6. Pisau tajam

274 46 10
                                    

Gun tengah bersiap-siap ketika tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. Alisnya terangkat sebelah, berpikir kira-kira siapa sosok dibalik pintu itu. Tidak mungkin Tay, kan? Kalau iya, untuk apa?

Tak ingin membiarkan si pengetuk pintu menunggu terlalu lama, dengan segera Gun membukanya. Sebelah alisnya kembali terangkat saat menemukan siapa orang yang mengetuk pintu kamarnya.

"Kenapa?" tanya Gun dengan nada malas. Bukannya menjawab, Tay, sosok yang sudah mengganggu kegiatannya bersiap-siap, orang yang mengetuk pintunya, memasang wajah bingung. Matanya mengobservasi Gun dari atas hingga bawah kemudian ke atas lagi.

"Jika tidak ada yang ingin kau katakan ya sudah." Gun baru saja akan menutup pintu. Namun pertanyaan Tay menghentikannya.

"Kau mau ke mana lagi?"

Gun memutar bola mata malas. Malas menjawab pertanyaan yang terlontar dari bibir pria yang lebih tinggi darinya itu.

"Kau tidak lihat ini jam berapa? Belakangan ini kau selalu pergi malam. Kau pelacur apa bagaimana? Kau-"

"Berhenti di situ Tay Tawan." Suara Gun terdengar dingin. Giginya gemeretak, matanya menatap Tay penuh luka. Tangannya mengepal hingga buku-buku tangannya memutih. Binar matanya tergenang. Ucapan Tay seperti pisau tajam yang menancap tepat pada jantungnya. Rasanya sakit sekali. Gun membanting pintu, meninggalkan Tay dengan raut bingung.


Gun melepas jaketnya kemudian melemparnya sembarang. Menghampiri ranjang lalu menenggelamkan diri di dalam selimut. Tubuhnya meringkuk, air matanya tanpa diminta mengalir deras membasahi bantal. Hatinya sakit seperti dirujam ribuan anak panah. Tubuhnya dingin. Kepalanya pening.

Ia tahu betul Tay tidak menyukainya, tapi ia tidak menyangka jika suaminya itu akan mengatakan kata-kata sekotor itu. Dadanya sesak seperti diremas. Dalam tangisnya yang tanpa suara Gun memanggil Ayah dan Ibunya lirih, membuatnya semakin terisak. Tubuh kecilnya bergetar hebat.

Gun mengingat masa kecilnya. Di mana hidupnya teramat sangat bahagia. Menjadi anak satu-satunya membuat ia tumbuh dengan dipenuhi cinta. Tak pernah sedikitpun ia merasa kurang kasih sayang. Orang tuanya begitu memanjakannya dan menyayanginya.

Di luar tiba-tiba hujan disertai petir. Ingatannya terlempar pada suatu malam. Saat dirinya tak bisa tidur karena hujan deras disertai petir. Gun tidak takut hujan, tapi ia sangat takut dengan suara petir yang memekakkan telinganya.

Malam itu Ibunya datang untuk menemaninya. Wanita yang melahirkannya itu sangat mengenal putra semata wayangnya. Dalam usapannya yang lembut pada rambut Gun remaja, Ibunya berkata, "Suatu saat nanti, saat Gun sudah besar akan ada seseorang yang tidur di sampingmu setiap malam, menemanimu. Saat kau tidak bisa tidur karena petir menggelegar, orang itu akan mengusap kepala Gun seperti yang Bunda lakukan." ucapnya dengan sangat lembut.

Mata Gun berbinar dalam keremangan kamar, "Benarkah?" Sang Ibu tersenyum kemudian mengangguk.

"Siapa orang itu, Bunda?" suara Gun remaja terdengar antusias. Membuat sosok cantik itu kembali tersenyum. Putranya sangat menggemaskan. Wanita itu mencium kening Gun. "Pasanganmu. Orang yang akan mencintai Gun begitu besar dan selalu berusaha membuatmu bahagia setiap harinya. Seperti yang Ayah lakukan pada Bunda."

"Gun ingin cepat besar, Bunda. Gun ingin bertemu orang itu."

Sang Ibu terkikik geli karena gemas. "Yah, kau akan segera besar dan bertemu dengannya. Sekarang putra Bunda tidur dulu, yah. Besok Gun harus sekolah." Gun mengangguk lucu kemudian memejamkan matanya.

"Bunda, kau berbohong. Aku sama sekali tidak dicintai oleh suamiku. Aku bahkan selalu melewati malam-malam sendirian." Gun meremat ujung bantalnya. Bantal yang sudah semakin basah oleh linangan air matanya.

Dering gawainya di nakas menginterupsi Gun dari tangisnya. Pelan-pelan ia bangkit kemudian mengambil ponselnya. Tertera nama Krist di sana. Gun menarik napas dalam kemudian menghembuskannya dengan pelan. Gun berdeham untuk menetralkan suaranya yang ia yakin akan terdengar serak.

"Halo, Krist." Gun terkesiap. Suaranya terdengar buruk sekali. Ia kembali berdeham.

"Halo, Gun? Kau baik-baik saja, kan? Kau seperti habis menangis." Suara di seberang sambungan terdengar begitu khawatir.

"Ya, aku baik-baik saja. Aku sedikit tidak enak badan. Bolehkah aku izin untuk tidak masuk kerja dulu malam ini?"

"Ah iya. Tadinya aku menelponmu karna ingin menanyakan itu. Singto bilang kau belum datang. Maka dari itu aku menelponmu. Aku akan menyampaikan pada Singto kalau kau tidak masuk. Istirahatlah dulu. Kau bisa kembali bekerja saat sudah sembuh."

"Terimakasih, Krist. Sampaikan maafku pada Singto."

"Ya sudah. Kau harus istirahat. Oh tunggu. Apa kau sudah minum obat?"

"Sudah." sudah jelas ucapan Gun adalah bohong.

"Baiklah kalau begitu. Aku harus pergi. Dah, Gun."

Krist memutuskan sambungan. Meninggalkan Gun yang duduk menatap nanar layar ponselnya. Ia tersenyum getir, sudah berapa banyak kebohongan yang ia lakukan pada orang-orang terdekatnya belakangan ini. Tak terhitung.

Gun bangkit untuk mengganti pakaiannya ke pakaian tidur. Mata sembabnya menatap pantulan wajahnya yang memerah di cermin.

"Jangan pedulikan kata-kata pria berengsek itu, Gun. Kau tidak melakukan kesalahan apapun." Gun mengulas senyum. Matanya masih bengkak dan merah. Hidung bangirnya juga tampaknya tidak mau kalah merah dengan matanya.

Gun menunduk untuk mengusap wajahnya dengan air kemudian kembali menatap cermin. Bulir-bulir air menetes dari wajahnya.

"Abaikan pria itu. Dia tidak tahu apa-apa. Jangan pedulikan. Jangan biarkan siapapun membuatmu bersedih. Dia tidak berhak melakukannya. Jangan menangisi orang-orang jahat seperti dia. Kau itu kuat."
ucap Gun panjang pada dirinya sendiri mencoba menguatkan.

.
.

Di sisi lain, Tay tengah duduk di ranjang miliknya. Kuku jempolnya ia gigit. Beberapa detik setelah Gun menutup pintu Tay tersadar. Ia baru saja mengucapkan kata-kata yang tidak semestinya. Meskipun ia tidak menyukai Gun, tapi tidak pernah sedikitpun terbersit dalam hatinya ingin melontarkan kata-kata kotor pada pria yang sudah menjadi suaminya itu.

Tay sedikit merasa bersalah. Tapi ia tidak juga ingin meminta maaf. Ia merasa jika perkataannya itu tidak disengaja. Tapi entah kenapa rasanya tetap mengganjal. Dan itu sangat mengganggu. Tay mengusap kepalanya frustasi. Mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa bersalah terhadap Gun.

Tay merebahkan badan, menarik selimut sebatas dada, mencoba memejamkan matanya. Tapi rasanya sangat sulit. Kepalanya tetap penuh. Ia pun kembali bangkit dan mengambil remot teve. Ia akan menonton film saja. Mungkin dengan begitu ia akan melupakan kejadian beberapa waktu lalu.

Film yang ia tonton belum setengah jam itu ia matikan. Rasanya percuma, hal mengganjal itu tetap ada. Tetap mengganggu.

Baiklah, kali ini saja ia akan menurunkan egonya untuk meminta maaf.

Tay keluar dari kamarnya lalu menuju ke kamar Gun. Berdiri di depan pintu kamar milik Gun, dengan ragu mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu itu. Namun setelah beberapa detik kepalan tangan itu hanya menggantung. Tak kunjung mendarat pada permukaan pintu kayu di depannya.

Tay kembali menurunkan tangannya. Berdiri gusar, berpikir apakah ia harus melakukan itu sekarang dengan begitu ia bisa merasa lebih baik kemudian bisa tidur atau ia akan meminta maaf besok saja. Tay menggigit bibirnya kemudian kembali ke ke kamarnya.

Ia akan meminta maaf besok. Itupun kalau ia masih merasa bersalah. Yah, begitu saja.

TBC

Marriage Contract (TayGun) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang