Akrasia

8 1 0
                                    

            "Kak, mesin kereta saya rusak lagi kayaknya. Kakak mending naik yang lain aja, ya. Nggak usah bayar nggak apa-apa." Perkataan itu berasal dari pengemudi ojek online yang jasanya kupesan untuk mengantarkan diri ini ke sekolah.

            Sorot matanya tampak kelelahan, kerutan-kerutan di dahi seolah melukiskan perjalanan hidupnya selama ini. Kuraih uang yang memang sudah kusisihkan untuk membayar ongkos. Walaupun belum sampai tujuan, ya sudahlah. Mungkin ini cara Tuhan untuk membuatku bersedekah di pagi ini.

            Seperti yang telah kuduga, penolakan keluar dari bibir yang mulai menghitam miliki lelaki tua tersebut. Kubujuk dengan sedikit paksaan, bahwa itu adalah rezekinya dan rezeki tidak boleh ditolak. Penolakan berganti dengan ungkapan syukur dan terima kasih yang bertubi-tubi.

            Langkah ini bergerak menjauhi motor milik lelaki tua tersebut, bermaksud melanjutkan perjalanan ke sekolah dengan memesan ojol lain. Kuulur-ulurkan tangan kanan yang menggenggam gawai ini.

Jaringannya buruk sekali!

Diri ini memutuskan untuk menaiki angkutan kota. Dahi ini berkerut, turut serta menemani kepala yang sedang berpikir keras untuk mengingat nomor angkot. Sayangnya, walaupun sudah teringat nomor angkutan kota yang mengarah ke sekolah, dari tadi tidak ada yang lewat.

Pagi ini ada apa, sih?!

Embusan napas keluar cukup keras lewat mulut ini. Kedua tangan menarik jaket ke belakang, bermaksud melepaskannya. Kuputuskan untuk berjalan sampai sekolah. Langkah ini berhenti sejenak memikirkan berapa jauh jarak yang harus kutempuh agar sampai ke sekolah.

Tatapanku melayang ke toko yang menjual ayunan anak-anak di seberang sana. Senyum ini mengembang begitu saja, begitu melihat gang di sebelah toko itu. Seingatku, itu adalah gang menuju rumah Zenia. Biasanya, temanku itu membawa motor ke sekolah.

Jemariku bergerak cepat mencari kontaknya dan menelpon menggunakan pulsa. Jantungku bergegup beriringan dengan dering telepon. Kaki kiri sudah maju, tidak sabar ingin menyeberang menuju rumah Zenia. Sayangnya, malah terdengar informasi bahwa pulsaku habis.

Sontak istigfar keluar dari bibir ini, sembari menahan diri mengeluarkan air mata.

"Lun?" Suara itu terasa familiar di telingaku.

Ternyata benar. Suara itu berasal dari Kavi, seseorang yang sebenarnya ingin kuhindari untuk sementara waktu. Namun, mengapa dia bisa muncul tiba-tiba di sini?

"Kamu dari mana? Nggak ke sekolah?"

Aku benar-benar malas untuk bicara. Ingin rasanya mengabaikan pertanyaan pemuda di hadapanku ini, tetapi aku tidak tega. Jadi, kutampilkan senyum yang kuharap tampak seperti biasanya.

"Ke sekolah, kok. Tapi, tadi mesin kereta bapak itu rusak lagi katanya." Setelah mengatakan hal tersebut, terbesit pikiran untuk menghubungi Zenia lewat gawainya.

"Kav, boleh pinjem HP? Aku mau nebeng Zenia, kalau dia belum berangkat."

"Bareng aku aja. Zenia udah berangkat kayaknya," ujarnya yang makin membuatku bingung. "Tapi, aku nganter pesenan temenku dulu, ya. Itu rumahnya." Kavi menunjuk sebuah rumah yang berada di belakangku.

Di tengah kebingungan yang melanda, aku mengangguk dan menjawab seadanya. Tenagaku seolah benar-benar habis pagi ini. Padahal, ada banyak hal yang harus kulakukan hari ini.

Tidak menunggu lama, Kavi kembali dengan motor berwarna hitam yang biasa dikaitkan dengan remaja badboy yang sering kudengar dari Aya. Namun, penampilan rapi Kavi malah terlihat sangat cocok dengan motor dan helm khas 'badboy' itu. Aku menggeleng berusaha mengusir pikiran dan degupan jantung yang semakin cepat ini.

PerzonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang