Tuan disana berdiri tegak bak panglima perang ingin rasanya ku sapa. Dengan langkah agak berlari ke arahnya berniat menyambanginya, namun siapa sangka hawa lain sudah dulu sampai di hadapannya.
Langkah terhenti. Menatap nanar adam dan hawa disana, begitu mesra. Ada rasa sakit yang tiba-tiba menjalar di ulu hati. Langkah yang tadinya kokoh kini berubah gemetar menyaksikan drama picisan antara sang tuan cinta dan hawa lain disana.
Thalia namanya. Hawa yang kini sedang bersama tuan cinta.
Berbalik arah menjauh dari sang tuan, berniat menenangkan hati yang tanpa sengaja terluka. Ku pejamkan mata sambil mengingat-ingat siapakah gerangan hawa itu di mata sang tuan.
"Lia itu cuma teman gak lebih percaya deh. Ya meskipun aku dan Lia ibarat perangko, gak bisa di pisahin."
"Tuan egois ya?"
"Iya"
"Kenapa gak bela diri?"
"Kalian sama berarti nya"
Ucap sang tuan kala itu.
"Melepas tidak mau. Setia tidak mampu"
Balasku waktu itu dengan terkekeh.
Aku tau mencintai tuan adalah salah satu cara membuat luka sendiri. Miris! Tahu bahwa salah satunya bukan satu-satunya, namun tak ingin pergi.
Tuan pandai meng-acak hati, kemaren di terbangkan bagai kelangit ke tujuh sekarang di remas-remas dengan kuat sampai hancur berkeping-keping.
Sakit kali ini pun aku tak menyalahkan tuan. Bodoh memang. Kewarasanku sekarang mungkin hilang dari atas rata-rata.
Langit yang tadi nya cerah tiba-tiba mendung. Seolah tahu apa yang terjadi. Angin berhembus kencang membuat rumput bergoyang menari-nari kesana kemari seolah mengejek ku dengan bangga.
Hujan turun. Aku tak berniat menjauh dari bangku taman, ku nikmati setiap tetesan yang jatuh mengenai tubuhku.
Sekilas ku pandang ke atas lalu menunduk. Merasakan setiap aliran air yang membasahi tubuh. Perih terasa menjalar di bagian tubuh, luka tak kasat mata kini meraung dan merintih.
Basah sudah seluruh tubuh yang di guyur hujan saat menikmati luka tanpa asa.
"Hujan-hujanan."
"Kehujanan!"
Sahutku pada sang tuan cinta yang datang menghampiri. Di usaknya kepalaku yang sudah basah di guyur hujan sehingga membuat ia lebih berantakan.
"Kehujanan neduh!"
"Tempat teduhnya tadi lagi di sewa orang."
"Hmm.. cemburu?"
"Iya"
"Luka?"
"Iya"
"Gak usah cemburu. Lia cuma teman"
"Tapi ibarat perangko."
"Iya. Tapi aku bukan suratnya."
Ku lihat sang tuan di bawah hujan sedikit menahan tawa kepadaku. Ingin aku berteriak, nikmat tuhan mana lagi yang kau dustakan. Meski luka tapi kebodohanku masih di atas rata-rata, di hampiri di tengah hujan begini saja rasa hangat seketika menjalar di tubuhku.
"Jangan cemburu. Kata Dilan, orang yang cemburu itu tidak percaya diri"
"Sekarang aku gak percaya diri"
"Mau di bantu?"
"Hm?"
"Buat percaya diri."
"Iya"
"Ayokk"
"Kemana?"
"Neduh"
"Udah basah."
"Percuma?"
"Iya"
"Yaudah pulang."
Ku iringi langkahnya dengan senyum percaya diri yang baru saja timbul.
Sang tuan terlalu pandai mengobrak-abrik hati, menerbangkan--menjatuhkan atau menerbangkannya lagi. Tuan, luka tanpa sengaja tadi terlalu cepat sembuh hanya sekadar mendengar kata tuan bukan suratnya.
(☆▽☆)(☆▽☆)(☆▽☆)
Happy reading ♡♡
KAMU SEDANG MEMBACA
PHILIA | Bangchan ( End ) REVISI
PoetryKu akui tak ada yang paling mengerti cinta selain tuan. End 14-07-2022