Lab Love 3

67 10 2
                                    


"YOU DO REALIZE, you're not 6 years old anymore, don't you?"

Ash nyengir lebar mendengar pertanyaan Uncle Ben. Gadis itu meletakkan 1 pint Coffee Cashews ke hadapan Uncle Ben, dan 1 Chocolate Chewy untuk dirinya sendiri. Ia punya misi besar, hence the pints. Masa kanak-kanak Ash dihabiskan dengan menggunakan es krim sebagai suap. Entah itu saat dia berulah, atau diminta melakukan sesuatu yang tidak ia suka.

"There's nothing ice cream can't fix," Ash mengedip-ngedipkan bulu mata.

"Kau berulah?" tanya Uncle Ben.

Meski awalnya protes, Uncle Ben membuka pint es krim miliknya sementara Ash pergi ke dapur untuk mengambil sendok.

"Not really," Ash menjawab dari balik bahunya.

Uncle Ben mencolek es krim dengan jari telunjuk—

"Ew! Kan masih kuambilkan sendok, nggak sabaran amat, sih!" Ash melotot kesal dengan kejorokan Uncle Ben.

"Tanganku bersih," Uncle Ben membela diri.

"Still." Ash masih bergidik ketika menyerahkan sendok.

"So, ada masalah apa?" Uncle Ben mengusap jarinya dengan tisu, lalu menyendok es krim satu sendok penuh.

Ash menarik kursi bar di samping Uncle Ben, membuka pint, menghirup aroma coklat dan karamel. Meski sudah hapal aroma es krimnya, tapi Ash tidak pernah bosan, bahkan nyaris menjadi kebiasaan sebelum makan. Es krim buatan Ellia memang tidak tergantikan. Sebenarnya nama pemilik toko es krim itu entah Eiya, atau Elia, dirinya tidak pernah bisa menyebut namanya dengan benar, beliaunya juga tidak pernah mau repot membenarkan. Mungkin karena itu pula toko es krim tersebut bisa bertahan bergenerasi-generasi. Ellia adalah generasi ke-4 yang mengelola toko es krim.

"Well?" tanya Uncle Ben ketika Ash masih sibuk menghirup aroma es.

"Bukan masalah, per se," Ash mendongak, lalu mulai menyendok es krim. "Lebih ke request."

"Request?" ulang Uncle Ben.

Ash mengangguk. Meninggalkan sendoknya sejenak, lalu duduk tegak, pose pembicaraan serius.

"Should I be worried?" tanya Uncle Ben.

"Aku ingin menjadi resepsionis di lab anatomi."

Hening.

Uncle Ben menatap Ash tidak berkedip, mulutnya berhenti mengunyah es krim—meskipun es krim tidak perlu dikunyah, tentu saja—tangannya berhenti menyendok.

"Resepsionis?" Uncle Ben membeo.

Ash mengangguk mantap. "You see, akan lebih baik kalau ada orang yang berjaga di depan setiap waktu. Lagipula, dengan begini meja resepsionis akan berfungsi sebagaimana mestinya."

Kali ini Uncle Ben menatap Ash bingung. "Sekarang pun meja resepsionis tetap berfungsi sebagaimana mestinya, itu mejanya Charles."

"Exactly!" Ash menjentikkan jari. "Saat ini Charles yang merangkap sebagai instruktur dan resepsionis. Kalau dia pergi, mejanya kosong."

"Tapi masih ada aku," kata Uncle Ben.

"Kalau kau pergi juga? Seperti hari ini?" kejar Ash.

"Ada Luke."

"Yeah, Luke," Ash mendengus. Gadis itu kembali menyendok es krim satu sendok penuh, dan melahapnya.

"Ada masalah?" tanya Uncle Ben.

"Lab nggak ada resepsionisnya! Kalian bertiga sama-sama orang akademis," Ash ngotot.

"Come on, Ash, it's not like people show up unannounced. Kalau membutuhkan kami atau lab, mereka bisa membuat janji bertemu," kata Uncle Ben.

Lab Love [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang