Bab 4. Fourth Trip

33 4 8
                                    

"Jadi yang mana Sophia?" Wanita itu berkacak pinggang sambil menatap tajam Ze. Raut wajahnya makin tegas. Kacamatanya merosot dan bertengger di pangkal hidung.

Ze bingung, kalimat seperti apa yang harus diucapkan untuk menenangkan ibunya itu. Pasalnya Ze tahu, jika ia menjawab, ibunya akan bertambah marah dan kalaupun dia diam, ibunya juga akan marah. Membela diri atau tidak, hasilnya akan tetap sama, Shea akan terus marah.

"Shea, ada apa?"

Saat suara itu terdengar di gendang telinganya, tubuh Ze langsung lega. Kebingungan akan kalimat seperti apa yang harus disusun seketika menguap. Obat dari amarah ibunya hanyalah sang ayah. Hanya itu penangkal paling ampuh.

Ze menoleh ke belakang. Di sana ada sosok pria berukuran sama dengannya. Mulutnya sedikit terbuka dan mata yang membola. Sedetik kemudian, pria berambut biru itu tersenyum. Dia makin mempercepat langkahnya untuk menghampiri mereka.

"Kenapa tidak kabari kami dulu, Ze?"

Ze membalas senyuman ayahnya. Rasa canggungnya jadi sedikit menguap. "Maaf, aku tidak sempat-"

"Tidak sempat? Apanya yang tidak sempat!" Shea kembali mengomel, hal itu membuat Ze langsung berusaha menjauh dari ibunya untuk menjaga diri dari jeweran maut sang ibu.

Mulut Baskara sedikit terbuka. Matanya menatap tidak percaya drama yang tercipta. Tidak jauh berbeda dengan Vina, hanya saja gadis itu tetap mempertahankan garis lengkung kebanggaannya. Mata Vina sedari tadi belum bisa berpaling dari ayahnya Ze. Jujur saja, dia sedikit kagum.

"Ingat Vina, dia suami orang." Ucapan Baskara itu berhasil membuat Vina memalingkan pandangan.

"Aku tahu batasan."

"Baguslah. Lihat ibu Ze, bukan orang yang segan-segan membunuh orang lain." Baskara langsung tertawa pelan, walaupun drama ini sedikit membingungkan, tetapi Baskara jadi sedikit terhibur.

"Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa Helena dikira Sophia? Padahal mereka tidak ada mirip-miripnya." Baskara beralih menatap Helena. Gadis itu sepertinya sangat puas menonton drama keluarga Pahlevi itu.

"Kau tidak tahu apa? Seberapa rindunya Ibu-"

"Shea, berikan waktu untuk putramu menjelaskan."

"Kau terlalu memanjakannya, Fagan! Lihatlah sekarang, aku ibunya saja sudah tidak dianggap!" Objek omel Shea berpindah pada Fagan, ayah Ze, sedangkan Ze sendiri mendelik kesal mendengar ucapan sang ibu.

"Kenapa kau menganggap seperti itu? Apa kau sudah memberikan waktu pada Ze untuk menjelaskan?"

Shea terdiam, benar juga kata Fagan. Sedari tadi hanya ia yang terus mengomel tanpa memberikan Ze kesempatan untuk menjelaskan.

"Tidak, kan? Berikan waktu untuk putramu menjelaskan terlebih dahulu." Bibir Fagan melengkung, tangannya ia letakkan di atas pucuk kepala Shea, lalu dielus pelan. Hal itu membuat pipi Shea memerah.

Ze berdeham. "Di sini masih ada aku," godanya, membuat pipi Shea bertambah merah. Tangannya langsung refleks menepis tangan Fagan yang asyik mengelus rambutnya.

"Jadi dalam rangka apa kau pulang, sampai lupa mengabari Ibu?" Tanya Shea yang mengundang gelak tawa Fagan.

"Bukan lupa, Bu. Tapi tidak sempat. Aku dan temanku sedang sedang menjalankan misi," jelas Ze membenarkan.

"Misi apa? Kakakmu saja masih sempat mengabari Ibu," sangkal Shea lagi.

"Berbeda, Bu. Misi kami terbatas waktu." Lagi-lagi Ze mencoba memberi pengertian. Menjelaskan kepada Shea tidaklah mudah.

22 Seconds Time ChallengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang