Mengapa aku gagal lagi?
Pertanyaanku terus berputar di kepala. Aku telah mempersiapkan sesuai poin-poin yang tertulis. Itu kudapatkan dengan mencari banyak info beberapa waktu sebelumnya. Sebenarnya, apa yang salah?
Embusan angin sore menyapa wajah dengan perlahan. Di momen yang sama, terlihat dedaunan menari, seolah ingin lepas dari ranting yang menahan tubuhnya. Layaknya memenuhi tantangan, angin berembus lebih kencang. Kedua sudut bibir ini tertarik ke bawah, merasa kasihan dengan beberapa daun yang terlepas. Namun, juga merasa iri akan kebebasan yang diperoleh daun itu.
Daun yang jatuh itu berhasil kuantarkan lewat tatapan mata hingga menyentuh rumput. Mendarat dengan damai. Aku berkedip sekali, menatap rumput dari balkon lantai dua ini.
Jika aku mengikuti jejak daun, apakah bisa mendarat dengan damai pula?
Keluar tawa dari bibir ini. Perlahan, lalu semakin terasa geli hingga aku terduduk di lantai. Hati ini terasa lebih ringan. Hanya sebentar, hati kembali berat bersamaan dengan tawa yang mereda.
Jaraknya terlalu pendek.
Aku mendengkus dan menyenderkan kepala ke pembatas balkon. Melepas jarum pentul yang mengaitkan hijab putih khas anak sekolah. Tetap saja, sesak yang kurasakan tidak berkurang. Kupeluk kedua lutut sambil menelungkupkan kepala.
Menangis! Ayo menangis!
Berulang kali diri ini kuperintahkan mengeluarkan gerimisnya, tetapi tak kunjung keluar barang setetes. Ketika menggeser tangan kanan, tak sengaja tangan kiri ini tergores jarum pentul.
Kedua kaki perlahan mulai lurus. Fokusku beralih ke warna putih di punggung tangan kiri yang muncul karena ujung jarum pentul tadi. Tangan ini berbalik, menampilkan benang biru kehijauan yang dibalut kulit. Tatapanku beralih ke jarum pentul di tangan kanan.
Jarum sekecil ini ... terlalu lama.
Apa cara terbaik untuk mati?
Pikiran ini melayang pada pengetahuan mengenai cara yang biasa dilakukan manusia untuk mati. Menggunakan tali, menggunakan benda tajam, atau dari gedung tinggi. Aku tersenyum pahit membayangkan darah menggenang dan sakit yang berasal dari cara-cara itu. Di sisi lain, terpikirkan akibat dari bunuh diri yang sering disampaikan orang-orang.
Aku terdiam sejenak, mengumpulkan sisa-sisa kewarasan yang kian menipis. Pikiran kembali sibuk mempertanyakan hal yang telah terjadi selama ini. Mata bergerak tak tentu arah dan keringat dingin mulai terasa melewati pelipis.
Bayangan tubuh yang semakin memanjang menyadarkanku bahwa hari sudah menuju malam. Aku berdiri dan melihat keindahan langit sore ini. Keindahan yang selalu kusukai.
"Luna, kamu di mana?" panggil seseorang dari ruangan di balik pintu balkon.
"Luna di balkon, Bun," jawabku sembari merapikan pakaian seadanya.
Tidak lama, pintu penghubung balkon terbuka, menampakkan sosok perempuan cantik yang tingginya terlihat sejajar denganku. Hijab cokelat muda yang menutupi rambutnya masih serapi yang kulihat pagi tadi. Kemeja putih dan celana berwarna senada dengan hijabnya tampak pas di tubuh perempuan itu.
"Bunda udah pulang?" tanyaku.
Raut wajah Bunda terlihat berubah. Senyum yang tadi menghiasi wajahnya pudar. Kegelisahan mulai meliputi diri ini. Tangan beliau mengarah kepadaku. Kudapati jemarinya menggeser rambut-rambut kecil yang keluar dari hijab.
"Nah. Udah lebih rapi," gumam Bunda yang masih terdengar olehku.
Pertanyaanku terabaikan. Oke. Lagi pula pertanyaan itu hanya basa-basi untuk meminimalisir degup jantung ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perzona
Teen Fiction"Kenapa buang-buang waktu, sih?" Luna Thalassa, seorang gadis yang sering tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Penyesalan-penyesalan yang datang seolah membawa pola yang sama, yaitu memiliki batas tipis dengan kesempatan yang dimilikinya. Pikiran...