BAB XII 🌷

141 29 3
                                    

Aya udah janji selesaikan tulisan ini sampai tamat.

Maaf kalau update-nya lama dan buat kalian nungguin.

Happy Reading Gaes (!) 😚
___________________
__________________________


Pagi terlalu indah bila tak dinikmati. Tidur sebentar dan sholat subuh membuat Elia bugar setelah kemarin, jadwal yang sangat padat menyiksa hampir saja membunuh semangatnya untuk hari ini. Sebuah alat bantu dengar tergeletak bersama benda-benda lain di lemari kaca miliknya. Itu barang yang sangat penting, Eli menyimpannya begitu baik. Khawatir bila rusak. Entah apa yang mendorong Elia kembali memungut benda mungil itu.

***

Tak ada yang bisa membuat Elia melupakan momen pertamanya bertemu Dandelion. Jika hari itu buku tugas di dalam tasnya tidak tertukar dengan punya Kak Zoya dan ia tidak dihukum gurunya karena lupa membawa pekerjaan rumah, mungkin pertemuannya dengan Dandelion mirip adegan sinetron FTV remaja di Indonesia. Cinta pertama atau cinta monyet yah? Apalah itu istilahnya di Indonesia, jikalau Elia paham istilah itu, pasti dia akan menyebut Dandelion cinta pertamanya. Klise, karena Elia sebenarnya sudah jatuh cinta dengan Dandelion pada pandangan pertama awal aku berjumpa (hiyaa mirip lirik lagu, hehe). Siapa juga yang tidak tertarik dengan bocah lelaki bermata hazel pecinta kucing itu. Apalagi melihatnya menggendong anak kucing di bawah terik mentari. Rambut hitam lurusnya diterpa angin sejuk nan harum bunga musim semi. Indah, menakjubkan, menawan hati.

Bagaimana dengan istilah cinta sejati yang dibicarakan orang-orang dewasa itu? Ya Ampun, di usia segitu mana ada Elia paham istilah true love. Sebutan cinta monyet jauh lebih cocok. Entah mengapa disebut demikian, padahal yang jatuh cinta manusia. Bukan monyet.

Jalan setapak dengan taman pusat Kota Istanbul adalah jalanan yang sering dilalui Elia saat pulang sekolah. Ini sudah tiga hari semenjak terakhir kali ia bertemu anak laki-laki bernama Dandelion itu. Menurut Elia dia spesial, karena selama ini, Elia sendiri tak pernah punya teman penyandang disabilitas seperti Dandelion.

Sekolah Elia sampai sore, ia mengikuti kelas tambahan sesuai apa yang disarankan Paman Zaen. Kak Zoya adalah guru bahasa yang hebat bagi Elia, ia cepat belajar dan fasih berbahasa Turki berkat Kak Zoy-nya. Meskipun aksen Mesir dan medhok Jawa-Indo masih tertinggal di lidah Elia. Yah, setidaknya ia sudah mampu menguasai bahasa lain yang bukan bahasa ibunya. Untuk anak yang masih berusia setingkat lima SD, Elia tergolong sangat cepat belajar. Mungkin bakat kecerdasan bahasa itu didapat dari ayah atau neneknya.

ITU DANDELION! Seru Elia dalam hati yang diwujudkan dengan mata melotot menyadari presensi Lion. Tangan Eli rapat mencengkram pegangan tas selempangnya. Ia masih merasa bersalah telah tidak sengaja menginjak alat bantu dengar milik Lion yang terjatuh dari pohon sampaihancur, alasan itu jugalah yang membuat Elia selama ini mencari Lion, untuk menggantinya dengan yang baru. Meskipun gadis itu sangat yakin kalau Lion sudah membeli benda krusialnya lebih dulu. Bayangan Elia, mana mungkin orang bisa hidup nyaman tanpa bisa mendengar apapun.

Bocah itu juga masih memakai seragam sekolah sama sepertinya. Sebelum Elia tahu kalau seragam yang dipakai Lion adalah milik salah satu sekolah khusus anak penyandang disabilitas di Istanbul. Dua bocah yang lucu. Satunya ragu-ragu hendak mendekat atau tidak, satunya sibuk memberi makan kucing yang ditolongnya terjebak di atas pohon tempo dulu. Tidak peduli atau memang tidak bisa menyadari presensi gadis yang sejak tadi berdiri di belakangnya mengamati ia memberi makan kucing. Lion tidak menoleh.

Maju atau tidak?

Maju? Mau bilang apa kau, hah? Hai, Lion. Masih ingat aku? Aku Eli, yang menghancurkan alat bantu pendengaranmu tiga hari lalu. Maaf, baru kuganti sekarang. Kakakku Zoya baru ada waktu mengantarku ke pusat toko alat penyandang disabilitas, aku masih kecil dan tidak bisa memesan online, Paman Zaen tidak mengizinkan hal semacam itu. BODOH, alasan macam apa itu! Bagaimana caranya mengatakan pada Lion, menulisnya pada selembar kertas? Aduh.

𝐖𝐡𝐞𝐧 𝐈 𝐂𝐚𝐧 𝐇𝐞𝐚𝐫 𝐘𝐨𝐮𝐫 𝐌𝐞𝐥𝐥𝐢𝐟𝐥𝐮𝐨𝐢𝐬 𝐕𝐨𝐢𝐜𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang