Lab Love 8

39 6 2
                                    


"BYE UNCLE BEN!" teriak Ash sambil menghambur keluar lab, samar-samar ia mendengar Uncle Ben bertanya pada Charles;

"Kenapa dia?" tanya Uncle Ben.

"Kurasa aku salah bicara," jawab Charles.

Ash tidak ingin tahu apa yang mereka berdua bicarakan karena, satu, dirinya perlu persiapan untuk bicara dengan Uncle Ben. Meskipun selalu mendukung apapun yang ia lakukan, tapi kalau sampai tahu dirinya memperlakukan anatomi sebagai alat untuk mendekati Luke, Ash tidak yakin kalau Uncle Ben masih tetap mendukungnya.

Kedua, jam latihan akan segera dimulai, dan Miss. Suzanne bukan tipe pelatih yang menyenangkan jika ada muridnya yang terlambat. Jadi, buat apa cari masalah?

Keesokan sore, Ash menatap buket di konter resepsionis—yup, konter dan mejanya Charles sudah resmi menjadi konter resepsionis—tidak berkedip.

"Whoa!" seru Charles dari belakang Ash. Meski tidak setinggi Uncle Ben, tapi dengan tinggi 180, cukup bagi Charles untuk tahu apa yang membuat Ash mematung di depan mejanya.

Keduanya meninggalkan konter tidak lama, tapi begitu kembali, sudah ada satu buket mawar raksasa duduk manis di sana.

Ash menghela napas, lalu menurunkan buket tersebut sebelum Uncle Ben tahu. Bukan apa-apa, kalau si Uncle tahu, bisa habis dirinya digoda.

"Secret admirer?" Charles mengelilingi buket tersebut. "This one hell of a bouquet, such a show off."

"Right?" Ash mencebik. Meski dirinya belum tahu siapa yang mengirim, tapi insting mengatakan hanya ada satu orang yang mau repot-repot melakukan hal ini.

"Sepertinya kau tahu siapa si pengirim?" selidik Charles.

Ash mengangkat bahu sambil mencabut kartu yang terselip diantara tangkai bunga. "Hanya insting, tapi biasanya instingku benar."

Congratulations for the first job

"Meh." Ash mengerutkan hidung.

First job? Dia paham tidak antara pekerjaan betulan dan kerja sukarela? Bahkan meski dia tidak tahu kalau Ash kerja sukarela di lab, tapi yang jelas bukan first job, duh.

Charles terbahak ketika ikut membaca kartu tersebut. Agaknya Charles pun bisa menebak dengan benar siapa si pengirim buket tersebut. "Poor clueless boy."

"And he's so full of himself," Ash kembali mencebik.

Satu alis Charles terangkat.

Ash menceritakan drama double date dengan Paige dan Josh. Bagaimana Andreas berusaha terlalu keras untuk membuat dirinya terkesan.

"Oh, wow, Boathouse Grill, huh? Never knew he's one of those," komentar Charles.

"Apa dia nggak mikir kalau aku dan Paige baru latihan, dan Boathouse Grill adalah fine dining. Yang terpenting, lagi, kita ini masih SMA!"

Charles terkekeh lalu menambahkan. "Kupikir si kapten itu anaknya cukup sensible, padahal di lapangan dia cukup bagus."

"Apparently who he is on the court and real life are quite different."

"Anak seusia kalian dan dengan background serupa, biasa egonya tinggi." Charles mengangguk.

"Aku nggak begitu," sergah Ash cepat.

"Kau yakin?" Charles tersenyum menggoda.

"Seenggaknya aku masih menggunakan otakku untuk berpikir," Ash membela diri.

"Seperti ikut club belajar dan menjadi resepsionis?" kejar Charles.

"Two different cases, mister." Ash menggoyangkan jari telunjuk dan jari tengah di depan wajah Charles.

"Yeah sure, whatever."

Ash terkekeh. "Punya ide bagaimana menyimpan bunga-bunga ini? Adakah sesuatu yang bisa dijadikan vas? Besok aku akan bawa vas dari rumah."

Charles baru akan membuka mulut ketika Ash teringat sesuatu—

"Jangan membuatku menjelaskan darimana datangnya bunga-bunga ini baik pada Uncle Ben ataupun Luke, terlebih dia," imbuh Ash.

Charles mencebik. "Jadi bagaimana? Kurasa di dalam ada beberapa gelas ukur yang bisa kau pakai. Tapi tetap saja, kau harus menjelaskan ke mereka kenapa kau pakai gelas ukur untuk vas. Kenapa nggak kau bawa pulang saja, sih?"

"And having the possibility to explain myself to my parents? No thanks." Ash membuka pintu lab untuk mengambil gelas ukur yang disebutkan Charles.

"Lantas, kau pikir di sini pun kau nggak perlu menjelaskan apa-apa ke Ben?" tanya Charles begitu Ash kembali dengan beberapa gelas di pelukannya.

Ash mengerucutkan bibir, berpikir.

"Bilang saja kalau ada kurir salah kirim...." Ash meletakkan gelas-gelas ukur di meja konter.

"Girl, nobody would ever believe somebody misdelivered someone like, what, three dozens of roses?" tanya Charles seolah Ash sudah gila.

"Sounds about right, gah!" Ash mengangkat kedua tangan di atas kepala. Frustrasi. Kenapa Andreas benar-benar mengesalkan?

"Ah, young lovers," Charles mengitari konter lalu menyalakan komputer.

"Kau nggak pernah memberi bunga untuk Miss. Suzanne?" tanya Ash.

"'Course I'm. Cuma nggak segila, si kapten. Aku mengirim bunga untuk mengapresiasi, bukan untuk membuatnya lose interest in me," Charles terkekeh.

Ash mencebik.

"Si kapten tahu mengenai Luke, nggak?" tanya Charles.

"No, I don't think so, why?" Ash mengisi gelas-gelas ukur dengan air, lalu mulai menata mawar berdasarkan panjang batang demi menyeimbangkan tinggi gelas ukur.

"Seperti yang kubilang, cowok seperti Andreas egonya tinggi. Kalau dia tahu kau naksir Luke, harga diri dan egonya bisa terluka," kata Charles dengan kedua mata fokus ke layar komputer.

"Memang apa salahnya, Luke?"

Ucapan Charles menarik perhatian Ash, karena gadis itu tidak paham korelasi antara Luke dan ego Andreas yang tinggi.

Charles terkekeh. "Sekarang kau nggak mengelak kalau naksir Luke."

Ash melotot.

"Di mata kita semua, nggak ada yang salah dengan Luke, tapi aku berani taruhan, Andreas berpikir kalau you can do better than that."

"Better than what exactly? Memilih dia daripada Luke?" tanya Ash tidak percaya.

"Yes."

"Aku... nggak mengerti." Gadis itu menggelengkan kepala.

"Ini akan terdengar berlebihan tapi feeling-ku mengatakan kalau Andreas menganggap Luke berada di bawahnya," Charles membuat dua tanda kutip ketika mengucapkan bawah.

Ash menatap Charles datar, entah otaknya yang terlalu lamban diajak berpikir atau—

"Kau tahu lah dari background Luke dan Andreas seperti apa," tambah Charles.

"Maksudmu kekayaan?" cibir Ash.

"Yup, dan keluarga juga."

"I don't look down on people because their wallets are thinner than others," kata Ash.

Gadis itu kembali menata mawar di gelas ukur. Percakapan ini benar-benar absurd!

"And Ben would definitely kick your ass if you do, but you can't expect others to do the same, you know," Charles terkekeh.

"I know," Ask ikut tertawa.

"Anyway, you're too young to pin down on one target only."

"Tunggu, aku bingung. Semua omonganmu sedari tadi mengimplikasikan kalau Andreas pilihan yang buruk, dan sekarang kau mengatakan Luke pun sama?" tanya Ash.

"Two different cases here, missy," Charles mengangkat tangan kiri dan mulai menghitung dengan jari. "First, not necessarily—in fact, should not be—Andreas. Secondly, I don't say Luke is a bad bet, don't put the word in my mouth. What I'm trying to say is, a guy like Luke needs a trigger, needs something or someone to push, so he can make up his mind and act. And most importantly for you, you're too young to decide something permanent. Be more open, grab the chances, try the changes."

Lab Love [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang