Bab 2

16 2 0
                                    

Sinar orange dari langit menembus dari jendela menyinari sebuah ruangan. Awan-awan juga ikut berwarna orange. Matahari hampir meninggalkan sang siang.

Karin yang terbaring mulai membuka matanya perlahan. Tanpa amnesia tanpa drama, ia sudah tahu dimana ia berada. Oh UKS. Gadis yang kepalanya terlilit perban menengok kesana-kemari melihat keadaan. Dia melihat seorang laki-laki yang tengah duduk disebelah ranjangnya. Karin memejamkan matanya kembali.

"Woy saya tau kamu sudah bangun! Bangun lagi!!" Seru lelaki itu sambil menampol wajah Karin dengan beberapa map yang kebetulan berada di tangannya. Otomatis Karin terbangun. Tangannya memegang kepalanya yang diperban.

"Saya lagi sakit loh pak. Tega banget Pak Semi!" Rengek Karin. Pak Semi yang mendengarnya mengeluarkan wajah jijik.

"Benar-benar anak ini. Seharian tidak ada kabar, malah ada di UKS ditambah kondisimu yang memprihatinkan," Pak Semi menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir dengan kelakuan yang diperbuat anak didiknya. "Mumpung saya baik hati. Nih saya kasih lembar soal latihan. Besok harus sudah dikumpulkan." Tangannya merogoh isi map dan memberi sebelas lembar kepada Karin.

"Lah yang bener aja pak! Saya lagi kena musibah loh. Sa—" Kalimat Karin terpotong.

"Tidak ada alasan Karin. Itu pekerjaan minggu lalu yang belum kamu kerjakan. Tentu saja ditambah pekerjaan hari ini." Perkataan Pak Semi tidak terbantahkan. Karin hanya terdiam.

Pak Semi beranjak dari kursinya meninggalkan UKS beserta gadis yang terdiam itu. Karin yang tidak kuat dengan unek-unek yang dipendamnya sedari tadi ingin berteriak.

"Oh iya satu lagi." Pak Semi muncul lagi di depan pintu, membuat Karin membatalkan teriakannya.

"Hebat sekali kamu bisa lari dari Pak Tarman. Tapi ingat, kamu tidak bisa lari dari hukuman. Karena kamu telat dan seharian tidak hadir di kelas, kamu saya hukum untuk membersihkan ruang seni. Tidak ada alasan Karin. "Setelah mengatakannya, iblis itu berjalan meninggalkan Karin yang belum mengatakan apa-apa. Jangan tertipu dengan suara yang lembut dan wajah yang friendly. Hatinya sekejam iblis dan sekeras grafena. Beruntung sekali Karin mempunyai wali kelas yang jahanam seperti Pak Semi.

Sialan kau Semi. Bisa-bisanya menambah beban anak malang ini. Karin hanya bisa menghembuskan napasnya (bukan napas terakhir). Gadis itu beranjak dari ranjang UKS. Masih terdiam. Entah memikirkan apa.

BRAK!!

Lamunan Karin buyar setelah mendengar suara bantingan pintu yang cukup keras. Orang bodoh mana yang mau menambah bebannya lagi.

"Karinnn huwaaaa... Maafin gue. Sumpah tadi gue keasikan ngobrol sama Pak Tarman huaaaa hiks..." Rengek Ruri sembari memeluk Karin yang berwajah datar .

"Jujur gue kasian banget sama lu. Tapi gue masih gak ikhlas ya lu kotorin lantai yang udah susah-susah gue bersihin." Kata gadis berambut pendek yang tadi lantainya dikotori Karin. Teman-teman di kelasnya memanggilnya Elang. Karin juga tentunya.

"Enak aja, gue juga ikut bersihin tau'!! Malah gue yang paling banyak!" Disebelah Elang ada Naren. Dia sekelas dengan Karin, X IPS 1 Sedangkan Ruri dan Elang ada di X IPA 2.

"Iya-iya... Si paling banyakkk" Goda Elang kepada Naren.

"Lu ikut gue. Kita gelut di lapangan sekarang." Kata Naren dengan mata membelalak. Dia serius mengatakannya. Memang Naren agak emosian. Tapi dia paling tidak banyak bicara di sini.

"Udah ah kalian berdua! Karin lagi sakit nih! Habis ini kita ke rumah lu ya, Rin. Sekalian mau makan masakan bapak lu yang tiada duanya, ya gak gaes?" Ruri menambah masalah. Karin semakin malas menanggapi teman-temannya itu.

"Ide bagus langsung gas." Kata Naren tidak sabar karena ia belum makan dari tadi siang. Seakan semua emosinya tadi menghilang ditelan bumi.

Ketiga setan itu langsung pergi meninggalkan UKS. Ketika sadar Karin belum mengikuti mereka, mereka pun kembali lagi ke ruangan itu.

"Rin? Kenapa?" Dengan polosnya Elang bertanya.

"Ck gue disuruh bersihin ruang seni." Katanya dengan nada melas. Wajahnya pun ikut memelas.

"Oke good luck, ya!" Elang setan.

"Jaga diri baik-baik Rin." Ruri setan.

"Kira-kira makan malem nanti apa ya?" Naren setan.

Nasib Karin punya temen titisan setan. Niat mau curhat. Bego emang Karin mau-maunya curhat sama mereka.

"GUE SUMPAHIN YA! KALIAN DIJODOHIN SAMA BANCI JALANAN!!!" Teriak Karin, tapi tidak didengar oleh ketiga setan budeg itu.

Ah sudahlah. Karin sudah terbiasa dengan sikap mereka, entah teman atau bukan. Dengan lesu Karin berjalan meninggalkan ruang UKS. Tidak lupa untuk menutup pintunya kembali. Gadis itu terus berjalan. Ahhh sampai lupa. Ia harus mengabari ayahnya, jika tidak pasti ayahnya akan khawatir. Karin berhenti. Meraba tas yang ada di punggungnya dan menaruhnya di depan perutnya, membukanya dan merogoh mencari handphone untuk mengabari ayahnya bahwa anak tercintanya ini pulang terlambat. Karin segera mencari kontak ayahnya.

Tut... Tut...

"Halo Karin? Kenapa belum pulang? Ayah sudah masakin tongseng jamur dan puding." Suara yang sedikit serak. Mungkin ayahnya baru saja pulang kerja. Dia langsung memasak untuk kedua anaknya sehingga lupa minum.

"Kak Nia ada di rumah?" Tanya Karin memastikan.

"Ahh anak itu masih di sekolah. Katanya ada kelas tambahan"

"Ayah, kayaknya Karin pulang telat, soalnya masih ada kerjaan yang belum selesai." Mana bisa Karin mengatakan bahwa dia di hukum. Bisa-bisa ayahnya khawatir. Gadis itu tidak mau menambah beban sang ayah. Ayahnya sedang bekerja keras setelah cerai dari ibunya. Entah apa alasannya.

"Ahh begitu..." Gawat! Nada ayah Karin terdengar sedikit kecewa.

"Tapi tenang ayah... Temen-temen Karin akan ke sana. Jadi ayah nggak perlu menyimpan makanannya lagi."

"Haha baik.. baik.. Tapi cepat pulang. Jangan lama-lama." Suara ayahnya membuat hati Karin merasa tenang.

"Iya! Dadah ayah!"

"Iya iya"

Ayah Karin mengakhiri percakapan dengan putrinya. Walaupun agak kesal dengan kelakuan teman-temannya, Karin cukup berterimakasih untuk masalah tadi. Tapi tetap saja jika mereka mengambil jatahnya, maka tidak ada ampun untuk mereka. Sebaiknya Karin bergegas agar perutnya bisa segera merasakan masakan ayahnya yang seperti kata Ruri, tiada duanya.

Sampailah Karin di depan pintu ruang seni. Tanpa ragu ia membukanya. Karena buru-buru ia tidak sengaja membanting pintu tak bersalah itu.

BRAKK!!!

"E copot!"

Karin kaget. Bukan karena pintu yang ia banting, tapi karena suara asing yang tidak seharusnya ia dengar sekarang. Karin menoleh ke arah sumber suara. Terlihat seorang siswa yang tengah duduk sambil memegang kuas. Sedang melukis. Siswa itu menengok ke arah Karin. Entah perasaan Karin atau bukan, siswa itu terlihat memelototi gadis yang membanting pintu ini.

"ELU?!"

Karin mengeluarkan ekspresi 'hah? Emang kita pernah ketemu?? PD gile'. Terus bertanya-tanya dalam hati tanpa mau bertanya kepada siswa yang mengaku pernah bertemu dengannya.

LOLIPOPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang