Hai, apa kabarnya? Semoga sehat selalu ya. Aamiin.
Semoga suka part kali ini. Happy reading.
"Terkadang orang terdekat, orang yang kita sayang, dan orang yang kita percaya, adalah sumber dari rasa sakit itu sendiri."
-Hero Lingga Ejendra-
Letta merubah posisinya menjadi duduk di ranjang, ia mencari sepatunya untuk di kenakan, dengan gerak cepat Hero yang posisinya berada di sebelah perempuan itu memakaikan sepatu ke kaki Letta dan juga tidak lupa mengikat talinya terlebih dahulu, sontak Letta terkejut akan hal itu.
Letta merasakan perhatian kecil yang Hero berikan, tanpa sepengetahuan lelaki itu, sedikit senyuman tercetak dari bibir Letta. Nyatanya, Hero memiliki sisi baiknya juga. Lelaki itu terlihat normal, tidak menyebalkan seperti biasanya.
Setelah selesai memakaikan sepatu, Hero mendongak dan berdiri membuat Letta membuang pandangan ke arah Lain. "Mampus ketahuan gak ya kalo gua senyum, tadi?"
Nadine yang melihat Hero bersikap manis seperti itu, dengan sengaja menyenggol lengan Ojan yang berdiri di sebelahnya. "Romantis banget, ya?
Ojan menoleh ke samping dan tersenyum tipis. "Biasa aja. Kita juga sering kayak gitu."
"Iya juga, sih."
"Kita balik, yuk? Aku laper nih mau cari makan."
Nadine mengangguk, lalu mengusap bahu Letta. "Gua pamit duluan, ya? lo baik-baik sama Hero jangan bertengkar di jalan, oke?"
"Oke."
Nadine menatap ke arah Hero yang tidak bosan memperhatikan Letta sedari tadi, hal itu membuat Nadine menatapnya penuh arti. "Gua titip Letta, ya?"
Hero menganguk tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Letta. Setelah itu Nadine dan Ojan melenggang pergi dari ruangan uks, hanya menyisakan Hero, Letta, Julian dan Wiliam.
Letta bangkit dengan perlahan, kepalanya masih terasa pusing, perempuan itu berpegangan dengan ujung ranjang uks. Dengan sigap Hero mengulurkan tangannya untuk membantu Letta.
Hero tersenyum manis, mata teduhnya tidak berpaling menatap kedua bola mata Letta. "Mau gua bantu jalan?" tanya lelaki itu, mampu membuat Letta menjadi salah tingkah atas perlakuan Hero yang jauh berbeda dari sebelumnya, perempuan itu tersenyum kikuk. Merasa canggung.
Letta menggeleng pelan, lalu tersenyum tipis. "Gak usah gua bisa sendiri, Thanks atas tawarannya," tolak Letta dengan lembut. Lalu turun dari ranjang dengan tangan yang berpegang pada nakas.
Letta berjalan dengan pelan, wajahnya masih terlihat pucat, sesekali ia menyentuh kepalanya yang masih terasa nyeri akibat benturan tadi. Hero berjalan tepat dibelakangnya, jarak mereka bisa dibilang dekat. Lelaki itu mencoba menstabilkan jantungnya yang berdegup kencang. Menahan tangannya yang seolah ingin menggandeng tangan Letta yang berjalan di depannya. Aneh, rasa apa ini?
Sementara Julian dan Wiliam menatap satu sama lain seraya tersenyum senang melihat tingkah laku kedua manusia itu. "Ada perkembangan."
Mereka berjalan melewati beberapa ruangan untuk menuju parkiran sekolah, terlihat keadaan tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa murid yang berlalu lalang dengan mengenakan almamater OSIS.
Tiba-tiba langkah Hero terhenti, ia teringat akan tas mereka yang masih tertinggal di kelas.
Hero menepuk pundak Letta pelan. "Letta." Perempuan itu menoleh ke belakang dengan alis yang terangkat satu.
"Kenapa?"
"Tas kita tertinggal di kelas, gua ambil dulu ke atas. Lo tunggu dulu sebentar, gapapa, ya?"
Letta hanya mengangguk, dan Hero celingak-celinguk mencari tempat yang sekiranya tepat untuk Letta menunggu. "Lo duduk di kursi itu, ya? Biar gak kepanasan," tunjuk Hero mengarah ke kursi yang berada di bawah pohon rindang yang sepertinya sejuk dan menghalangi sinar matahari untuk menerpa kulit perempuan itu nantinya.
Letta melihat arah tunjuk Hero, ia tersenyum canggung. Mengapa saat ini ia merasa darahnya mendesir dan debaran jantungnya berdetak dengan cepat. Apalagi netra Hero yang terus menatapnya, seolah memberi rasa nyaman akan tatapan itu. Terasa aneh berdekatan dengan Hero dengan jarak yang sedekat ini, seperti baru pertama kali bertemu. Padahal mereka seringkali bertengkar. Aneh, hanya itu yang Letta rasakan. "Makasih ... Maaf kalo gua jadi ngerepotin."
"Ada yang bilang kalo lo ngerepotin gua emang?" Letta menggelengkan kepala dengan polosnya.
"Sama sekali gak repot kok, Ta. Malah gua senang," pungkas Hero membuat Letta mengernyitkan dahinya bingung.
"Senang kenapa?" cicitnya dengan suara yang pelan, tapi bisa di dengar oleh Hero.
"Karena gua bisa dekat sama lo." Setelah mengatakan itu Hero langsung berjalan pergi menuju lantai 2 dimana letak kelasnya berada.
Perkataan Hero berhasil membuat Letta mematung ditempatnya, tanpa disadari ia tersenyum sambil memandang bahu Hero yang sudah jauh dari pandangannya.
"Lah sih, Hero, kemana tuh, Ta?" tanya Julian yang baru saja datang mampu membuat Letta terkejut. Perempuan itu menoleh ke belakang.
"Mau ngambil tas," jawabnya dan langsung berjalan ke arah kursi yang Hero tunjuk tadi.
Julian dan Wiliam hanya mengangguk dan lanjut memainkan ponselnya itu.
Setelah Hero mendapatkan tasnya, ia menutup kembali pintu kelas. Dan, berniat untuk langsung pergi dari kelasnya itu, namun suara seseorang yang tidak asing baginya terdengar jelas di telinganya. Seperti suara perempuan yang sedang asik menerima adegan romantis dari lawan jenisnya.
Hero tidak mempedulikan hal itu, ia lanjut memakai tas ransel di pundaknya, namun suara itu terdengar makin jelas. Awalnya lelaki itu tidak memperdulikan, namun sekarang ia malah penasaran. Dari celah jendela yang sedikit terbuka, kedua mata Hero mengintip.
Hero membelalakkan matanya kaget seraya mengepalkan tangannya kuat saat melihat pertunjukan kedua insan yang tengah bercumbu dengan mesranya. Mata Hero memerah menahan sesak didalam dada, terlihat rahangnya mengeras.
"Brengsek!"
Revisi: 22 Oktober 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
LettaHero ( Revisi )
Teen Fiction"Jangan berjanji jika tidak bisa menepati. Jangan pernah berdusta untuk menutupi kesalahan, demi menjaga hati yang sudah lama tersakiti, dan jangan sekalipun mengkhianati seseorang yang mencintai mu dengan ketulusan, hanya karena ingin mengulang kis...