Thalia?

86 50 88
                                    

Sayup-sayup malu arunika menampak kan diri kali ini. Bukan karna apa entah sejak kapan awan kelabu menyelimuti cakrawala.

Mendung.

"Udah siap?"

"Udah."

Kami. Aku dan tuan cinta berjalan beriringan dengan gaun biru muda senada dengan tuksedonya  begitu serasi bak putri dan pangeran.

"Gelap. Semoga gak hujan."

Ku tatap langit dengan nanar sesekali berharap dengan semesta.

"Hujan juga gak papa"

Jawab tuan sambil berlalu.

"Hmm"

Aku berlari kecil mengimbangi jalan sang tuan.

"Hujan itu rahmad"

"Hmm"

"Ko hmm. Marah?"

"Gak."

"Terus?"

"Lagi mikir aja Bay. Kemaren-kemaren aku merasa mendapatkan satu paket komplit cinta, paket satunya bahagia dan satunya lagi patah hati."

"Lalu?"

"Lalu hari ini paket patah hatinya udah gak ada. Cuma ada satu paket, paket bahagia."

Ucapku sambil berjalan dan menatap nanar di depan sana.

"Paket patah hati nya kemana?"

Tanya sang tuan mengiringi langkah ku.

"Disana"

Mata sang tuan dengan cepat mengikuti arah telunjuk ku.

"Thalia?"

"Iya"

"Kenapa lia?"

"Karna lia salah satu sumbernya.

"Salah satu?"

"Iya. Satunya lagi kamu. Tapi sekarang udah gak"

"Karna lia sama orang lain?"

"Iya."

"Makasih udah mau bertahan meski patah yang pernah aku buat"

Aku dan tuan berjalan menuju pelaminan untuk mengucapkan selamat ke lia atas pernikahannya.

   ♡♡

"Bia"

Teriak seorang gadis cantik dengan rambut sebahu dari sebrang jalan.

"Gak usah nyebrang gue aja"

Ucapnya sambil sedikit berlari menyebrangi jalan.

"Tumben Re kemari"

"Iya, gak boleh ketemu lo?"

"Emm.. bisa di bilang begitu"

Takk.,, Satu jitakan mendarat di dahiku.

"Sakit Ree..."

"Sakit mana sama yang kemaren-kemaren"

"Yang kemaren simulasi doang Ree"

"Udah dong ujiannya?"

"Belum Re di batalin."

"Why?"

"Corona"

Tak,,, sekali lagi jitakan dari Rea mendarat di kepalaku.

"Aduhh.. bercanda Re. Kemaren itu cuma kesalahpahaman"

"Hmm maksudnya?"

Aku tersenyum ketika mengingat hari hari menyedihkan waktu itu. Sudah ku bilang tuan cinta tak pernah berpaling dari ku meski aku goyah karna satu nona mengusik pikiran.

Aku tak pernah menjadi salah satunya dari awal aku adalah satu-satunya. Kadang satu-satunya tak menyadari bahwa ia hanya satu, ia lebih melihat sang imitasi yang ada di mana-mana sama seperti dirinya.

"Lia emang cuma teman"

"Teman gak sampai segitunya kan?"

"Emm" ucapku mengangguk membenarkan.

Lia emang gak cuma teman tapi memang lebih dari itu. Bahkan aku pun di urutan setelahnya.

"Lalu?"

"Lia saudara sesusu"

"WHAT. Jadi mereka saudara?"

"Hmmm"

"Jadi lo di urutan kedua dong?"

"Nggak"

"Lalu?"

"Terakhir!"

Rea mengangguk. Karena rea juga sama punya prinsip meletakkan orang yang ia cinta di posisi terakhir. Terakhir tidak terlalu buruk, terakhir adalah segalanya. Meski terakhir kalau prioritas yang pertama bisa apa. Itu kata rea waktu itu.

Aku percaya meski aku terakhir di urutan tuan cinta tapi aku prioritas utama sang tuan. Yang terakhir selalu menang bukan?. Makanya banyak orang mendamba jadi si bungsu dari pada sisulung.

(☆▽☆)(☆▽☆)(☆▽☆)

Happy reading ♡♡

PHILIA | Bangchan ( End ) REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang