BAB XIII 🌷

59 14 0
                                    

Happy Reading Gaes (!) 😚
___________________
__________________________


"AAAaaa!"

Elia berteriak saat tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundaknya dari belakang, refleks saja memukul dengan kepalan tangan sosok di belakangnya sampai terdengar bunyi, BUGH! Tepat sasaran di sekitaran perut.

"AW! SAKIT, KAK ELI!" Orang yang terjatuh di gundukan salju merintih sambil memegangi perut. Entah mendarat dimana hantaman gadis delapan belas tahun yang lulus beladiri karate penyandang sabuk hitam itu, bisa di uluh hati, ginjal, atau lambung. Satu hal yang pasti, korbannya belum bisa berdiri.

Elia melebarkan telinga, suara itu tak asing. Harusnya dia tidak tiba-tiba memukul orang asing, hanya karena menduga hendak berbuat jahat. Tampilannya yang serba hitam juga tertutup membuat Elia tak bisa mengenali dengan jelas siapakah sosok itu, tapi suaranya tak asing. Ed Haq?

"YA AMPUN, kukira kau penculik atau stalker gila yang terobsesi mengikutiku." Elia membantu Ed Haq berdiri sambil memeriksa perutnya.

Dengan gerakan patah-patah, Ed Haq membuka penutup maskernya. Mulut yang masih meringis menahan sakit, efek pukulan itu luar biasa. Mual sekali rasanya. "Kalau sampai bekas pukulan itu memar, Kak Eli HARUS TANGGUNG JAWAB," sergah Ed Haq.

Elia sekarang panik. "Coba lihat," tangannya berusaha membuka jaket hitam tebal Ed Haq.

Pipi anak lelaki albino enam belas tahun itu memerah, "Hei, hei!" Tangannya mencegah perbuatan Elia, "Jangan coba berbuat mesum di sini, Kak Eliiii." Gawat kalau ada yang lihat.

"Diam atau kupukul lagi muka merahmu!" Elia mode galak. Dia meraih tangan kanan Si Albino, membantu Ed Haq berdiri, dan memapah tubuh Ed Haq yang lebih tinggi darinya agar bisa berjalan.

"Bodoh, kenapa kau ikuti aku?" Mereka berdua berjalan dengan kaki Ed Haq yang masih belum normal karena menahan sakit.

Ed Haq menghela napas, "Kau kira normal, seseorang subuh-subuh keluar rumah berlari terburu-buru begitu dengan mengendap-endap ala maling yang takut ketahuan? Sebagai saudaramu yang baik, melihat Kak Elia seperti kerasukan setan subuh, jadilah aku mengikuti sampai kemari." Rasa sakit di perut itu, setidaknya sudah berukurang seperempat dari yang awal.

Benar, Ed Haq dan keluarganya mungkin belum tahu tentang trauma milik Elia. Bahkan mungkin tentang Dandelion. Hanya keluarga Paman Zaen, juga kedua orang tuanya yang tahu. Selebihnya tidak. Elia benar-benar merasa seolah gila karena Lion. Mereka berjalan pulang, untung saja taman ini tak jauh dari rumah. Ada bangku taman di dekat sana. Elia berinisiatif mendudukan Ed Haq.

Kayu tempat duduk panjang  yang berjejeran sepanjang jalanan dingin membeku, terasa menusuk sampai ke dalam kulit, bahkan dengan bantuan yang pakaian berlapis-lapis tebal pun. Tak mampu menahannya. Namun, lumayan daripada terus berdiri. Lagipula cuaca mendukung minus suhu tak terlalu ekstrem.

"Perutmu sudah membaik?" tanya Elia penuh rasa bersalah. Memastikan Ed Haq baik-baik saja.

"Lumayan. Mungkin tak akan ada bekas luka memar. Kak Eli bisa bernapas lega sekarang, tak akan ada ganti rugi akibat perbuatan memukul orang sembarangan tadi." Ed Haq tertawa, sembari menilik wajah menggemaskan Elia yang bercampur antara sedih, merasa bersalah, panik, dan ketakutan.

Bola mata biru keduanya bertemu, "Ada urusan apa kau menguntitku?"

Ed Haq diam sejenak, "Aku cemas. Takut Kak Eli kenapa-kenapa. Aku ada berita bagus, tadi malam Kak Zoya bilang kalau hari ini sibuk menyiapkan konsep pagelaran busana untuk menyambut musim semi bersama Paman Zaen. So, Ed Haq-mu ini sepertinya akan menjadi manajer pengganti sementara sampai Kak Zoya menemukan seseorang yang tepat."

"APA?" Elia melepaskan tangan Ed Haq dan membuatnya terjatuh kembali. Kabar buruk, benar-benar kabar buruk. Kenapa Kak Zoya membiarkan anak umur enam belas tahun jadi manajernya? Tidak adakah orang lain yang lebih layak selain Ed Haq?

Dia harus menanyakannya sendiri. Ed Haq mengaduh karena bokongnya terjatuh lagi. Untung saja mereka sudah dekat depan gerbang rumah Keluarga Sevgi.

Susah payah Ed Haq bangun, melihat Elia mencak-mencak masuk ke dalam gerbang sambil mengabaikan satpam dengan muka kesalnya.

Ed Haq tertawa. Aduh, lupa pada perutnya yang ternyata masih sakit.

***

Ruang makan Keluarga Sevgi sedang ramai sekali, meja kayu raksasa berbentuk elips yang biasanya hanya terisi empat orang anggota keluarga (itu pun bila Zoya dan Elia juga bergabung) kini benar-benar penuh. Duhai padat, para pelayan yang banyak jumlahnya terlihat amat sibuk mondar-mandir melayani ke sana dan ke sini.

Dentingan sendok juga garbu saling bersahutan mengisi kekosongan tanpa percakapan berarti. Semua diam, khusyuk pada piring masing-masing di depan mereka. Sampai pada ketika semua orang sudah selesai dengan sarapan, Elia baru berani bicara. Tata kramanya begitu.

"Kak Zoy," seseorang di sebelah Elia, yang dipanggil menoleh sambil menyeruput air dari gelasnya. Bertanya dengan gestur wajah perihal kenapa memanggil namanya tiba-tiba. "Kenapa harus Ed Haq?"

Seteguk cairan itu dibiarkan melewati kerongkongan sebelum ia harus bersilat kata memberi jawaban untuk Elia yang cerewet ngeyelnya setara tujuh orang. Dia kira Elia tidak akan tahu lebih cepat, seharusnya Zoya sudah menduga kalau mulut comberan Ed Haq pasti koar-koar keputusan sepihak Zoya itu pada Elia.

"Hari ini ada rapat di butik luar kota. Baba menyuruhku menggantikannya karena sayang pada undangan penutupan pekan fashion musim dingin di Paris. Setidaknya hari terakhir datang, aku yang mengurus sisa pekerjaan yang belum Baba kerjakan." Singkat, padat, bermakna tunggal. Elia mungkin sulit mengelak pada hal itu.

Wajah kecewa Elia terlihat jelas begitu Zoya selesai bicara tanpa ekspresi. "Bukannya Paman Zaen punya sekretaris pribadi? Kak Zoya harus tetap menemaniku, aku takut sendirian tanpa Kakak." Jelas Kak Zoya-nya lebih memilih pekerjaan yang dirintis oleh leluhur itu daripada menjadi Baby Sitter berkedok Manajer Angelia Sevgi.

Napasnya mendesah berat, "Aku sibuk, Eli. Manajermu baru bisa bekerja musim semi beberapa minggu lagi. Paling cepat besok lusa. Sementara kau bersama Ed Haq. Dia juga tidak ada pekerjaan di rumah dan menawarkan diri. Aku sudah jelaskan jadwalmu padanya. Juga beberapa kontak rekan kerja. Percayakan pada Ed Haq. Kalian juga bisa lebih dekat bila sering bersama."

"T-tapi, Kak Zoy?" Kalimat Elia tercekal begitu saja. Dia sebal Kak Zoya mendukung omong kosong ibunya dan ibu Ed Haq soal perjodohan konyol itu. Lagi pula, Elia tak mau. Penolakannya kurang jelaskah?

Zoya menatap sinis, "Kau pilih bersama Ed Haq atau Elian?"

"ED HAQ SAJA!"

Sekakmat.

Elia kalah.

.
..
...
.....
........

To be continued _✍____________________________________________________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To be continued _✍
_________________________
___________________________

Stay terus, see ya next chapter!
😘❤

𝐖𝐡𝐞𝐧 𝐈 𝐂𝐚𝐧 𝐇𝐞𝐚𝐫 𝐘𝐨𝐮𝐫 𝐌𝐞𝐥𝐥𝐢𝐟𝐥𝐮𝐨𝐢𝐬 𝐕𝐨𝐢𝐜𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang