Langsung saja diri ini memeluk perempuan cantik berkacamata dan memiliki tiga warna pada rambutnya itu. Pelukan bersambut, punggung ini terasa ditepuk-tepuk. Kutanyakan kabarnya, pula menanyakan alasan Kai baru menghubungiku sekarang.
Terdengar deheman seseorang. Ketika aku berbalik, terpampang senyum yang terlihat manis dari pemuda berkulit tan itu. Aku sepmat melupakan keberadaannya, karena begitu senang melihat kehadiran Kaira.
“Ini temen yang kamu maksud, Lun? Kalau gitu, aku pamit dulu, ya.” Pemuda itu berkata demikian, sembari mengangkat bungkusan makanan yang baru dibeli.
“Iya, Kav. Hati-hati di jalan, ya,”
Pemuda itu mengangguk dan melempar senyuman, juga kepada Kaira yang dibalas dengan anggukan singkat. Setelah kepergian Kavi, kembali pertanyaan-pertanyaanku menyerang Kaira.
Tangan kanan kanannya menggaruk kepala sambil menaikkan tangan kiri yang memegang kunci motor.
“Stop. Kita ke berangkat dulu.”
Ah. Sepertinya aku yang terlalu berisik sekarang.
***
Kaki ini kembali memijak lantai, begitu kami sampai di halaman depan sebuah bangunan yang berbentuk petak dan berwarna warna abu-abu. Mata ini langsung tertarik melihat kata yang terpampang di atas pintu masuk, mengabaikan bunga-bunga yang tersusun rapi. Kata Kai dengan warna putih bercampur hitam, menampilkan corak yang begitu memanjakan mata ini.
Kutebak, toko bunga ini memakai konsep minimalis.
Udara dingin menyapa tubuh yang terkejut, begitu melihat satu dinding yang seolah memisahkan diri dari tema monokrom bangunan ini. Hingga mencapai tempat duduk pun mata ini seolah telah terpaku pada dinding yang menampung banyak warna tersebut. Ada banyak lukisan yang tertempel pada dinding itu. Kebanyakan adalah lukisan abstrak.
“Mau ngelukis atau lukisannya? Kan, kamu biasanya suka yang kayak gitu.”
Perkataan itu mengalihkan fokus ini ke melihat sesosok perempuan yang meletakkan jaketnya di atas meja, menyisakan baju lengan pendek berwarna hitam. Menghilang sebentar untuk mengambil minuman dan menuangkan untuk diri ini. Lidah ini agaknya terlalu kelu untuk menjawab pertanyaannya.
“Aku nggak suka lagi,” ujarku sembari meraih gelas dan meneguk cairan tanpa warna itu.
Aku sudah mempersiapkan diri jika Kaira menganggapku aneh, atau bertanya macam-macam. Namun, dugaanku salah. Setelah meletakkan kaca matanya, dia mengangguk-angguk dan mengalihkan pembicaraan.
“O, ya. Jawaban untuk pertanyaanmu tadi. Kayak yang dilihat, aku masih hidup. Lalu, di sana lagi sibuk kuliah sama ambil kerja juga. Jadi, kadang udah kelewat capek buat ngechat orang lain.”
“Kalau kamu di sana, toko bunga ini dibuka apa tutup terus? Waktu itu, aku mau ke sini. Eh, tutup,” tanyaku.
“Buka,” Kaira mengambil kertas HVS dan pensil dari laci, lalu kembali bicara, "Kan, ada ibuku dan rumahku di belakang toko ini kalau lupa."
Tidak lagi kuperdulikan penjelasannya, goresan-goresan yang dihasilkan dari pensil itu seolah menggoyahkanku. Warna putih yang ternodai oleh warna kelabu pekat, agaknya menarik perhatian diri. Kualihkan ke sebuah lukisan yang terletak di tengah.
Tidak semeriah lukisan sekitar yang memperindah diri menggunakan warna-warni. Pekat dan tipis menggantikan warna-warni untuk memperjelas bentuk yang ingin ditonjolkan. Pula, satu-satunya lukisan yang menggunakan kertas HVS di antara para kanvas yang mendominasi.
Dua bentuk hati, dengan ukuran yang sama. Satu terlapisi oleh suatu yang kuanggap perban. Hati lainnya terlilit oleh suatu hal yang kutangkap sebagai kawat berduri. Suasana sesak diperkuat dengan penebalan arsir di bagian-bagian yang terlilit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perzona
Teen Fiction"Kenapa buang-buang waktu, sih?" Luna Thalassa, seorang gadis yang sering tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Penyesalan-penyesalan yang datang seolah membawa pola yang sama, yaitu memiliki batas tipis dengan kesempatan yang dimilikinya. Pikiran...