DUA HARI, 15 jam, 34 menit, 20 detik sejak Luke dan Ash beradu argumen di lab anatomi —not that she was counting... it just... that.
Ash menghela napas panjang. Dua hari pula otak Ash rasanya kosong, sama sekali tidak bisa berpikir apa-apa. Berkebalikan dengan Luke, kemarin cowok itu tetap datang untuk sesi belajar A&P. Semua ingin tahu apa yang terjadi—lebih tepatnya bergosip—terutama ketika Luke mendapat detensi bersama wali kelas, dan Uncle Ben. Meskipun detensi di lab anatomi lebih seperti hadiah daripada hukuman. Setidaknya dari sudut pandang Ash, selain muka babak belur, Luke baik-baik saja. Hal lain yang membuat Ash semakin kesal dengan dirinya sendiri adalah fakta bahwa terlihat jelas bahwa dirinya tidak memberikan efek apapun untuk Luke. Cowok itu masih bisa mengajar grup dengan santai, masih bisa menjawab pertanyaan, dan menjelaskan jawabannya dengan baik. Mungkin hanya Ash satu-satunya anggota grup belajar A&P yang kehilangan jiwanya.
Gadis itu mengusap wajah dengan kedua tangan. Lelah. Sejak kemarin, kegiatan favoritnya adalah berdiam diri di tangga teras rumah Uncle Ben. Favorit karena bisa melihat kolam koi, menikmati pemandangan halaman belakang, termasuk perbukitan nun jauh di sana. Salah satu daya tarik tinggal di West Town adalah pemandangan halaman belakang—bagian barat jalan—perbukitan, dan depan—bagian timur jalan—bukit curam yang berbatasan langsung dengan Eastern Coast. Kalau ingin turun ke pantai, warga harus rela menuruni tebing batu, sangat cocok untuk mereka-mereka yang suka kegiatan atau tantangan di luar rumah.
Biasanya Ash juga keberatan bertualang, tapi patah hati membuatnya malas melakukan apapun. Karena itulah berdiam diri di teras rumah Uncle Ben merupakan pilihan terbijak. Tidak perlu repot menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya, dan yang paling penting, menghindari interogasi yang sangat berpotensi melibatkan keluarganya.
Mom dan Dad bisa dipastikan, akan seperti orang tua pada umumnya, memberi banyak nasehat atau penyemangat. Sedangkan Asher... bisa jadi dia akan mencari untuk menonjok Luke.
None of them had good potential.
Rasanya sudah seumur hidup Ash menunggu si empunya rumah datang, akhirnya mobil Uncle Ben parkir juga di driveway. Hanya dari tatapan mata, Ash tahu jika Uncle Ben mengasihaninya. Tidak masalah, ia juga tengah mengasihani dirinya sendiri. Kalau tidak, untuk apa Ash menyendiri?
"Kenapa nggak masuk?" tanya Uncle Ben.
Ash tidak menjawab, hanya mengangkat bahu. Ia juga tidak mengekor Uncle Ben masuk rumah. Beberapa saat kemudian, beliau kembali ke teras, menepuk pundak Ash, dan mengisyaratkan gadis itu untuk masuk rumah.
"Ayolah, temani aku makan," pinta Uncle Ben. "I don't take a no."
Mengerucutkan bibir, mau tidak mau Ash bangkit dan mengikuti Uncle Ben. Untuk pertama kali dalam hidupnya, melihat pint Chocolate Chewy favoritnya tidak bisa mengembalikan moodnya yang hancur.
Luke-effect memang ekstrem.
"There's nothing ice cream can't fix," Uncle Ben membuyarkan lamunan Ash tentang Luke dengan kutipan kata-kata Ash. Beliau bahkan tidak menunggu Ash untuk melahap Coffee Cashews-nya.
Sepertinya Uncle Ben memahami tendensi Ash untuk diam, karena beliau hanya menikmati pint-nya sendiri, tidak juga menyilakan Ash. Beliau tidak mengatakan sepatah kata pun, hanya menyendok es krim, dan lagi, dan lagi. Menyerah dengan nasibnya, Ash pun mengikuti jejak Uncle Ben dan Coffee Cashews. Untuk beberapa saat Uncle Ben dan Ash hanya menikmati es krim, tanpa suara. Sesekali Ash mengusap air mata yang tidak disadari ikut pesta mengasihani diri sendiri. Uncle Ben pun menyorongkan kotak tissue tanpa komentar.
"So, what's you gonna do after this?" Uncle Ben memecah keheningan diantara mereka. Beliau menyorongkan pint es krim ke samping, rupanya Coffee Cashews beliau tandas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lab Love [selesai]
Ficção AdolescenteAsh, Ashley Christine Hughes siswi tahun pertama di West Hills High School. Salah satu siswi populer, dan dikenal sebagai penari balet nomor satu di West Town. Bahkan sejak SD sudah digadang-gadang mendapatkan beasiswa The Julliard School. Sebagai s...