3. Pembagian Kelompok

72 33 172
                                    

Note: Mulai part ini – cerita menggunakan POV Penulis. Happy Reading.

*****

“Kumpul-kumpul!” Pak Broto berdiri di tangga tugu seraya memanggil mahasiswa yang asyik bercengekrama di sekitar, menggunakan toa putih yang biasa dia pakai saat ikut demo dulu.

Tak lama mahasiswa mendekat. “Baris sesuai jurusan, sekarang kita akan pembagian kelompok! Yang lain mana? Sastra Melayu, Sastra Indonesia, Peternakan, Arsitektur, Akutansi, Teknik Sipil, Ayo, silakan berkumpul. Karena kita akan berpisah berdasarkan lokasi lapangan pengabdian yang disiapkan.”

Mahasiswa berkumpul sesuai prodi masing-masing. Yang masuk dalam gelombang mereka hanya ada enam jurusan dari tiga fakultas yang berbeda. Dua prodi dari Fakultas Ilmu Budaya, satu dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Satu Peternakan, dan 2 lainnya berasal dari Fakultas Teknik.

“Bagaimana ketua? Anggotanya sudah siap semua?”

“Eh, Ning kau lihat Rey tidak? Dia gak ada,” tanya Alim tiba-tiba panik. Dia'kan ketua, kalau ada anggotanya yang bermasalah, pasti dia juga yang repot.

Ningrum menggelengkan kepalanya. “Tak lah, aku kan bareng Leya terus sambil foto-foto di patung buku sana. Mana aku lihat Rey kemana?” balasnya.

“Duh, macam mana nih. Kalau nanti Pak Broto merajuk, aku pula yang kena!” Alim menggaruk kepalanya frustrasi.

“Hei, Sastra Melayu, kenapa kaco kali macam tuh? Alim, dah siap semua anggota kau?” tanya Pak Broto mengalihkan pembicaraan mereka. Alim terpaksa menghadap ke depan – ke arah Pak Broto sedikit menekuk wajah.

“Anu Pak, masih ... tinggal satu Pak! Rey—“

“Aduh, macam manalah kau nih, tak becus kali jadi ketua! Kau tak lihat kah kemana anggota kau pergi?” potong Pak Broto sedikit kesal.

“Tidak Pak! Tapi tunggu dulu, awak nak call dia kejap!”

“Duh, Reyhan, benar-benar beban tim kau lah nih,” gerutu Alim sembari meletakkan ponselnya di telinga. Tak lama kemudian – dering panggilan berganti dengan tersambungnya perangkat teleponnya.

“Rey, mana kau? Pulang cepat, kita ada kumpul nih!” ucap Alim langsung to the point.

“...”

“Astaga, Acamana kau bisa ke situ. Cum, cepatlah balek, Bapak dah cari kau nih!”

“...”

“Oke, jangan lama-lama.” Alim memutuskan panggilannya sepihak dan kembali sepenuhnya menghadap ke Pak Broto yang sedari tadi melototinya.

“Cemana? Kek mana dia?” tanya Pak Broto masih dengan nada baritonnya.

“Di perpus, Pak.”

“Perpus? Suruh dia cepat-cepat!”

“Sudah Pak!”

Pak Broto agak terkejut, mendengar jawaban Alim yang terdengar begitu antusias menjawab. Dia menaikkan alisnya, “Oke!” kemudian fokus pada mahasiswa yang sudah siap mendengarkan penjelasannya – dia mulai bicara.

Tak lama kemudian, dari kejauhan siluet lelaki yang ditunggu sedang berlari mendekat. Dia Reyhan yang katanya dari perpustakaan, yang entah bagian mana lokasinya tidak ada yang tahu kecuali dirinya – dia terus berlari ingin masuk barisan tanpa berbicara apa-apa karena sudah telat.

“Rey! Stop!” tegur Pak Broto dari atas tangga tugu.

Reyhan menoleh dan berhenti sembari memegang lutut. “I ... yah, Pak?” balasnya dengan dada naik-turun.

Stabat Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang