4 - Lipstik dan Bedak

102 16 0
                                    

Setelah pertemuan dengan Radit hari itu aku meminta waktu satu minggu buat berpikir. Untungnya Radit pengertian dengan memberikan waktu, tapi sayang sudah tiga hari berlalu aku belum juga mendapatkan pencerahan sedikitpun dengan keputusan apa yang akan aku ambil. Alhasil aku jadi manusia rese selama tiga hari sampai-sampai Uci sama Tiara ngajakin buat ketemu lagi. Alhasil setelah selesai ngajar les sore itu aku langsung pergi ke cafe.
"Kenapa sih udah pada dateng duluan?." Pertanyaanku pada Uci dan Tiara yang langsung dapat pelototan dan hembusan nafas kesal.
"Orang mah ya yang telat yang dimarahin, ini malah yang dateng duluan yang dimarahin. Harusnya kita woi yang nanya gitu." Balas Uci sambil tertawa diikuti oleh Tiara yang juga ikut-ikutan menyetujui. "Nih pesen, kita udah pesen duluan." Kata Tiara menyodorkan buku menu padaku.
Baru saja aku duduk dengan nyaman dan memesan makanan. Uci dan Tiara langsung menginterogasi aku dengan wajah sangat serius. "Oke, sekarang cerita sama kita. Kenapa lo dua hari ini nyebelin banget?. Kita yakin pasti ada sesuatu yang terjadi yang berhubungan sama Edgar."
"Nyebelin gimana sih?. Perasaaan gue baik-baik aja." Jawabku dengan santai dan tenang.
Serempak mereka berdua tertawa. "Mana ada lo baik-baik aja. Siapa tuh emang yang marah-marah di grup nyuruh kita diem pas Uci nanya gimana lo sama Edgar?."
"Terus siapa juga yang kemaren dimintai tolong beliin terigu eh lo malah beli sabun?. Mana baru ngeh di mobil, jadi kita balik lagi ke Indomaret." Uci mengomel dengan semangat. Tiara lagi-lagi ikut menyetujui. "Kita ini udah temenan lama dari SMA, jadi gak usah sok gak ada yang terjadi deh." Kata Tiara.
Di skak pake kalimat itu jelas aku gak bisa membantah lagi. Pada akhirnya aku bilang tentang Radit. Mereka berdua langsung kaget bukan main, sementara Uci menggebrak meja. "Awas ya kalau lo macem-macem, Ra. Suami orang itu beda judul. Bakal ada anak sama istri juga keluarganya yang terluka kalau lu jalan sama dia." Uci memperingati dengan sangat tegas,
Tiara mendekat. "Lo kan tau rasanya, Ra."
Aku diam mendengar apa yang dikatakan Tiara. "Iya." Jawabku singkat yang anehnya justru membuat Tiara dan Uci khawatir. "Kenapa sih kalian berdua?." Uci dan Tiara saling tatap. "Kenapa?. Kan gue udah jawab iya." Aku tanya lagi.
"Karena lo cuma jawab iya doang, Ra. Itu makanya kita khawatir." Tiara bicara dengan ekspresi ragu. "Terus lo mau terima atau enggak buat jadi guru les anaknya?."
"Terima kayaknya."
"Gila lo." Teriak mereka berdua secara serempak.
Sembari mengeluarkan handphone dengan tenang aku membalas. "Aku kan cuma mau jadi guru les anaknya, bukan jadi pelakor." Aku membela diri.
Mendengar jawabanku mereka berdua yang mulanya menegakkan punggung dengan tegang langsung menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Pokoknya kita gak mau ikut-ikutan ya, apalagi terlibat kalau sampai terjadi sesuatu."
Hening. Kita saling diam-diaman.
"Kenapa sih kalian gak percayaan amat sama gue?. Kan kata gue tadi jawab gak akan macem-macem. Janji. Lagian kan dia juga kemaren ngajak ketemu mungkin karena pengen lebih jelas aja."
Hening lagi. Uci dan Tiara pura-pura tidak mendengar dan malah asyik bermain handphone masing-masing.
"Budeg beneran loh." Kesel abisnya.
Dikatain begitu barulah mereka berdua simpen handphonenya. "Coy, amit.. coy..." Tiara mengetuk-ngetukkan tangannya di meja. "Iya, lo tuh ya kalau ngomong. Di kabulin baru tau rasa lo. Nanti lo curhat sama kita gak akan nyambung.  Syukur, mana temen lo kita berdua doang lagi." Uci ngoceh marah-marah. Aku sih ketawa. Abis siapa suruh mereka berdua gak jawab-jawab. "Istigfar, Ra." Kata Tiara.
"Astagfirullah. Maaf ya."

Setelah ngopi bareng di  cafe, kita bertiga memutuskan buat pergi ke mall. Udah lama kayaknya kita bertiga enggak jalan-jalan kayak gini. Tapi eh tapi disaat kami sedang memilih-milih lipstik di Sephora aku melihat keberadaan Pak Radit. Gawat, aku gak bisa ketemu dia disini, lagi ada Uci sama Tiara. "Eh, kita liat-liat sepatu aja yuk." Tangan Tiara sama Uci aku tarik-tarik.
"Aduh, bentar Ra. Gue lagi pilih-pilih dulu ini." Tiara mengangkat dua lipstik yang sedang dia pilih.
Mataku melirik pada arah Radit. "Nanti bisa balik lagi kesini."
"Ya udah sekalian aja sekarang beli dulu baru kesana, Ra. Bulak-balik jatuhnya kalau kayak gitu" Timpal Uci yang juga lagu pilih-pilih lipstik.
"Iya, Ra. Gue udah nabung nih buat beli lipstik ini. Tunggu bentar ya." Aku membatin dalam hati. Kapan Tiara bisa pilih-pilih barang dengan waktu cepat?.Tiara itu kalau milih barang lama banget, walaupun kadang ujung-ujungnya yang di belinya selalu sama dengan pilihan biasa atau sebelumnya. Jadi Tiara adalah termasuk ke dalam orang yang kalau mau beli barang harus terencana banget, mulai dari nabungnya sampai nanti beli barangnya. Harus perfect pokoknya.
Karena dua lawan satu, akhirnya aku ngalah. ""Oke deh, tapi bentar aja ya."
Tanpa menoleh Tiara mengangguk. Tiara sibuk banget memilih satu diantara dua warna yang sebenernya hampir sama. Warna merah merona. "Yang mana dong?. Aduh bingung banget." Tiara ngomong sendiri.
"Dua-duanya warnanya sama kok." Timpal Uci yang dia sendiri juga sedang sibuk memilih lipstik warna nude.
Dibilang begitu sama Uci, jelas Tiara gak terima. "Beda Uci.. Yang satu lebih gelap, yang satu lagi lebih terang. Gak sama. Ya kan, Ra?." Aku anggukin aja Tiara, biar cepet. Tiara ini emang beda selera sama Uci. Kalau Uci itu lebih seneng sama hal dan warna yang lebih simpel. Mau urusan apapun itu. Sementara Tiara lebih seneng main warna. Beda sama aku yang suka warna-warna aman dan lembut.
Oke, balik lagi. Teriba aku panik saat melihat Radit semakin dekat. "Udahlah, Ti. Warna yang kemaren lo incer kan yang lebih gelap." Untungnya Tiara setuju. "Ayok kalau gitu kita bayar." Kata Tiara pada akhirnya.
"Yes." Lega bukan main. "Ya udah yuk cepet-cepet." Aku mendorong tubuhnya Tiara, tapi baru saja mau gerak ada seseorang yang tepuk pundak.
"Bu Meyra, lagi belanja?."
Mampus, aku mengumpat dalam hati. Terpaksa, kalau sudah begini aku balik menyapa Pak Radit sembari tersenyum canggung dan gak tau kenapa salah tingkah. "Eh..., iya Pak Radit. Lama gak ketemu." Hah?. Lama gak ketemu?. Ya ampun dimana otakku?. Kenapa aku ngomong gitu?. Kan baru ketemu empat hari yang lalu. Aduh...
Terbukti kalau omonganku konyol, Pak Radit tersenyum yang dimana jenis senyumannya itu terbentuk di ujung bibir. Rese abis. "Iya, lama banget ya Bu Meyra."
"Pak Radit, kenalin saya Tiara. Temennya Ibu Meyra." Tanpa ditanya dan tanpa izin menginterupsi, Tiara memperkenalkan dirinya sendiri. Mana sembari senyum-senyum meledek. Eh, tapi bukannya bete melihat sikap sok SKSD Tiara, Radit malah tersenyum lebar seklai. Ramah sekali. "Halo juga Tiara."
"Uci." Gantian Uci memperkenalkan dirinya secara singkat.
"Halo Uci." Tanpa sengaja pada saat Pak Radit mengangkat tangannya, aku mendadak fokus pada hal yang lain. "Eng..., suka pake lipstik?." Jariku menunjuk pada lipstik yang sedang dibawa Radit. "Sama bedak?." Lanjutku agak tidak enak saat menanyakannya.
Radit sontak terkejut. Dirinya langsung menggeleng-gelengkan kepala. Salah tingkah sekaligus malu. "Enggak, kok. Bukan. Saya gak suka pake lipstik." Radit memperlihat lipstik dan bedak yang sedang dipegangnya. "Gak tau, ini istri saya jail banget. Minta saya buat beliin ini, padahal dia sama Kaila ada di tempat makan." Sambil malu-malu Radit menjawabnya.
"Tuh, liat. So sweet gitu sama istrinya." Bisik Uci dengan pongah, sementara Tiara malah senyum-senyum jadinya.
"Oh gitu, ya udah kita pamit dulu ya, pak." Mendingan buru-buru pergi, daripada Pak Radit ngedenger omongan Uci sama Tiara. Kan nanti malu jadinya. Jadi aku tarik tanagn Uci sama Tiara.
"Bu Meyra..." Aku dan kedua sahabatku kaget saat Radit menyentuh tanganku. "Ah, maaf." Katanya lalu berdehem. "Tolong pikirin baik-baik ya permintaan saya. Saya tunggu tiga hari lagi." Mata Radit terlihat sangat memohon. Tubuhku dari atas sampai bawah membeku seperti es. Seakan tidak hanya hati dan pikiran ku yang terhipnotis, tapi tubuhku juga. Lalu...
"Ehem...."
Damn, Uci sengaja berdehem. Aku dan Pak Radit langsung tersadar. Kenapa sih Pak Radit harus kayak gitu tadi?. Kan bikin suasana makin runyam.
"Saya tunggu ya." Pak Radit pergi sementara aku siap-siap diinterogasi dan diceramahi panjang lebar.
**

LostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang