Persona

58 9 4
                                    

"Apa pendapat kalian tentang pernyataan kalau cewek itu nggak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena berujung di dapur?"

Pertanyaan itu berasal dari Tanisa. Kuduga, dia baru melihat berita atau apapun yang berhubungan dengan hal yang disampaikannya barusan. Hal itu terbukti saat dia menunjukkan layar gawainya. Aku tersenyum kecil sebelum meneguk air, sembari mendengarkan pendapat yang lain.

"Idih. Situ siapa ngatur?" Aya berkata demikian, lalu lanjut bicara, "kira-kira, itu respon dari beliau." Dagunya mengarah ke arah Zenia yang baru membuka mulut.

"Terwakilkan." Satu kata dari gadis dengan bentuk mata naik yang sering membuat orang salah paham itu, mampu melengkapi tawa kami.

"Serius, we, ih."

"Kalau menurut Aya, buat apa dengerin omongan orang? Fokus aja sama apa yang mau kita lakuin. Toh, enggak mengganggu hidup orang lain." Gadis bermata lentik itu berkata demikian, lalu kembali mengambil keripik kentang di hadapannya.

Aku setuju dengan Aya. Seseorang tidak bisa mengatur asumsi yang akan sampai kepadanya. Namun, seseorang bisa memilih untuk menjadikan itu suatu halangan yang memberatkan dirinya atau mengabaikan hal tersebut. Walaupun, aku rasa, mengabaikan hal-hal yang berkaitan dengan diri sendiri itu sangat menyulitkan.

"Tapi, gimana kalau kalian terjebak di lingkungan semacam itu? Entah karena ada yang menghasut atau memang udah mengakar."
Perkataanku menarik perhatian mereka. Terlihat Aya yang berhenti mengunyah keripik kentang, Tanisa yang meletakkan gawainya, dan ... Zenia yang tetap minum es dan makan roti dengan santai.

"Luna ada-ada aja, ya, mikirnya." Tanisa berkata demikian dengan senyum yang terlihat dipaksakan.

Aku kembali berbicara mengenai pembahasan itu. Mengenai adanya kemungkinan, bahwa bisa saja orang yang mempertahankan budaya semacam ini adalah korban yang menuntut balas. Namun, tidak ada cara untuk menyentuh orang sebelumnya, maka dia melampiaskan hal itu kepada orang selanjutnya.

"Kenapa dia seolah menuntut ke orang yang kemungkinan besar nggak ada hubungan dengan apa yang dialaminya, ya? Jahat banget, nggak, sih." Aya mengembuskan napasnya.

"Tapi, dia juga korban, 'kan?" sahut Tanisa.

"Efek domino?" tanya Zenia, lalu menyeruput es di tangannya.

Kepalaku langsung membayangkan susunan domino, lantas sebuah tangan menjatuhkan domino pertama dan berlanjut ke domino selanjutnya, bahkan tanpa disentuh oleh tangan itu. Harus ada yang memutus rantai itu. Itulah satu-satunya cara yang terpikirkan olehku. Teman-temanku turut setuju dengan hal itu.

"Cara mutusinnya?" tanya Aya.

"Harus ada yang rela jadi penutup, biarin orang selanjutnya terlepas dari anggapan ini." Aku mematahkan lagi sepotong dari sebatang cokelat yang sedari tadi kumakan. "kalau ini jadi potongan cokelat terakhir yang aku makan, maka sisanya bakal selamat. Tapi, tentu aja ini hal yang berbeda, karena cokelat memang untuk dimakan," lanjutku sembari menawari mereka untuk memakan cokelat.

Bagaimanapun, orang yang menjadi penutup itu seperti memakan buah simalakama. Jika dia menampung tekanan dari orang sebelumnya, tanpa membiarkan orang selanjutnya terkena, bukankah itu terlihat tidak adil dari sisi orang itu?

Atau, jika dia melanjutkan hal itu kepada anak-anaknya, bukankah akan terlihat tidak adil dari sisi orang selanjutnya? Kalau dari sisi orang itu, tentunya dia hanya melanjutkan kebiasaan yang ada. Terlepas dari benar atau salah yang dilakukannya, dia bisa berlindung dibalik kata tradisi.

Namun, apa itu adil?

"Gimana kalau orang itu sendiri yang malas? Atau keadaan emang nggak mendukung dia untuk lanjutin pendidikan atau malah emang enggak ada lowongan untuk perempuan di situ? Kita enggak boleh fokus ke satu hal aja, 'kan?"

PerzonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang