Jeongin ingat betul semalam adalah tidurnya yang paling pasrah seumur hidup. Tidak berani berharap melihat matahari terbit, rupanya kedua kelopak mata masih terbuka saat dering halus alarm ponsel berbunyi untuk kedua kali. Ia mengerjap linglung menatap layar.
Pukul tujuh pagi.
Waktu kematiannya masih jadi misteri, bahkan bagi penjemput jiwa. Itu berarti ia akan menghabiskan sisa hari ini dengan perasaan waswas. Menarik napas panjang, Jeongin menyibak selimut, duduk di tepi ranjang.
"Selamat pagi." Domingard dihadapannya menyodorkan segelas air. Sejak menutup mata tadi malam hingga bangun di pagi hari, makhluk itu tidak pergi dari sisi Jeongin semalaman.
"Pagi..." Desis Jeongin menyungging senyum tipis. Hendak meraih gelas yang disodorkan, Domingard justru beralih duduk di sebelahnya, pelan-pelan membantu minum.
"Jangan terlalu gelisah." Gumam Hyunjin. Ia tidak buta mendapati sekujur tubuh Jeongin gemetaran. Sang penjemput jiwa membiarkan pemuda itu menenangkan diri beberapa saat, hingga kedua tungkai sanggup menopang tubuhnya berdiri.
Jeongin beranjak menuju toilet. Terakhir kali menjalani rutinitas, ia akan lakukan semua dengan baik. Mandi air hangat di musim dingin jadi pilihan. Tiap tetes air pada tubuh terasa lebih istimewa hari ini, masuk ke dalam memori yang ingin diingat.
Jeongin telah menyiapkan pakaian terbaik menurutnya; sweater putih dan celana panjang hitam favorit. Ia mematut pada cermin, tersenyum kecil mendapati penampilan terlihat lebih segar.
Tatapan Domingard pada langit kelabu beralih ketika Jeongin mendekat ke arahnya. Senyum lembut terbibit dari paras dingin sang penjemput jiwa.
"Mama mu meninggalkan sarapan." Domingard meraih pergelangan tangan Jeongin, menuntunnya keluar. Sup tahu, gulungan telur dan semangkuk nasi terhidang di atas meja. Catatan kecil tertempel pada gelas air jadi perhatian.
Mama pulang terlambat hari ini.
Hati-hati berangkat sekolah.
Mama mencintaimuJeongin meringis kecil. Yoo Jin tidak tahu ini kedua kalinya ia membolos. Pemuda manis itu mengambil mangkuk lain, membagi setengah nasi dan lauknya, menyerahkan pada Hyunjin yang duduk di seberang seraya mengulas senyum.
"Temani aku sarapan." Pintanya.
Namun makhluk bersurai merah itu mendorong pelan mangkuk yang disodorkan.
"Kau lebih membutuhkan makan daripada aku." Tolaknya.
"Untuk terakhir kali..."
Domingard melayangkan tatapan perih, tangannya berhenti mendorong. Sementara Jeongin mengangkat mangkuk miliknya, mulai sarapan.
"Selamat makan." Gumamnya. Masakan buatan Yoo Jin masuk ke mulut terasa getir, susah payah ditelan. Kunyahan Jeongin melambat. Sarapan paling sendu dalam hidup, hanya ditemani Domingard yang ikut makan demi menghormati keinginan terakhirnya.
Usai membereskan peralatan bekas makan, Jeongin melirik kertas yang ditempel mama pada gelas. Ia melepasnya, membalik bagian belakang catatan, menulis kalimat sebelum kembali direkatkan.
Terimakasih sarapannya.
Aku juga mencintaimu.Langkah kaki kembali membawa Jeongin memasuki kamar. Ia memeriksa satu persatu benda-benda yang hendak ditinggalkan. Buku agenda berisi wasiat dan memory card kamera diletakkan di atas meja. Kertas partitur terlipat di laci sebagai kenang-kenangan. Tidak masalah jika ditemukan setelah upacara kematian atau jauh hari kemudian.
"Jangan terlalu merasa tertekan." Tegur Hyunjin yang terusik mendapati paras Jeongin kembali memucat.
"Aku tidak apa." Jawab Jeongin berbarengan dengan ponselnya yang tiba-tiba bergetar di atas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
REQUIEM [HYUNJEONG]
Fantasy[END] Setiap makhluk hidup akan mati... Siap atau tidak, hari itu pasti datang. Disaat tiba, kegelapan merangkak keluar celah. Malaikat penghakiman terbang turun dari langit senja. Tidak ada yang bisa menghentikan jika Yang diatas sudah berkehenda...