9 - Janji

592 159 56
                                    

Derap langkah terdengar di lorong panjang itu. Suara detak jantung yang bergemuruh terdengar jelas ditelinganya.

Kim Dokja, berlari menuju salah satu ruang dengan nomor 203. Ia membuka pintu dengan kasar, tubuhnya membeku melihat hal di depannya.


Sang gadis yang ia cintai telah menghembuskan napas terakhir, tanpa dia yang menemani didetik-detik terakhirnya.


Andai saja Dokja mengetahui hal ini lebih cepat. Pasti dirinya telah menemani sang gadis sepanjang waktu. Meninggalkan banyaknya pekerjaan yang menumpuk di meja kantornya.


Dengan perlahan, kakinya melangkah mendekat ke arah sang gadis. Ia masih belum percaya dengan apa yang dihadapkannya saat ini. Tangannya mengelus pipi pucat sang gadis, sensasi dingin dapat ia rasakan.

Dokja mulai menangis. Ia menunduk, tidak sanggup memandang wajah sang gadis. Hatinya sakit, sosok yang sangat ia cintai telah pergi dari sisinya. Untuk selamanya.


Dokja mendekap erat tubuh kecil (Name). Suara tangis mulai mengisi kamar dengan dinding putih itu.


.

.

.

Tes.. tes...


Kim Dokja membuka kedua matanya, memandang ke atas kamarnya. Air mata mengalir ke samping telinganya.

"Itu hal yang menakutkan." Gumam Dokja.


Ia baru saja mengalami mimpi buruk. Mimpi yang sangat buruk. Bahkan jantungnya kini masih bergemuruh karena hal itu.


.


"Dokja, sudah bangun?" (Name) membuka pintu kamar sang kekasih.

Dokja menolehkan kepalanya ke arah sang gadis. (Name) membeku melihat sang kekasih yang menangis. Ia segera menghampiri kekasihnya.


"Ada apa? Kenapa menangis?" (Name) panik melihat sang kekasih yang menangis. Ia segera memeluk tubuh kekasihnya yang bergetar. Berupaya untuk menenangkan.

"Tidak apa-apa. Kalau mau cerita, cerita saja." (Name) mengelus pelan punggung sang kekasih.


"Mimpi buruk, mimpi yang sangat buruk." Dokja membuka suaranya.

"Tenanglah, itu hanya mimpi buruk." (Name) menjawab dengan halus.


"Aku bermimpi, kamu akan meninggalkanku selamanya.." ucap Dokja dengan tangis yang mulai mereda.

"Kita berdua putus?" (Name) memundurkan badannya, melepas pelukannya pada sang kekasih.

"Bukan.." Dokja menjawab dengan menundukkan kepalanya.

"Yang aku mimpikan itu, kamu meninggal dunia.. hiks.." Dokja mulai menangis lagi.


"Hei, hei.. sudah menangisnya." (Name) panik dengan sang kekasih yang menangis kembali.

"Ha-habis mau gimana lagi. Aku lihat kamu meninggal di hadapanku gitu, gimana aku gak nangis coba.." Dokja berusaha agar tidak menangis.


"Dengar ya Dokja sayang, aku itu masih di sini. Nih di hadapanmu, sehat sentosa." (Name) menepuk-nepuk dadanya bangga dengan tangan kanan.


"Dan aku tidak akan meninggalkanmu. Aku berjanji.." (Name) mengatakannya dengan serius.

"Jadi sekarang senyumlah. Jangan cemberut begitu, nanti tambah jelek." (Name) memberi semangat.


"Hah? Jadi maksudmu selama ini aku jelek begitu?" Dokja salah tanggap.

"Engga sayang, bercanda doang. Jangan masukin ke hati." (Name) mengucapkannya dengan tawa ringan.


"Tapi.. Kamu tidak bercanda dengan janji bahwa tidak akan meninggalkanku kan?" tanya Dokja.

"Tidak, aku tidak bercanda dengan hal itu." jawab (Name).


"Baiklah kalau begitu, aku pegang janjimu!" Dokja menarik (Name) ke dalam pelukannya. Ia sudah tidak menangis lagi, senyuman terlihat di wajahnya.

"Jangan kencang-kencang meluknya! Gak bisa napas nih!" (Name) mengaduh.


"Maaf maaf, habisnya aku senang sekali mendengar hal itu." Dokja mengendurkan pelukannya, menjadi pelukan yang hangat.

(Name) sedikit terkejut, kemudian membalas pelukan sang kekasih. Pinggangnya Dokja itu pelukable, ya gak?


"Maka dari itu, aku juga akan berjanji aku tidak akan meninggalkanmu." Dokja mencium lama pucuk kepala (Name).


"Rambutmu harum. Aku suka wanginya.. Hehe.." Dokja mencium bolak-balik pucuk kepala (Name).

"Kalau begitu, aku akan pakai shampoo ini terus." (Name) mendekap erat tubuh sang kekasih.



Mereka berdua menghabiskan beberapa waktu dengan pelukan.

Kim Dokja x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang