3 - Pesta Ulang Tahun

107 22 0
                                    

Suram. Itu aura yang aku rasakan saat pertama kali masuk ke rumah bapak, walaupun banyak hiasan balon berwarna pink serta nyanyian happy birthday yang terputar tidak sedikitpun melunturkan aura itu. "Mukanya jangan bete. Tahan barang 20 menit." Bisik Aris.
"Gak bisa, lo tau sendiri kan gimana?."
"Kalau gini nanti lo malah berantem sama bapak. Gak enak di pesta anak orang. Nanti banyak yang ijin pulang duluan, serem liat lo berantem sama bapak." Aris mengatakannya sambil tertawa. Memang iya sih, adat aku sama bapak itu sama. Jadi kalau kita dipertemukan bakal susah akurnya. Masing-masing dari kita susah banget buat ngalahnya. Beda sama Aris yang mirip sama mamah, mereka sabarnya luar biasa. Tukang ngalah lagi. "Ya udah gini deh, kalau lo bisa tahan emosi aa mu yang ganteng ini bakal tambahin uang belanja baju lo." Tau aja emang Aris kalau udah bujukin aku.
Mataku mendelik. "Oke, tapi gak bisa janji juga ya."
"Harus bisa. Kasian, suka mamah yang kena marahnya bapak."
Untuk perkataan Aris itu aku tidak bisa menjawab lagi. Mamah memang selalu diam saja kalau sudah dimarahi sama bapak. Aku yang jadi anaknya suka kesal bukan main. "Iya." Ujungnya aku menjawab dengan mata yang tidak mau menatap Aris.
"Bagus, baru itu adek aa."
"Kayak gini baru aja bilang gitu." Candaku.
"Hai..."
Ini adalah part tersulit yang harus aku lalui setiap kali diminta datang ke rumah besar ini. Wanita buaya yang selalu muncul dihadapan kami dengan wajah yang membuat aku benar-benar mual. Munafik. Aku memuji pada Aris yang selalu masih bisa memberikan wajah sopan, walaupun memang tidak ramah. "Hai...," balas Aris.
Wanita itu menaruh tangannya di pundak Aris yang membuat aku mendelik tajam. "Zahwa pasti seneng loh kakaknya yang udah jadi penyanyi terkenal ini dateng ke acara ulang tahunnya yang ke sepuluh."
Merasa tidak srek dengan kalimat yang diucapkan wanita itu aku pun menambahkan dengan tegas. "Kakak tiri." Biar inget dia itu siapa.
"Eh..., ada Meyra. Masih jutek aja sama ibu."
Ini wanita selalu pengen di panggil ibu, inilah alasan mamah gak mau dipanggil ibu lagi karena wanita licik ini selalu seperti ingin menggantikan. "Ibu apa ya?. Ibu-ibu yang udah rebut suami orang?." Bisikku dekat dengan wajahnya yang langsung membuat ekspresi wanita itu berubah seketika menjadi kesal.
"Udah yuk Mey kita ke dalem kasih kadonya langsung, abis itu pulang." Aris menarik tanganku untuk pergi. "Maaf ya kami pergi dulu."
"Udah, Ra. Jangan buang waktu buat ngeladenin wanita itu." Tangan Aris mengelus rambutku lalu tersenyum. Ditengah adegan itu, mendadak ada salah satu fans Aris yang histeris. "Kak Aris."
"Rame deh nih bentar lagi." Aku bicara sendiri dengan sangat pelan. Terbukti Aris pun dikelilingi oleh beberapa fansnya dari segala kalangan mulai dari anak kecil sampai ibu-ibu dan seperti biasanya pula aku memilih mundur daripada harus ada ditengah situasi itu.
Aku memilih duduk di taman sendirian. Tiba-tiba teringat ketika aku dua tahun yang terasa seperti dua abad tinggal disini. Di taman ini aku sering nangis sampai sesenggukan sendiri karena perlakuan bapak yang selalu beda. Seolah terasa kalau aku hanya menumpang disini, bukan anaknya.
"Ngapain ngelamun sendirian disini?."
Bulu kudukku langsung berdiri. Aku enggak berani jawab, apalagi menoleh.
"Gak bisa denger ya?. Apa gak bisa jawab?."
Kok makin jelas suaranya?. Gak mungkin dedemit kecil itu ada disini kan?. 
Puk... setelah ditepuk keras bahuku, aku baru berani menoleh. "Ya Allah...," aku kaget bukan main. "Ngapain kamu disini?." Ya ampun masa udah ketemu sama anak ini lagi?. Kemaren sore ketemu, eh malem ini gak sengaja ketemu lagi di rumah bapak pula. Sialnya double hari ini.
Anak itu tidak langsung menjawab pertanyaanku, dia malah duduk di sampingku. "Ibu yang ngapain disini?. Aku sih lagi ke acara ulang tahun temenku." Sejenak aku perhatikan baju dan make up yang sedang dikenakan oleh anak itu. Boleh kali ya komentarin dia. "Blush on kamu pink banget. Kayak mau dangdutan. Kalau anak kecil itu tipis-tipis aja. Bakal lebih cantik." Kataku dengan cuek.
Terdengar anak itu menghembuskan nafasnya dengan sengaja. "Emang lagi pengennya aja tebel pake blush onnya."
Mendengar jawaban anak itu pengennya sih aku ketawa, tapi aku tahan dengan susah payah. 
"Kaila...," deg... suara Radit bikin jantungku berdegup kencang. Setelah menerima chat tadi aku jadi merasa malu dan salah tingah sendiri. "Kamu lagi apa disini?. Yang lain udah pada ngumpul, mau tiup lilin. Eh ada penyanyi favorit kamu juga loh, Aris."  Radit sepertinya enggak sadar kalau aku yang lagi duduk sama anaknya.
Tanpa menoleh pada papahnya, Kaila menjawab. "Aku lagi sama Ibu Meyra."
Mendengar itu Radit langsung menghampiri aku dan Kaila, akupun yang tadinya pura-pura diam mau tidak mau jadi harus berdiri dan menyapanya. "Selamet malem, Pak Radit." Sapaku dengan sopan.
Radit balik menyapaku dengan senyuman dan anggukan.
"Gak usah ngeliatinnya gitu banget deh pah." Radit dan aku kaget, apalagi Radit. Ya gimana gak panik ya kepergok anak sendiri ngeliatin cewek lain sampei segitunya?. Aku sih ketawa aja dalam hati. Aku jadi iseng meneliti penampilanku sendiri malam ini, aku pakai dress diatas lutut dengan outer berbulu putih untuk menutupi tanganku yang terbuka. Ya kan dingin di Lembang sini, walaupun kata Aris tadi dress diatas lututku aja bikin dia ngerasa linu sendiri.
"Yuk ah, pah." Tanpa pamit Kaila pergi mengajak papahnya menjauh.
Radit yang terlihat lagi-lagi merasa tidak enak menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Maaf ya Kaila udah gak sopan lagi sama kamu." Tubuh Radit sedikit membungkuk dengan sopan. Bahkan dia kasih aku senyuman gantengnya. "Oh ya, saya tunggu besok ya." Katanya sebelum pergi.
**

Acara pesta sang adik tiri pun dimulai. Ternyata bapak mengundang Aris dan aku secara paksa itu ya karena mereka butuh Aris. Tau kalau abangku itu lagi naik namanya. Banyak yang jadi fansnya. Gak modal banget, pengen yang gratisan dan pake jalan mudah pula. Eh ada sih modalnya, anceman. Licik dan jahat memang bapak.
"Meyra, ayo ikut foto." Kata sang bapak yang baru ketemu lagi sama aku setelah sekitar lima bulan gak ketemu. Terakhir kami ketemu itu waktu dirumah ini lagi diadakan acara syukuran rumah baru.
Aku yang duduk di samping meja kue melihat bapak dengan pandangan sinis. "Ngapain?."
"Ya buat foto keluarga."
Sambil memainkan handphone aku menjawab lagi dengan sinis, "gak ada mamah disini."
Bapak terdengar menghembuskan nafas kesal. "Sekali doang, abis itu kamu boleh pergi. Zahwa pengen foto sama kamu sama Aris."
Senyum mengejek ku terbit. "Sama Aris doang kali dia mah maunya. Ajak aku mah karena Aris gak mau difoto kalau gak bareng aku."
Jawabanku tepat. Bapak diam, tidak membantah. "Apapun yang kamu minta bapak bakal kasih, tapi kamu harus difoto sama Aris sama Zahwa."
"Penawaran menarik nih. Ehm... oke kayaknya permintaan aku cuma satu."
"Apa?."
Aku berdiri dari dudukku kemudian bicara pelan pada bapak. "Makan malem dirumah. Jangan cuma kalau lagi berantem sama tante itu baru pulang terus pergi lagi sesuka hati. Gak pernah balik lagi kalau lagi akur dia." Bapak diam, aku tau bapak bingung. Waktu aku tinggal disini aku tau banget gimana wanita buaya itu posesifnya sama aki-aki ini. Susah banget pasti buat minta ijin makan malem di rumah istri pertamanya. "Mau gak?. Kalau enggak, aku mau pulang sekarang sama A Aris."
Dengan ekspresi kesal, bapak balik badan sambil menjawab. "Iya."
Aku tersenyum puas banget. Rasain deh lu aki-aki bakal pusing. "Kalau kamu bohong, aku gak akan pernah lagi ijinin Aris dateng ke acara Zahwa."
Aku yakin bapak pasti mendengar apa yang aku bilang. Banyak hikmahnya ternyata Aris jadi penyanyi terkenal kayak sekarang itu. Aku bersyukur. Rencana Tuhan memang enggak ada yang tau.
**

Besok sorenya aku dijemput dengan mobil BMW berwarna silver. Begitu masuk ke mobil aku melihat Radit memakai topi hitam. "Maaf ya saya ganggu kamu." Kata Radit begitu aku masuk mobil.
"Gak apa-apa, pak. Santai aja." Jawabku sedikit gugup. Ya gimana gak gugup ya?. Jalan sama suami orang. Sebenarnya aku juga belum tau sampai sekarang Radit ini mau bertemu denganku berdua seperti ini untuk apa. Ya, tapi kan tetep aja kalau diliat orang kan pasti nyangkanya yang aneh-aneh. Perginya berdua. "Ada apa ya Pak Radit?. Kenapa kita harus ketemunya berdua gini?." Aku menanyakan dengan jujur. Malu sih, takut disangka geer tapi gimana lagi aku penasaran.
Awalnya Radit hanya tersenyum, tapi akhirnya bicara juga padaku. "Maaf ya saya jadinya ngajak kamu ketemu didalam mobil. Sebenarnya saya mau khusus meminta kamu buat jadi guru lesnya Kaila."
Keningku mengkerut dalam. "Kenapa saya harus jadi guru lesnya Kaila?."
"Saya liat kamu tau cara buat Kaila diem, gak berkutik. Saya jadi mikir kayaknya lama-lama kamu bakal bisa bikin dia dengerin apa kata kamu. Jujur saya udah gak tau lagi cara kasih tau dia gimana buat lebih ngejaga cara bicaranya." Dari ujung mata aku dapat melihat betapa frustasinya Radit menghadapi Kaila.
"Ehm...., menurut saya Kaila itu cuma bicara terlalu jujur."
"Iya, tapi karena itu Kaila jadi suka berantem sama temennya. Kaila kalau bicara terlalu kasar."
"Kenapa gak coba ke psikiater anak aja?. Kan lebih profesional." Saranku.
Radit memberhentikan dulu mobilnya didepan sebuah restaurant fast food sebelum menjawabku. "Kaila udah sedikit ngerti, mungkin dari Google ya. Jadi dia gak mau dibawa kesana. Pernah ada yang datang ke rumah pun, dia gak mau makan apa-apa sampai akhirnya kami nyerah." Jelas Radit. Aku mengangguk-ngangguk mengerti. "Tolong saya." Pinta Radit dengan wajah memelas, aku semakin bingung. Pekerjaan jadi guru les Kaila makin gak mudah.
Aku harus nerima atau enggak?
*

LostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang