7

274 82 30
                                    

3 hari.

Akhir-akhir ini Jeongin tidak tidur nyenyak, terbangun di malam hari dengan napas tersengal dan badan bergetar cemas. Sekuat apapun sugesti penjemput jiwa berusaha menenangkan, sulit jika dipraktekkan langsung apalagi tengah mengalami sendiri. Otak remajanya terlalu dini memahami ilmu tingkat tinggi mengenai hidup dan mati. Ia hanya tahu jika terlelap lebih awal, mimpi buruk menunggu.

Tatapan Domingard tidak berhenti mengawasi sosok pemuda yang betah di kursi belajar. Wajah layu menyibukkan diri mencorat-coret agenda, membuatnya terganggu.

Entah bagaimana, Domingard memberi kode Meliodas yang sedang menggerogoti sebutir apel untuk keluar kamar. Makhluk itu mendelik tanpa suara, sebelum sang mentor melayangkan tatapan membunuh membuat nyali ciut. Ia terpaksa mengungsi sementara ke sudut lain rumah, menyisakan dua orang di kamar.

"Tidur." Ucapan bernada perintah membuat Jeongin mengangkat kepala, melirik jam dinding.

"Ini baru pukul delapan. Makan malamku bahkan belum turun ke usus." Elaknya.

"Tubuhmu lelah. Tidurlah."

Hendak membantah, namun Jeongin memang merasa letih. Jika merebahkan tubuh sekarang, besar kemungkinan langsung jatuh tertidur tapi....hal lain ditakutkan adalah setelahnya. Ia tiba-tiba akan terbangun dengan debaran kencang pada dada dan kepala pias. Hal tersebut berbalik menurunkan kondisi.

Jeongin meletakkan pena, mendapati tatapan Hyunjin masih mengintai. Kedua tungkai kurus terpaksa mendekati ranjang, menggulung tubuh dengan selimut tebal walau belum memiliki niatan tidur. Netra rubahnya berkedip-kedip, masih ingin mencoreti agenda atau setidaknya diajak bicara. Jeongin melirik sang penjemput jiwa, ragu.

"Hei...mau menemaniku tidur?"

Demi Tuhan, Jeongin hanya bicara omong kosong. Ia ingin mencairkan suasana karena makhluk itu tidak memutus pandangan sedikitpun darinya. Namun Domingard menanggapi serius. Satu jentikan jari, lampu dipadamkan membuat kamar berubah temaram. Tubuh jangkungnya sudah berada di sebelah Jeongin dengan punggung menyandar headboard.

"Sekarang tidur." Hyunjin memperbaiki letak selimut. Mendapat perlakuan manis, Jeongin terdiam. Wajah pemuda itu tiba-tiba menghangat, bersamaan dengan debaran dada yang datang lebih awal. Anehnya, ini tidak menyakitkan. Justru terasa menyenangkan.

Mengabaikan perintah, Jeongin malah memiringkan tubuh menghadap Domingard.

"Maukah kau menceritakan padaku?" Tanyanya penuh harap.

"Ceritakan apa? Asal kau tidur setelah ini." Ucapnya sembari melirik sang jiwa.

"Bagaimana suasana tempatmu berasal?"

Domingard tampak berpikir. Menceritakan sedikit tentang dimensinya berasal, tidak ada salahnya.

"Kau harus melihat secara nyata. Apa yang ada disana tidak bisa dibayangkan. Namun jika disamakan dengan isi bumi, kau bisa menggambarkannya seperti lautan awan putih tanpa tepi berhias gradasi. Bangunan Parthenon, seperti itulah kira-kira bentuk kasar istana kematian. Tentu saja berkali lipat lebih besar. Istana Dewa lain ada dalam satu dimensi, letaknya berjauhan."

"Wah...." Samar-samar deskripsi Domingard terbayang dalam pikiran. "Lalu, bagaimana dengan gerbang akhirat yang sering kau sebut?"

"Tentu saja hanya berupa gerbang." Jawab sang penjemput jiwa sekena nya.

"Bukan begitu maksudku." Jeongin merengut tidak puas. "Bagaimana bentuknya? Ada apa di dalam sana?"

"Aku tidak pernah menginjakkan kaki ke dalam. Para penjemput jiwa hanya mengantar sampai di pintu gerbang raksasa berwarna merah yang disebut Torii. Jiwa otomatis menyebrang ke akhirat begitu sampai disana."

REQUIEM [HYUNJEONG] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang