Sebastian sialan!
Tallulah merutuk dalam hati seraya mengusap-usap tanda kemerahan di lehernya. Wanita itu baru saja tiba dari Malibu semalam—setelah melaksanakan resepsi pernikahannya dengan Sebastian—dan memilih untuk kembali tinggal di apartemen kecilnya. Tapi pagi ini, setelah mandi Tallulah menyadari bahwa tanda kemerahan di lehernya, yang sempat ditutupi oleh penata rias ketika resepsi, tidak dapat hilang.
Ia mengusap-usap kemerahan itu hingga kulitnya justru merasa perih. Tallulah menghembuskan napas pelan, mengulangnya sekali lagi alhasil dia merasakan kulit itu semakin merah dan bukannya menghilang. Wanita itu duduk di kloset dengan frustasi.
Tallulah menghembuskan napas. Pria itu menciumnya dengan kurang ajar—itu yang Tallulah ingat. Entah dia terlalu bodoh dan mengabaikan fakta bahwa jemari Sebastian yang bergerilya juga diiringi oleh ciuman pria itu yang turun.
Benar-benar gila!
Satu pesan tiba-tiba masuk ke dalam ponselnya, mengalihkan perhatian wanita itu.
+1 (212) 223 xxxx : nomor 102 atau 103? Aku bahkan tidak dapat melihat angka buram di pintumu.
Kening Tallulah berkerut. Apakah Davis mengiriminya pesan baru? Apa pria itu mungkin ingin mendatanginya karena Tallulah tidak izin dan tidak bekerja kemarin? Ya Tuhan! Tallulah mendadak panik.
Masih pukul 6, langit New York bahkan masih sangat gelap, apa Davis mau serepot itu? Tapi tentu saja pria itu adalah editornya yang paling baik.
Tallulah bergegas melilitkan handuk ke lehernya ketika ia mendengar bel apartemen berbunyi. Tak lama ketukan di pintu menyusul dengan tidak sabaran.
"Kenapa lama sekali?"
Tallulah tersentak karena terkejut melihat Sebastian yang berdiri di hadapannya. "Apa yang kaulakukan di sini?" desisnya tajam.
Sebastian menarik senyuman lebar yang tampak sangat terpaksa. "Menjemput istriku untuk mengantarkannya berangkat bekerja."
Tallulah menganga. Ia menggelengkan kepalanya seraya hendak menutup pintu, namun Sebastian menahannya dengan tangan pria itu.
"Aku melewati jalan terpencil dan memarkirkan mobilku di ujung jalan, Lula. Jangan mengusirku begitu saja."
Tallulah mendengus pelan. "Silakan kembali pulang saja kalau begitu—"
Sebastian menggeleng. "Wifey," panggilnya serak. "Aku membelikanmu jaket baru dan pakaian kerja yang lebih pantas." Pria itu menunjukkan paper bag di tangannya. "Jaket—agar kau tidak mengenakan jaket nenek-nenekmu lagi."
"Aku juga membelikanmu beberapa bra."
Tallulah nyaris tersedak mendengar ucapan terakhir Sebastian. Ia melotot kesal. "Aku mampu membeli semuanya sendiri—kau tidak perlu melakukannya."
Tallulah melangkah masuk lebih awal, ia tahu Sebastian telah mengekorinya meskipun pria itu berkata. "Apa kau tidak ingin mengundangku masuk?"
"Sempit sekali. Kenapa kau masih betah berada di sini?"
Kedua mata Sebastian menelusuri tiap sudut apartemennya. Jika dikalkulasikan dengan apartemen milik Sebastian, harganya mungkin 50 kali lipat lebih murah. Tidak aneh jika Tallulah hanya memiliki fasilitas; satu kamar, satu ruangan luas di mana dapur, ruang TV saling terhubung, bahkan tidak ada sekat sama sekali.
"Nessa sangat cerewet memintaku untuk membelikanmu apartemen. Ayahmu bahkan berniat memberikan hadiah apartemen tapi kau menolaknya..."
Tallulah tidak menjawab ucapan Sebastian. Ia sibuk menyeduh kopi dan memasukan roti ke dalam alat pemanggang. Setelah roti mencuat keluar, Tallulah mengambil bahan lainnya dan membuat satu sandwich. Wanita itu menyimpannya di atas meja sementara ia mengambil kopi miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Right Kind of Wrong
Romance(Sequel Wicked Games) Tallulah Waverly Holden merasa sangat sial ketika dia mendapatkan tugas untuk meliput dan mewawancarai pernikahan kakak tirinya, Avriella Holden. Bukan karena ia membenci Avril, tapi pasangannya, pembalap Formula Satu paling na...