Bagian 13 - Harry Edwards Tailor

196 30 3
                                    

Tak disangkal, malam itu William benar-benar gelisah.

Jika sebelumnya ia mengetahui bahwa pena itu (mungkin) sebuah petunjuk yang ditinggalkan almarhum, maka kali ini ia dikejutkan pada Sebastian Moran yang mendobrak pintunya; meminta berbicara empat mata.

"Ada seseorang yang menyerupaimu, dan dia hampir membunuh Fred!"

"Apa?!"

"Seorang pria linglung masuk ke dalam pub, berkata baru saja bertemu dengan Lord of Crime di jalanan. Reaksi orang-orang? Mereka mencemooh, mengiranya terlalu mabuk karena sangat tidak mungkin bagi Lord of Crime muncul di muka publik. Kau tahu apa yang terjadi selanjutnya? Sosok itu benar-benar menampakkan diri. Berdiri di depan jendela, mengetuk-ngetuk kaca, membuat semua orang kaget setengah mati dan pergi begitu saja. Bayangkan itu, Will! Lord of Crime gadungan berkeliaran di London! Percayakah kau?"

"Maksudmu... ia benar-benar menyerupaiku?"

"Aku bersumpah, Will. Jubah hitam, rambut pirang dan senjata yang sama... aku pergi dan membuntutinya sampai ke kompleks kosong East End. Tidak kusangka, aku melihat Fred yang sedang berlarian. Benar-benar licik. Dia menarik perhatiannya, menjebaknya dan hendak menikamnya jika saja aku tidak membawa pistol," jeda sejenak, Moran menyulut sebatang rokok dan melanjutkan, "Intinya, dia benar-benar menyerupaimu, Will. Tunggu saja. Nanti juga kau akan melihatnya."

Tak barang sedetik pun William memejamkan mata.

Perasaannya menduga, ada sesuatu yang tidak beres. Siapapun dalangnya, Lord of Crime gadungan itu tidak bergerak sendiri. William sangat yakin mereka sedang menciptakan suatu permainan baru, tidak seperti kasus Jack the Ripper lalu yang telah gagal. Ada skenario baru yang sedang diuji coba. Tidak salah lagi, ia harus mengakhirinya sebelum terlambat. Sebelum rencananya berantakan, dan sebelum ada pembunuhan lagi yang menyasar orang-orang biasa.

Sudah cukup dengan kematian Tuan Leeford sebagai 'umpan' permbuka, dan William tidak akan membiarkan siapapun mencemarkan peran Lord of Crime sesungguhnya.

***

"Selamat datang, tuan. Ada yang bisa kami bantu?"

Usai mengajar, William yang amat gelisah hari itu tidak langsung pulang ke rumah. Dikunjunginya salah satu toko di Knightsbridge Square. Mengangkat sedikit topi, ia menengadah. Cahaya keemasan dari langit sore yang cerah menyelimuti tulisan 'Harry Edwards Tailor' besar-besar di depan gedung. Begitu masuk, si pramuniaga, yang mana adalah seorang remaja laki-laki lima belas tahunan, menyambutnya ramah. Setelah mengutarakan maksud kedatangannya, remaja itu tertegun sejenak, sebelum akhirnya meminta William untuk menunggu sebentar.

Duduk di sebuah bangku panjang, William mengamati suasana sekitar. Pengunjung saat itu tidak terlalu ramai, hanya beberapa pria gemuk dan seorang anak laki-laki kecil yang sedang berbincang dengan pramuniaga lain. Toko itu sendiri memiliki desain yang amat baik, dengan langit-langit tinggi dan jendela-jendela kotak dengan kaca berwarna jingga—menciptakan efek hangat di dalam toko. Nyaman di mata, dan membuat betah secara estetik.

"Maaf membuat tuan menunggu lama," membungkukkan badan, si remaja pramuniaga kembali menemuinya. "Lewat sini, tuan. Atasan saya menunggu anda di lantai atas."

Setelah mengucapkan terima kasih, William menaiki sebuah tangga berkayu antik yang tampak diukir dan dipelitur dengan sangat baik. Setibanya di lantai atas, yang mana adalah kantor, sebuah pintu berukir burung dan ranting menyambut matanya. Ini pasti ruangannya, pikirnya sejenak, lalu mengetuk sebanyak tiga kali. Mendengar adanya suara yang mengijinkan masuk, ia membuka pintu; mendapati seorang pria dengan kacamata tebal yang sedang duduk di balik mejanya.

Tersenyum ramah, ia menyapa, "Anda pasti profesor matematika yang sering dibicarakan sahabat saya. Profesor Moriarty, benar?"

"Ya, tuan."

"Kebetulan sekali hari ini anda berkunjung kemari, karena lusa saya akan pergi ke Dublin," bangkit dari bangkunya, pria itu berbalik, membuka sebuah laci di rak belakang. Segala perabotan dan benda-benda disini, seakan-akan menegaskan bahwa sosok di depannya adalah seorang desainer ulung sekaligus penjahit yang penuh ide dan produktif. Tangan-tangan keriputnya, yang entah sudah berapa karya ia hasilkan, tampak gesit memilah-milah bagian dalam laci sebelum akhirnya mengeluarkan sebuah map cokelat, yang kemudian segera diserahkan kepadanya.

Melihat ekspresi bingung tamunya, pria itu tergelak, "Profesor, anda kemari karena guntingan label itu, kan? Apakah sebelumnya Charles tidak mengatakan apa-apa?"

"Tidak, tuan."

"Ah, si pikun itu," kembali duduk, sosok yang dikenal sebagai Harry Edwards tersebut memajukan kursinya. Ia melipat tangan. "Jadi begini, profesor. Saya tidak tahu jika saya harus mengatakan takdir atau tidak... yang pasti, Charles sudah mengetahui bahwa ia takkan lama lagi."

Deg! Seketika kedua iris William melebar.

"Pria yang malang. Setelah keluarganya tiada, ia tidak memiliki siapa-siapa lagi. Kerabat, saudara, teman... ia benar-benar sebatang kara. Meski begitu, sebagai orang yang telah mengenalnya sejak lama, aku selalu menyisihkan waktu di tengah kesibukan untuknya. Bisa dibilang, kami seperti sahabat karib."

Sebuah ketukan di pintu menginterupsi, namun Tuan Harry Edwards mempersilahkannya masuk. Rupanya, itu si pramuniaga tadi. Setelah membawakan nampan yang berisi dua cangkir teh, remaja itu mengangguk dan berlalu. Pintu kembali ditutup.

"Silahkan diminum, profesor," tawar Tuan Edwards dengan sumringah. "Oh, ya, tadi sampai mana?"

"Ehm... sahabat karib?"

"Ah, ya. Begitulah. Ia memercayaiku, dan aku memercayainya. Bahkan, semenjak mengenal Profesor Moriarty, Charles membicarakan banyak hal tentang anda. Sepertinya ia mengagumi anda, atau mungkin teringat dengan anaknya di masa lalu..."

Sementara pria itu bercerita, diam-diam William merasa teriris. Ia mungkin jarang merasakan sisi emosional dalam dirinya bergejolak. Namun, untuk saat ini, ketika mendengarnya, William merasakan matanya memburam. Ia tahu siapa itu sang almarhum, dan bagaimana beliau memperlakukan dirinya setiap waktu.

"Nah, sekitar dua minggu yang lalu, ia berkata bahwa ia bertemu dengan seorang peramal jalanan. Setelah mengetahui isi ramalannya, Charles tampak sedih. Aku berusaha menegarkannya, mengatakan bahwa itu cuma prediksi sepele. Tapi sebaliknya, ia malah menganggap itu sebagai antisipasi. Akhirnya, ia membuatkan map itu, dan mempercayakannya padaku jika terjadi sesuatu dengannya," menyesap tehnya, Tuan Edwards jeda sejenak dan melanjutkan, "Jadi, inilah waktunya, profesor. Silahkan. Anda bisa melihat isinya sekarang."

Betapa terkejutnya William ketika membuka map yang sebelumnya dilem rapat itu. Ada lima lembar cek, yang masing-masing berisi nominal sebanyak sepuluh ribu poundsterling, sebuah buku catatan tipis, beberapa foto lama tentangnya di masa lalu, dan sebuah kunci kuningan yang berhias tali berwarna merah.

William membeku di tempat.

"Ini..."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 27, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tamu Bulanan | 𝓙𝓪𝓶𝓮𝓼 𝓑𝓸𝓷𝓭𝓮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang