"Pantes lo kesemsem sama dia. Ganteng banget yang namanya Radit. Aura om-om macho dan tampan. Cocok buat jadi sugar daddy." Komentar Tiara saat kami baru saja duduk di tempat ngopi. Aku janji buat traktir mereka berdua.
Uci sih diem aja daritadi, tapi kemudian mengucapkan sesuatu yang bikin aku kesal sekali. "Lo mau jadi pelakor kayak iubu tiri lo?. Lo mau bikin si Kaila sama kayak lo?."
"Gue cuma mau jadi guru les anaknya!. Bukan pelakor!." Perasaan kesal, marah dan sebal pada Uci membuat aku mengeluarkan suara yang dalam dan tegas. Dari ujung mata terlihat Tiara yang mulai ketakutan. "Udah ya, kalian jangan berantem disini. Malu. Lo berdua berantemnya di rumah Uci aja sampai tonjok-tonjokkan pake sarung tinju kayak biasanya."
Selesai Tiara mengatakan itu, aku dan Uci berbarengan saling memalingkan wajah. Tiara menghembuskan nafasnya lega. Dia takut kalau aku udah berantem sama Uci. Informasi aja aku sama Uci ini punya manajemen emosi yang jelek alias sumbunya pendek. Mungkin karena kami sama-sama dari keluarga broken home. Bahkan waktu jaman SMA dulu saat keluarga kami lagi parah-parahnya, aku dan Uci suka barengan mukul bantal pakai sarung tinju yang sengaja kami berdua beli. Nah, Tiara ini jauh berbeda dengan kami berdua. Tiara punya keluarga seperti keluarga cemara yang ada di TV. Makanya Tiara yang paling kalem dan jadi penengah diantara kami.
"Please, jangan berantem ya. Banyak orang yang ngeliatin. Kalian gak malu?." Bener kata mantannya Tiara dulu yang namanya Rafka, Tiara ini cocok jadi guru BK karena Tiara itu paling gak suka ketika ada yang berantem di depan matanya seperti sekarang. Mau siapapun ya. Orang gak kenal pun, Tiara bakal maju. Emang selembut itu perasaan dia.
"Gue pokoknya mau lo gak macem-macem!." Mata Uci memicing padaku. "Gue gak suka sama pelakor."
"Gue gak macem-macem dan gue bukan pelakor ya!." Aku menegaskan setiap perkataanku lalu keluar dari coffe shop itu tanpa pamitan sama sekali ke Uci atau Tiara. Bodo amat sama Uci yang masih mau ngoceh panjang, habisnya aku kesel minta ampun. Aku gak macem-macem, belum ngapa-ngapain. Kenapa sih serese itu?. Kita kan ketemuan biar bisa diskusi.
Akhirnya demi bisa menghilangkan kesal, aku memutuskan buat pergi pindah mall. Keliling sendirian buat belanja cantik sampai mood kembali bagus.
**Hari H tiba, saatnya aku harus memberikan jawaban. Berulang-ulang aku tanya sama diri sendiri didepan kaca, lebih tepatnya sih ngomong sendiri. "Hey, lo yakin mau jadi guru lesnya?."
"Iya, kan mau liburan. Bayarannya gede."
Aku ketawa sendiri. "Yakin?. Bukan karena bapaknya?."
"Enggak, dih nuduh. Kayak Uci aja, suka suudzon."
"Yakin?."
"Argh..." Begitulah akhirnya aku kesal sendiri, teriak sendiri dan berujung dengan Asisten Rumah Tangga di rumah yang heboh nanya. "Kunaon neng?. Aya naon, neng?." Huh... walaupun sudah begitu, tidak ada keputusan akhir yang membuat aku yakin 100% yang ada cuma sekitar 60% buat nerima tawaran jadi lesnya Kaila.
"Ibu Meyra, maaf masih bisa denger suara saya?."
"Ah, maaf." Malu banget ketauan lagi ngelamun. "Iya, saya masih disini kok."
Pak Radit dari seberang sana sedikit tertawa. "Jadi gimana, Bu Mey?."
Bismillah dalam hati lalu, "iya saya terima tawaran buat jadi guru les Kaila."
Langsung terdengar hembusan nafas lega dari Pak Radit. "Makasih Bu Meyra. Saya titip Kaila buat belajar matematika sama sopan santunnya ya."
Berat banget ya tanggung jawabku. "Eng.., gak janji ya pak kalau tentang sopan santun...."
Belum selesai aku bicara, Pak Radit memotong yang akan aku katakan. "Saya minta nomor rekening ibu Meyra. Saya transfer sekarang." Waduh..., wo...., wo... maen transfer aja nih orang. Kalau udah di transfer kan mau gak mau aku gak bisa mengubah lagi keputusanku. Ya Tuhan, semoga aku di mudahkan karena kalau enggak mengharapkan mukjizat, kayaknya susah.
"Santai aja, pak. Kita kan belum buat kontraknya. Kita juga belum sepakat mengenai tanggung jawab yang harus saya berikan sama Kaila. Urusan bayaran kita sepakati udah itu."
Eh, Pak Radit malah ketawa. Renyah bnaget lagi itu ketawanya. "Gak perlu pake kontrak segala. Saya percaya kok. Buat masalah besarannya, kita bisa diskusi lagi kalau yang saya berikan kurang."
"Hah?. Nanti kalau saya kabur gimana?. Misalnya belum sebulan saya pergi gitu aja. Gimana coba?." Ditanya begitu Pak Radit malah ketawa. Ini orang kenapa ya?. Perasaan waktu kemarin ketemu di rumahnya, gak seceria sama sehumoris ini.
"Saya yakin itu gak mungkin. Pertama, saya tau alamat rumah kamu. Edgar juga kan temen kamu." Kayaknya lebih susah ya debat sama orang yang suka bercanda, apalagi ganteng. Aku yang biasanya bisa adu mulut lebih milih ngalah deh. Percuma yang ada aku kesel denger Pak Radit ketawa terus. "Oke, tapi jangan menyalahkan ya kalau perubahan Kaila gak sesuai ekspektasi bapak."
Lima menit setelah itu aku terkejut melihat nominal transferan bayaran les dari Pak Radit. Aku gak pernah terima bayaran sebesar ini. Ini gak salah apa?. Aku takutnya Pak Radit salah transfer.
"Kenapa Bu Meyra?. Apa nominalnya kurang?." Balas Pak Radit dengan suara gesekan antara pulpen dan kertas sebegai latar belakangnya.
"Oh.., enggak, enggak. Justru ini terlalu besar." Buru-buru aku membantah.
"Enggk, nominal itu pantas kok buat ngajarin Kaila yang saya sadari anak saya itu beda dari yang lain." Jeda... "Saya tau dia lagi gak baik-baik aja."Lanjut Pak Radit yang nada bicaranya berubah menjadi lebih pelan. "Dia butuh guru yangs eperti Bu Meyra. Gak keras, tapi gak terlalu manjain dia juga. Kaila jadi tau kalau gak semua bisa nurut sama dia."
Emang iya ya?. Masa sih?. Perasaan aku biasa aja deh. Ini hasutan Pak Radit aja?. "Pokoknya saya gak janji, pak. Eng..., saya perlu bicara kesepakatan sama Mbak Putri juga ya berarti?."
"Gak perlu, udah lewat saya aja. Nanti saya aja yang sampei kan." Tolak Pak Radit yang bikin aku bingung.
"Gak apa-apa, pak?. Saya takut disangka gak sopan. Atau saya disalahkan satu hari nanti." Pak Radit tetap saja menolak dan jawab gak apa-apa. Ah, ya udah lah. Aku menyerah. Kuncinya sekarang jalani aja. Toh Pak Radit tadi udah bilang itu tanggung jawab dia. Mendingan aku liatin saldo rekening, bayaran les kali ini lumayan banget bikin mata betah liat angka di m-banking. Mau lupain dulu mengenai segala kejanggalan dan apa yang akan dihadapi nanti sama Kaila.
Eh lagi mikirin mau kemana biar pikiran seger, ada telepon masuk dari Edgar. Agak lama aku pandangi lebih dulu layar handphone, bingung antara mau diterima atau enggak itu teleponnya. Setelah dipikir lama, akhirnya aku angkat karena kan kemarin baru aja berantem sama Uci dan Tiara. Jadi aku gak akan bisa ngajak mereka buat jalan-jalan.
"Hai cantik. Lagi apa nih?." Edgar menyapa dengan nada tengil seperti biasa.
"Basi banget sih. Lagi tiduran aja, lagi gak ada les soalnya. Kenapa?."
"Kebetulan banget. Mau ngajak makan."
"Eng..." Belum kasih jawaban, eh Edgar malah bilang. "Oke, aku jemput ya."
"Dih. Aku kan belum kasih jawaban, Gar." Pemaksaan banget si Edgar ini.
Dia ketawa puas. "Pokoknya siap-siap ya cantik." Lalu dengan resenya Edgar menutup telepon. Kebiasaan banget emang dia itu. Bukan pacar aja kayak gini. Kadang-kadang suka pengen getok. Liat aja nanti kalau udah ketemu.
Waktu mau siap-siap mandi, ada telepon masuk lagi dari Uci. "Morning." Uci ceria banget waktu aku angkat telepon, seolah-olah hari kemarin kita gak terjadi apa-apa. Ini anak kenapa?.
"Morning..., morning. Udah marah-marahnya?." Sindirku soalnya kita type temenan kpalau lagi ada yang bikin kesel ya blak-blakin aja bilang. Jangan dipendem, tapi memang kelebihannya satu kalau marahan ya gak lama.
Nah disindir begitu, Uci ketawa-tawa kenceng banget di telepon sampai kupingku pengang. Hobi banget ya orang-orang yang nelepon aku bikin aku kesel, terus mereka ketawa. "Ketawa girang banget." Eh, Uci makin kenceng ketawanya. "Kemaren marah-marah, sekarang ketawa-tawa. Seneng banget ya Ci kayaknya liat gue kesel."
"Ehem..." Uci berdehem supaya ketawanya berhenti. "Sorry ya, Ra. Abisnya lo bilang hal yang bikin gue emosi kemaren tuh. Ditambah lagi hari kemaren itu gue lagi sensitif karena mau dapet. Eh hari ini gue dapet, jadi mood happy nya balik lagi deh. Maaf ya Meyra."
"Gak tau ah."
"Gue traktir deh ya hari ini di cafe biasa. Yang deket rumah lo. Gue udah kasi tau Tiara barusan sebelum telepon lo buat makan siang bareng." Hari ini?. Kan ada janjian sama Edgar. Eng..., tapi masa lebih penting in cowok sih daripada temen sendiri?. "Please, sekalian ada yang mau gue kasih tau." Lanjut Uci memohon karena aku belum memberikan jawaban. Ya udah lah gak ada pilihan lain selain terima ajakan Uci dan telepon Edgar buat minta maaf karena gak jadi buat ketemu. Uci jarang mohon kayak gini, berarti emang ada yang mau dia kasih tau hal penting.
"Gar, aku mendadak ada perlu. Aku harus ketemu temen. Kayaknya aku gak bisa ketemu kamu siang ini."
"Dimana ketemunya?."
"Cafe. Emang kenapa?."
Gak disangka jawaban Edgar ternyata, "ya udah aku jemput udah kamu ketemu sama temen-temen kamu. Aku jemput ke cafenya langsung."
"Beneran?. Kalau lama gimana?."
"Aku jemput pokoknya." Edgar tetep kekeh ingin ketemu. Baiklah, kalau dia pengennya begitu.
**Di cafe, wajah Uci sumuringah banget. Aku sama Tiara sampai heran dan bertanya-tanya kenapa nih Uci?. Beda banget auranya sama hari kemaren. Apalagi baju Uci juga hari ini warna kuning cerah. Berbeda sekali dengan warna-warna baju yang biasanya Uci pakai. "Kenapa sih Ci?." Tanyaku gak sabar karena daritadi udah ngobrol ngaler ngidul, tapi Uci belum ngasih tau apa yang mau dia kasih tau.
Matahari dari jendela cafe menyorot wajah Uci yang tersenyum lebar sekali. Uci meminum es kopinya kemudian bilang dengan wajah berseri-seri. "Gue udah jadian sama Andi. Sebenernya udah tiga bulan yang lalu sih, tapi aku baru cerita sama kalian hari ini" Satu kalimat itu buat aku sama Tiara kaget bukan main. Andi ini adalah temen SMA kita yang jadi temen kantornya Uci, tapi masalahnya bukan itu. Masalahnya adalah Andi ini sudah punya pacar. Buat memastikan, aku bertanya lagi. "Ini Andi temen SMA kita, Ci?."
Uci mengangguk malu padaku sembari meminum minumannya. "Emang Andi mana lagi sih, Ra?."
"Bukannya dia udah punya pacar?. Udah lima tahun juga kan pacarannya." Tiara bertanya blak-blakan. Aku gak bersuara lagi, cuma melirik-lirik mereka berdua. Uci terlihat tidak senang saat mendengarnya. "Udah putus mereka berdua. Katanya sih gara-gara ceweknya ribet."
Dalam hati, ya tiap cowok ngomongnya begitu kalau ngerayu cewek. Apalagi posisinya itu cowo udah punya pacar. Tapi gimana ya aku gak tega buat bilang itu sama Uci. Dia susah banget jatuh cintanya. Sekalinya jatuh cinta sama playboy kayak gitu. "Lo... udah pastiin Ci?." Tanyaku hati-hati.
"Eng..., aku percaya sih sama dia." Jawab Uci yang keliatan banget udah cinta sama Andi.
Aneh, setelah itu aku tetiba kepikiran soal sesuatu. Tadi pagi Uci kayak seneng banget waktu bilang dapet, apa Uci udah melakukan hal itu sama Andi?. Pertanyaan itu menari-nari di kepalaku sampai kesadaranku kembali saat Tiara menepuk bahuku. "Kenapa, Ra?."
"Ah, enggak. Gimana?. Gimana?."
Belum selesai keterkejutan kami, uci memberitahukan sesuatu lagi yang bikin kita shock. "Dia mau nikahin gue secepatnya."
Duar... pikiranku makin mengarah ke situ, tapi sumpah mana berani aku tanya hal privasi itu. Lagian kan kita juga udah sama-sama dewasa. Oh ya jangan kalian pikir karena aku jahat dan egois aku jadi gak punya sopan santun. Walaupun Uci sering ngomong blak-blakan, tapi aku gak pernah mau melakukan hal yang sama ke dia.
"Lo yakin, Ci?." Tiara lebih berani bersuara disaat genting gini dan kalimat yang diucapkan oleh Tiara itu selalu tepat sasaran juga menusuk. "Andi bisa ninggalin pacarnya yang udah lima tahun pacaran dengan gampang banget, pake alasan yang juga kita gak tau itu bener atau enggak. Lo yakin dia bakal setia terus sama lo?."
Uci diam mendengar apa yang dikatakan oleh Tiara. Mendadak suasana pun menjadi awkward.
Aduh, kenapa sih dua pertemuan kita bertiga ini dari kemarin selalu tegang?.
Tidak ada jawaban dari Uci. Tiara mulai melirikku. "Ra, ngomong dong. Gue tau lo gak enak, tapi gue yakin lo lebih paham tentang ini." Tangan Tiara memegang tanganku seolah meminta pertolongan. Aku jadi masuk ke dalam posisi yang lebih sulit.
"Ci, semua keputusan ada di lo. Ini hidup dan perasaan lo. Kita disini sebagai sahabat lo cuma bisa ingetin lo. Dari gue cuma mu bilang, laki-laki itu bukan manusia yang bisa dipegang omongannya 100%. Mereka gak bisa transparan, pasti ada yang disembunyiin. Gak tau itu hal kecil atau gede. Lebih baik lo pastiin sendiri omongan dia itu bener atau enggak. Apalagi lo mau nerima lamarannya." Lega, aku bisa mengatakan itu panjang lebar. Kapan lagi coba kan ngomong bisa seserius ini sama mereka berdua?. Saking sayangnya aku sama Uci, dia sahabat yang paling sering ingetin aku.
Satu tangan Tiara memegang tangan Uci. Tiara memberikan senyum. "Bener apa kata Meyra, Ci."
"Serius banget."
Byar...Edgar datang dengan wajah tengilnya, menyapa kami bertiga yang membuat suasana haru biru pun berubah jadi santai lagi. Tiara yang lebih gampang ramah pada orang lain langsung menebak. "Edgar ya?."
Edgar yang berada dibelakangku menjawab dengan bangganya. "Iya, kok tau sih?. Pasti karena sering diceritain Meyra ya?." Pertanyaan Edgar sontak membuat kamipun tertawa. Gak tau aja dia kalau dia dikenal itu karena punya wajah yang mirip sama Pak Radit bukan karena seringnya aku cerita soal dia.
"Jawab apa nih, Ra?." Kedua alis Uci naik turun. Oh ya, Uci dan Edgar sudah kenal lebih dulu. Mereka berdua kerja di perusahaan yang sama dan aku sendiri kenal sama Edgar karena dikenalin Uci.
Mataku melirik Tiara dan Uci bergantian. "Gimana ya?." Hidungku mencium-cium wangi ke arah kemeja Edgar. "Orang Edgarnya jemput gue abis ketemuan sama cewek lain. Nih parfumnya aja masih nempel di kemejanya." Kepalaku memutar untuk melihat ekspresi Edgar. "Bener gak, Gar?." Mata Edgar seketika membulat. Reaksi yang terjadi secara alami pada tubuh saat ketauan.
Spontan, Tiara dan Uci ketawa ngkak. Mereka seakan lupa kalau tadi lagi tegang-tegangnya. "Maen-maen sama dia."
Tidak menunggu Edgar pulih dari rasa keterkejutannya, aku membereskan tas. "Gue mau pergi dulu ya. Makasih Ci." Berdiri lalu bicara lagi sama Edgar. "Ayok, mau jadi pergi kan?. Tapi jangan bawa gue ke tempat yang sama ya. Gue gak mau disamain."
Buat kali pertama aku mendengar Edgar mengumpat didepan Uci dan Tiara, yang sebenernya masih kedengeran. "Damn, temen lo serem abis, tapi hot."
"Sinting. Gue malah dibilang hot."
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost
RomancePerkenalkan Meyra, perempuan yang tidak bisa berkencan dengan laki-laki single. Baginya seorang laki-laki yang sudah mempunyai pacar itu terlihat sangat menarik. Dan yang lebih menariknya lagi adalah ketika laki-laki itu sudah menaruh hati padanya...