"Sial, bisakah aku tidur lebih lama dari tiga jam untuk hari ini saja?" gumam Tallulah Waverly Holden ketika jam beker dan alarm di ponselnya berbunyi secara bersamaan. Kedua benda itu terdengar memenuhi seisi ruangan kamar apartemennya yang sempit, menusuk telinga Tallulah dan mau tidak mau—disaat kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul—wanita itu bangkit dari atas ranjang.
Talullah menggerutu pelan dalam hati. Ia baru saja memejamkan mata. Waktu seakan berkedip seperti lampu yang menyala kemudian mati. Lalu wanita berusia duapuluh tiga tahun itu tidak diberikan pilihan sama sekali. Hidup di Kota New York yang berlandaskan posisi ekonomi yang tinggi, di mana untuk bernapas saja rasanya harus membayar, satu-satunya kota yang dilingkupi gengsi, membuat wanita itu harus terus bergerak untuk menghidupi diri tanpa bisa berkhayal untuk bersantai sedikitpun.
Tallulah memoleskan lipstick berwarna pink muda ke bibirnya. Ia memastikan penampilannya sekali lagi sebelum melangkah keluar dari apartemennya. Ketika pintu ditutup, suara decitan pelan itu terdengar sangat mengejek; seakan-akan berkata bahwa Tallulah setidaknya harus bekerja lebih keras atau dia harus memulai untuk pindah dari tempat itu.
"Permisi, maaf."
"Permisi."
Tallulah memperbaiki letak kacamatanya ketika ia menabrak seorang pria berbadan tambun di sisinya. Seperti hari-hari sebelumnya, Kota New York di Senin pagi—selalu dilingkupi oleh kesibukan terutama di kereta Subway. Tallulah harus bergerak cepat atau dia akan tertinggal.
Kedua mata Tallulah memandang jalanan sekilas saat dia keluar dari stasiun bawah tanah. Ia harus melewati jalanan trotoar sebelum tiba di kantor pusat Trending Review, tempat di mana wanita itu bekerja sebagai jurnalis selama dua tahun ini. Tallulah menghembuskan napas. Setiap hari, setiap saat matanya memandang betapa orang-orang menikmati kehidupannya di dalam mobil Ferrari yang mahal, wanita itu harus memandang kehidupannya sendiri dan bersyukur berulang kali.
Tallulah Holden atau Tallulah Waverly—nama itu sudah cukup baginya. Tapi dia jelas menyandang nama Holden di belakang namanya. Ketika Porter Finigan Holden yang kaya raya di Amerika Serikat, pria pemilik perusahaan properti terbesar, mengadopsi Tallulah yang berusia tujuh tahun dari panti asuhan. Tallulah seharusnya bisa 'menghembuskan napas' seperti yang seringkali teman-temannya katakan ketika dia di sekolah menengah pertama dulu.
Namun Tallulah hanyalah anak adopsi pria paruh baya itu, apapun yang Porter berikan padanya, Tallulah tidak berhak menerimanya begitu saja. Ia harus bekerja keras untuk dirinya sendiri.
"Telat lagi?" tanya Emmet Hutton, teman satu timnya yang sama-sama bekerja sebagai jurnalis.
Tallulah melirik arloji di pergelangan tangannya. "Lima menit kurasa. Davis tidak akan marah kan?"
Tallulah menyimpan tasnya di meja lalu duduk menghadap komputer. Wanita itu berterima kasih pada Emmet yang menyodorkan segelas kopi padanya.
"Aku kasihan melihatmu lama-lama, Lula," Emmet menyeruput kopinya. "Kau harus berhenti naik kereta dan mulai memikirkan penampilanmu supaya kau bisa berkencan."
Tallulah mengerutkan kening. Ia menyadari bahwa dia lupa memoleskan bedak dan meringis. "Aku memakai lipstik," ujarnya yakin.
"Apa kau bahkan sudah sarapan?" ujar Emmet lagi, pria itu duapuluh tahun lebih tua dari Tallulah dan selalu memperhatikannya. Bukan karena menyukainya, pria itu sudah beristri tapi menganggapnya seperti anak sendiri. "Aku harus memastikan kehidupanmu layak sebelum pensiun."
Tallulah terkekeh pelan. "Aku memang lupa memakai bedak."
"Cobalah untuk tidak terlalu keras pada dirimu, sayang. Aku bisa membawamu melihat-lihat apartemen sahabatku di Park Avenue bagaimana? Kau hanya perlu berjalan kaki sepuluh menit untuk kemari."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Right Kind of Wrong
Romance(Sequel Wicked Games) Tallulah Waverly Holden merasa sangat sial ketika dia mendapatkan tugas untuk meliput dan mewawancarai pernikahan kakak tirinya, Avriella Holden. Bukan karena ia membenci Avril, tapi pasangannya, pembalap Formula Satu paling na...