Bibir ini terus-menerus tertarik sudut-sudutnya, bersamaan dengan jempol kanan yang terus menggulir layar. Rasa heran ikut menghampiriku yang sedang melihat kreativitas warga aplikasi berlogo biru dan putih ini. Editan-editan tangan lihai mereka mengenai seleksi UTBK mampu membuatku tertawa malam ini.
Mataku tidak sengaja melihat ke arah jam dinding berwarna biru yang berada di atas pintu kamarku. Garis bibirku menurun dan kujauhkan punggung yang awalnya menempel pada tempat tidur berwarna putih. Ketika menoleh ka arah kanan, terlihat buku-buku berserakan di atas meja belajar.
"Kenapa buang-buang waktu, sih?" gumamku sembari berpindah dari duduk di atas tempat tidur menjadi duduk di kursi belajar dan meletakkan gawai di pinggir meja.
Rambut sebahu ini telah berhasil kusatukan dalam sebuah ikatan. Rambut pendek yang berada di bagian depan mulai turun menutupi dahi. Kuusap sekali sebelum meraih pena dan buku, tidak lupa menyalakan laptop.
Melihat masih banyak materi yang belum kulalui, decakan lolos dari bibir ini. Ini memang salahku, karena selama ini terfokus menaikkan nilai rapor. Kutarik kursi mendekati meja dan mulai belajar kembali.
Mataku tertuju pada buku berisi banyak soal yang telah terbuka di hadapanku. Rasa bahagia membuncah di hati, kala mampu menyelesaikan beberapa pertanyaan. Semakin bahagia ketika tahu bahwa jawaban yang kubuat sesuai dengan pembahasan di bagian belakang buku ini.
Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Tatkala mata ini menjumpai soal hitung-hitungan, kepala mendadak pening. Siku kiri menumpu di atas meja, telapak tangan yang terbuka menampung sisi kiri kepala. Tangan kanan bergerak cepat mencoret asal pada kertas hvs yang selalu kusediakan di atas meja. Kertas itu memang kusiapkan untuk menyalurkan rasa bosan saat belajar. Selain itu, agar tidak mengotori binder yang rapi ini.
Aku suka hal rapi. Di sisi lain, aku juga suka hal abstrak. Bagiku, hidup adalah kumpulan hal-hal abstrak yang tertata oleh takdir Tuhan. Sepert, telah ada hal-hal tertentu yang pasti akan dilalui setiap orang, terlepas dari seberapa jauh berbeda yang mereka lakukan.
Misalnya, setiap orang pasti akan mati, bagaimanapun caranya.
Mata ini tertuju pada laptop yang terbuka. Layarnya gelap, karena kudiamkan beberapa lama. Oleh sebab itu, tampaklah pantulan diriku. Timbul pertanyaan dalam benak ini.
Seberapa siap aku untuk mati?
Pertanyaan itu mengudara, tergantikan dengan gawai yang bergetar dan menyala. Tampaklah telepon dari Aya. Segera kuraih dan menjawab panggilan itu.
Aya hanya memintaku untuk mengecek pesannya, lalu mematikan telepon. Dahiku mengerut, tetapi tetap kulaksanakan. Tatkala kubuka aplikasi berlogo hijau itu, aku terkejut karena banyak pesan masuk.
"Kok, nggak ada notifnya?" gumamku.
Tak lama, aku tertawa karena teringat telah mematikan notifikasi beberapa aplikasi, termasuk aplikasi ini. Tepatnya, menertawakan diri sendiri yang bisa-bisanya lupa dengan hal sesepele ini.Layar itu bergerak. Kontak Aya naik ke yang paling atas. Sehingga, kubuka pesan dari teman semejaku itu.
Aya
[Lun.]
[Luna naik apa besok?]
[Luna, Luna, Luna.]
[Yuk, online, yuk!]
[Aya telepon, deh, ya.]
[Akhirnya online ^-^.]Luna
[Biasa naik ojol. Maaf baru bales, aku lupa kalau notifnya mati :( ]
Aya
[Tolong pesenin ojol buat Aya, boleh?]
[Soalnya, besok nggak ada yang bisa antar Aya.]
[Iya, nggak apa, kok.]Luna
[Bisa, dong! Kamu tinggal kirim alamatmu, ya.]Aku beralih ke layar utama aplikasi tersebut, sembari menyenderkan punggung ke kursi. Terlihat pesan dari ... Kavi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Perzona
Teen Fiction"Kenapa buang-buang waktu, sih?" Luna Thalassa, seorang gadis yang sering tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Penyesalan-penyesalan yang datang seolah membawa pola yang sama, yaitu memiliki batas tipis dengan kesempatan yang dimilikinya. Pikiran...