Banyak tangga menuju langit...
Dan perantaranya adalah para pemanen jiwa...****
Gemuruh langit mendung tampak tidak mengganggu aktivitas orang-orang. Suhu rendah musim dingin dan guguran dedaunan mengotori jalanan kota padat, bagai angin lalu. Semua sibuk berpacu dengan waktu. Langkah-langkah gesit menyejajarkan ritme kehidupan.... hingga tidak menyadari kelabu makin pekat menutup sinar tipis matahari di atas kepala.
Bukan bayangan biasa...
Personalita dengan sepasang sayap legam terkembang, mengingatkan pada burung pembawa kabar kematian: gagak. Surai panjang serupa lidah api berkibar tertiup angin. Zeus dalam mitologi Yunani rasanya tepat menggambarkan wajah rupawan makhluk satu ini. Mengenakan atribut serba hitam berbahan kulit licin, sosok tersebut tepat membayang di tengah-tengah cincin tipis matahari. Bibir penuh mengulas seringai tipis saat netra jelaga tajam menangkap siluet orang yang dicari berada ratusan meter di bawah sana, menyatu dengan gegap gempita kehidupan manusia.
"Meliodas Felix."
Kalimat meluncur ringan menggaung ke segala penjuru, membuat sang pemilik nama yang sedang ongkang-ongkang kaki menikmati jeruk sesembahan di pinggir hutan keramat, mendongak kaget ke arah langit.
Tergopoh, sosok bersurai blonde tersebut meninggalkan kudapan milik para arwah yang sengaja dihaturkan saat hari raya. Sayap cokelat tuanya mengepak, menyongsong si surai api hendak menjejak di atas pembatas jembatan besar sungai Han. Meliodas berjongkok hormat, menumpu satu kaki pada aspal sembari menundukkan kepala dihadapan sang mentor.
Domingard Hyunjin.
Kepakan sayap sang Domingard membawa tubuh berselimut aura hitam, perlahan turun hingga kaki menyentuh pembatas jembatan. Kedua netra lekat pada sosok di bawah. Kehadiran dua makhluk ini tidak mengalihkan atensi lalu lalang kendaran dan pejalan kaki karena.... mereka memang tak kasat mata.
"Oi, Meli." Panggil Hyunjin datar.
"Iya, om-- maksudku kak Domingard..." Jawab Felix. Suara beratnya meremangkan bulu roma. Beberapa saat hanya menatap, kemarahan Hyunjin tidak dapat dibendung lagi. Perempatan kesal tercetak jelas di dahi sang Domingard. Tubuh jangkung condong, gesit menghantam kepala si Meliodas dengan buku catatan dosa bersampul hitam yang dipegang.
"ADUH!!!" Pekik Felix kesakitan sembari melindungi kepala. "WOI! Kenapa kau lakukan ini padakuuuu??!!!" Rengeknya tidak terima.
"Anak magang tidak tahu diri." Domingard Hyunjin meremas buku dalam genggaman hingga nyaris hancur. "Dengar, Meli keparat...... bagaimana kau akan jelaskan perkara jiwa yang harusnya mati kemarin malah tertukar, ha?!" Semburnya geram.
"Ahahaha, ki...kita bisa bicara baik-baik, Dom...maksudku kakak Domingard~" Felix cengengesan, melayangkan cengiran begitu Hyunjin siap menghantam kepalanya sekali lagi. "Tolong jauhkan, kepalaku bisa bocor. Itu buku jiwa milik siapa sih? Luarbiasa sekali dosa-dosanya." Si makhluk cerewet masih sanggup menggerutu.
"Tidak usah basa-basi. Jelaskan padaku KENAPA KAU BISA SALAH MENJEMPUT JIWA?!" Hyunjin berkacak pinggang menuding tepat wajah si anak magang.
"A...aahh. Itu, sebenarnya na...nama mereka mirip. Jadi aku asal jemput tanpa memeriksa lagi." Meliodas Felix menggaruk kepala yang tidak gatal, berusaha memberi alasan logis pada sang mentor. Padahal semua murni kelalaiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
REQUIEM [HYUNJEONG]
Fantasi[END] Setiap makhluk hidup akan mati... Siap atau tidak, hari itu pasti datang. Disaat tiba, kegelapan merangkak keluar celah. Malaikat penghakiman terbang turun dari langit senja. Tidak ada yang bisa menghentikan jika Yang diatas sudah berkehenda...