"Siapa tuh?. Yang baru?."
Ya Tuhan, ini manusia satu munculnya pasti selalu bikin kaget orang lain. "Ngintip bintitan loh." Balasku pada Aris yang masih beridiri di balik gorden. Ketauan banget kan ngintipnya. "Lagi libur?."
Aris mengikuti aku duduk di sofa. "Jangan mengalihkan pembicaraan deh, itu siapa?. Yang baru?." Aris itu kalau belum dijawab pertanyaannya pasti terus-terusan nanya. "Udahan sama cowok berototnya?." Pertanyaan lanjutannya. Kepo nya emang enggak ada dua.
"Banyak amat nanyanya. Satu aja ah."
Mata Aris mendelik padaku. "Ya udah yang tadi siapa?. Yang baru?."
Aku balik menatap Aris. "Itu dua pertanyaan. Satu aja." Rasakan, aku bakal bikin dia emosinya naik ke ubun-ubun.
Sambil menghela nafas, Aris bertanya. "Yang tadi siapa?."
"Temen." Setelah menjawab itu aku pun kabur ke kamar sambil tertawa keras. Terdengar teriakan Aris, "mah tuh si eneng dianterin cowok yang baru. Ditanya malah jawab temen doang." Aku sih santai walaupun dia ngadu sama mamah, toh orang Edgarnya kemarin sudah memperkenalkan diri ke mamah waktu mau peluncuran buku baru.
Sebelum bersiap buat tidur, aku duduk di kasur sambil ngelamun. Ngebayangin apa yang tadi terjadi waktu makan malem di rumah kakaknya Edgar. Tingkah Kaila tambah ajaib kalau banyak orang, padahal di kamar waktu kita belajar bertiga sama susternya dia lebih jinak. Aku jadi berpikir lagi apa aku harus nerima tawaran buat jadi guru les Kaila atau enggak. Pilihannya kan kalau diterima aku banyak dapet duit, tapi aku bakal lebih sering sakit hati sama omongan Kaila yang bukan main tajamnya. Pilihan satunya lagi, kalau aku tolak kan sayang banget ya uang yang melayangnya.
Oke, baik bakal aku pikirkan lagi bagaimana beberapa jam tadi bersama dengan bocah cilik itu.
"Makan gak boleh pilih-pilih. Jelek." Tiba-tiba Kaila berkata seperti itu saat aku sedang menyisihkan brokoli ke samping. "Pasti pengen keliatan sok cantik ya depan papah sama om makanya ibu makan kayak gitu."
Kalau nyumpel mulut anak ini pake brokoli sampei gak bisa ngomong enak kali ya?. Ya Tuhan itu mulut apa golok?.
"Kaila, kok ngomongnya gitu sih sama ibu guru kamu?." Radit yang paling pertama bersuara.
Kaila sambil tetap makan menjawab, "aku aja kalau makan pilih-pilih suka dimarahin, terus kenapa aku gak boleh marahin orang dewasa yang suka pilih-pilih makanan?." Baru lima detik berselang, Kaila udah ngomong lagi. "Seneng pasti tuh ibu Meyra liat aku dimarahin sama papah."
Aku menghela nafas besar. Ini anak kenapa sih benci banget sama aku?. Padahal baru dipintu masuk tadi loh aku mengagumi dalam hati wajah ganteng bapaknya, tapi jahatnya kok gini banget anaknya sama aku?.
"Maaf ya, Meyra." Bisik Edgar. "Dia kalau sama orang baru memang begitu."
"Gak apa-apa." Aku balik menjawab pelan. Aku melihat Kaila mendelik padaku. "Makasih ya Kaila udah kasih tau aku buat jangan pilih-pilih makanan." Akhirnya dengan alasan agar anak itu diam, brokoli yang bau dan juga rasanya tidak aku sukai itu aku makan didepan Kaila dengan puas. Tapi sayang aksi heroik dan sok gagah itu buyar ketika aku baru beberapa detik saja menelan. Aku benar-benar tidak kuat memakan brokoli. Ada satu kejadian yang membuat aku sangat benci dengan brokoli hingga sudah sekitar tiga tahun ini aku tidak mau memakan sayur itu.
"Kamu gak apa-apa?. Mau ke dokter?. Maaf ya Meyra." Edgar ternyata menunggu di depan toilet. Aku kira tadi setelah mengantar, dia langsung pergi ke ruang makan lagi. "Sekarang aku gak akan meyakinkan kamu lagi buat nerima tawaran jadi guru lesnya dia. Aku baru tau segitunya Kaila sama orang baru. Selama ini aku cuman denger sekilas aja tentang kebisaan jeleknya itu. Pantes aja rata-rata suster atau guru lesnya pada mundur." Jelas Edgar dengan nada menyesal yang malah membuat aku sedikit tertawa. "Loh kenapa kamu jadi ketawa?."
"Aku kayaknya baru denger kamu ngomong serius gini." Aku berusaha mencairkan suasana sebetulnya. Kasihan Edgar merasa bersalah sekali. "Aku gak apa-apa kok. Oh ya tentang Kaila aku pikirin dulu ya. Kamu gak usah ngerasa bersalah. Ini bukan salah kamu kok." Lanjutku berganti menjadi sedikit lebih serius.
Setibanya di ruang makan lagi, aku melihat Kaila sudah tidak ada di kursinya. Yang ada Putri dan Radit yang terlihat sangat merasa bersalah. "Maaf ya Ibu Meyra, gara-gara Kaila ibu makannya sampai keganggu."
"Iya, saya sebagai papahnya ngerasa gak enak." Timpal Radit.
"Gak apa-apa, kata Kaila bener kok. Cuman emang sayanya aja yang belum bisa makan brokoli." Tolong jangan percaya dengan respon bijak itu. Biasalah, imej ibu guru itu kan harus selalu dijaga. Kalau lagi pake baju rapih gini enggak tau kenapa cara kerja otak itu jadi beda sama biasanya yang mungkin gak bakal sebijak itu, yang ada mungkin malah emosi. Nah, jadi setuju kan kalau aku bilang ini bakat?. Sabar kalau sudah berhubungan sama murid atau orang tua murid yang suka ada aja dramanya.
Insiden brokoli itu pun menjadi ujung pertemuan hari itu aku dengan keluarga kakaknya Edgar. Sepanjang perjalanan Edgar terus-terusan bilang maaf, kayak lagi lebaran kataku padahal udah aku bilang gak apa-apa. Saking merasa enggak enaknya Edgar sampai janji bakal bawain aku sesuatu besok pagi katanya. Gak tau deh apa.
Lagi asyik ngelamun, aku kaget sama getar handphone ku sendiri. Ternyata ada notif dari seseorang yang buat mood ku lebih terjun bebas lagi setelah Kaila tadi.From : Bapaknya Aris
Besok bapak tunggu di rumah. Zahwa ulang taun, kamu sama Aris harus dateng ya."Siapa yang sudi buat dateng?." Kataku sendiri sambil membanting handphone ke kasur, tapi seolah bisa mendengar apa yang aku bilang dari jauh eh ada chat lagi yang masuk.
From : Bapaknya Aris
Kalau kalian gak dateng, bapak bakal ngomong sama ibu."Shit..." Aku mengumpat kencang, dasar aki-aki tua yang bisanya cuma ngerepotin.
**"Surprise..." Tulisan super besar yang ada di kartu ucapan bunga yang dikirim Edgar. Aku geleng-geleng kepala. Edgar ini cowok yang sesekali bisa kalem, tapi bisa jadi ceria juga. Penuh kejutan, kata lainnya.
"Dari Edgar, neng?." Tepukan mamah di bahu membuat aku kaget. "So sweet banget, baru juga kemarin ketemu eh udah kirim bunga lagi aja besok paginya." Satu kesamaan mamah sama Aris, suka banget ceng-cengin aku. Padahal kalau Aris pacaran, aku gak pernah ceng-cengin dia.
"Kita cuman deket doang kok, mah."
"Oh ya?." Mata mamah menggodaku. "Kata si aa kamu di anterin juga tadi malem." Tuh kan dia itu memang mulutnya ember abis. Apa-apa dilaporin secara detail. Curang, pasti dia nyuruh mamah buat nanya ke aku. Tau aja kalau mamah yang nanya pasti aku gak mungkin gak jawab.
"Iya, soalnya kan memang yang lesnya itu keponakan dia. Mamah juga tau kan?." Jawabku sambil duduk di teras lalu mengelus tangan mamah yang duduk di kursi teras. "A Aris curang tau, mah. Padahal kan aku gak pernah kepo sama urusan dia, tapi dia itu kepo banget sama urusan aku." Aku tertawa dalam hati, biar tau rasa abangku itu. Aku aduin balik.
Pipiku malah dicubit mamah. "Bukan kepo itu th, neng. Dia peduli sama kamu. Gantinya bapak kan Aris. Siapa lagi yang jagain kamu sebagai laki-laki kalau bukan dia coba. Dia sering bela-belain di tengah kesibukannya itu buat nanyain soal kamu ke mamah. Dia sayang banget sama kamu."
Berhubung obrolan sudah mengarah ke melow, aku sengaja menaruh kepalaku di paha mamah. "Tapi dia mah suka kepoin medsos aku, temen-temen aku. Aku kayak punya CCTV berjalan tau, mah."
"Gak apa-apa atuh. Kan mahal CCTV yang secakep sama suaranya semerdu kayak aa kamu." Balas mamah yang buat aku tertawa, tapi meneteskan air mata. Terasa tangan mamah mengelus rambutku dengan sayang. "Ibu bahagia neng kalau liat kalian saling sayang begini. Itu udah cukup buat ibu daripada apapun."
"Sekalipun gak ada bapak sama kita, bu?."
Ibu diam tidak menjawab.
**
Malam itu, mau tidak mau aku dan Aris datang ke rumah bapak yang ada didaerah Lembang. Malas sekali sebetulnya, tapi gimana lagi?. Kita gak punya pilihan.
"Ra, gimana kuliah S2 kamu?." Tanya Aris saat diperjalanan. Asal kalian tau, Aris adalah penyumbang dana sekaligus alarm berjalan yang selalu mengingatkan bagaimana kuliah ku dan sebagainya. "Kalau ada bayaran atau apa kasih tau aja, jangan khawatir soal urusan duit. Uang aa mu ini banyak kok." Aku tau sebenarnya dibalik perkataan Aris itu dia ingin membuat aku merasa gak perlu ketergantungan sama bapak kayak waktu aku kuliah S1 dulu sampai harus tinggal di rumah bapak demi bisa di biayai.
"Iya deh tau yang udah jadi penyanyi terkenal, job banyak. Duit juga banyak." Balasku bercanda, eh Aris malah tertawa puas banget.
"Nah, makanya gak usah khawatir ya. Lo mau apa bilang. Mumpung lagi rame job plus masih belum nikah. Jadi lo mau apapun gue kasih. Beli lagi baju nanti ya, aa transfer." Gayanya emang gak ada dua. Aris ini baiknya kelewatan. Gak tau nanti istrinya diperlakukan kayak gimana tapi gak tau juga sih Aris baik gini karena emang baik atau karena merasa bersalah sama adeknya yang pernah hidup susah dibawah ketiak bapaknya.
"Bener ya. Aku mau banyak loh bajunya."
"Bebas. Heg wae.." (silahkan)
"Ah, coba gak mesti ke Lembang malem ini, kan enakan belanja baju ke PVJ. Gara-gara bapak maneh nih ah." (Bapak kamu).
Aris melotot. "Bapak maneh kali ah."
"Ah bapak maneh."
"Maaf dengan sangat menyesal harus mengatakan, bapak arurang." (Bapak kita).
Lagi asyik-asyik ketawa karena girang, aku merasakan getar handphone ku di dalam tas. Aku kira dari aki-aki tua itu, eh ternyata dari seseorang yang enggak aku duga.From : 08*****
Ini nomor saya Radit, papahnya Kaila. Boleh kita ketemu besok di cafe?.Hah?. Ini kakaknya Edgar gak ada maksud lain kan?.
**Tolong ya vote sama komentarnya, biar tambah semangat nulisnya.
Terima kasih
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost
RomancePerkenalkan Meyra, perempuan yang tidak bisa berkencan dengan laki-laki single. Baginya seorang laki-laki yang sudah mempunyai pacar itu terlihat sangat menarik. Dan yang lebih menariknya lagi adalah ketika laki-laki itu sudah menaruh hati padanya...