. Terlalu berani.

Belum sempat menyahut, si Meliodas merogoh saku jaket, mengeluarkan secarik kertas.

"Yang Mulia, anda sudah dengar rumor pelayan pribadi baru di kediaman Dewa Mimpi yang kecantikannya menggemparkan? Ini nomor ponselnya, eksklusif hanya untuk Tuanku. Tidak usah sungkan, terimakasih kembali. Sekarang boleh hamba menyusul kakak Domingard?"

Senyum Johnny berubah masam. Jadi....harga dirinya hanya sebatas persik, kue dan nomor ponsel wanita cantik, huh?
Keponakan Dewa Akhirat benar-benar sinting.

"Kau menyogokku?" Kalimat Johnny penuh penekanan, menahan gemas.

"Hamba yang hina mana berani seperti itu!" Sergah Felix cepat. "Setelah menjalani hukuman, hamba merenungi belum mampu memenuhi harapan Yang Mulia. Anak magang ini bertekad cepat lulus, jadi izinkan kembali ke sisi kakak Domingard, Ya ya ya??" Pinta Felix dengan binar penuh harap.

Johnny memijat pelipis. Niat hati melapor ke Dewa Akhirat, urung dilakukan. Takut sang rekan akan memanggang Meliodas di atas bara neraka saking kesalnya. Usai perang batin berkecamuk, Dewa Kematian memutuskan mengambil kertas yang disodorkan Felix, mengantungi di saku kemeja.

"Pergi sana!" Usirnya ketus.

⛩️

37 hari.

Hari Jeongin berubah kacau. Subuh belum lama datang, namun ia sudah bangun dengan dada berdetak kencang dan napas memburu. Kegelisahan membelenggu usai vonis dijatuhkan sang penjemput jiwa, tidak memberi kesempatan tidur nyenyak. Terlebih....tiap membuka mata, makhluk itu yang pertamakali dilihat. Seingatnya semalam Domingard diusir pergi. Namun pagi hari muncul lagi di kamar, mengawasi gerak-geriknya sepanjang hari. Jeongin muak.

Pergi tidur dibayangi ketakutan, bangun pagi cemas menanti ajal.

Sial.

"Apa yang kau lakukan?" Pemuda manis itu berujar parau saat ekor mata menangkap sosok penjemput jiwa sudah duduk di kursi belajarnya, mengamati botol-botol obat berderet rapi.

Makhluk itu tidak mengalihkan perhatian. Netra jelaga tertarik membaca komposisi dan aturan pakai salah satu botol yang dipegangnya.

"Sudah bangun? Kau bahkan tidak tidur semalaman." 

"Tahu darimana kau?"

"Apa yang tidak kuketahui saat wajahmu menjelaskan semua." Jawaban telak sang penjemput jiwa membuat uap kesal keluar dari celah. Makhluk ini...benar-benar...

"Mengharapkan tidur nyenyak sementara ada makhluk asing seenaknya keluar masuk kamar? Dan lagi....menunggu kematianku." Ujar Jeongin sarkas seraya menyibak selimut. Mood nya makin kacau. 37 hari waktu tersisa, bahkan tak sempat berpikir harus lakukan apa. Di lain pihak, sepertinya si bajingan itu tenang-tenang saja mengawasi dari sudut manapun sesuai kehendak. Kengerian yang ditunjukkan tempo hari membuat Jeongin sebisa mungkin menahan gejolak perasaan. Ia meredam emosi.

REQUIEM [HYUNJEONG] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang