5 jam berlalu sejak tibanya Alya di rumahnya, ia telah selesai mandi. Pakaian yang ia bawa di kopernya telah tersusun rapi di dalam lemari. Debu-debu yang mendiami sudut-sudut kamarnya pun telah disapu bersih. Tapi tetap saja hening tetap enggan untuk menguap pergi.
Dilihatnya jam di atas meja, kemudian pada langit yang menggelap di luar jendela kacanya. Selimutnya tertarik hingga menutup setengah wajah. Ia cengkram lebih erat selimutnya. Bibir bawahnya terapit oleh gigi. Berusaha ia kendalikan untuk tak menggigitnya hingga terluka.
Gelap mulai menghampiri kamarnya. Cahaya sedikit demi sedikit beranjak. Hingga hitam sepenuhnya menelan ruangan itu. Gelap itu melumpuhkan indra penglihatannya, mempertajam pendengarannya. Tak ada suara.
Air matanya perlahan menetes. Ia cengkram selimutnya erat hingga menggulung dalam peluk tanpa menyelimutinya. Sebuah gelengan dihasilkan kepalanya.
"No" isaknya. Ia tidak ingin berada di sini.
Larut dalam tangis, indra yang lainnya menyusul menjadi hanya pajangan keindahan fisik. Melengkapi komponen bodoh yang telah menjadi miliknya sejak bertahun-tahun lalu. Dan kini menjerumuskannya pada pandangan dingin ibunya di ambang pintu.
"Waktunya makan, Ya" ujarnya membalik badan. Dingin terhadap air mata hangat yang mengaliri pipi putrinya.
Alya menatap muram cahaya dari luar yang menyerbu kamarnya. Menjajah wilayah pribadinya begitu saja. Mengambil haknya untuk menangis.
***
Melangkah ke ruang makan, Alya serupa tahanan yang menemui ujung pancung. Mamanya yang duduk di hadapannya bertingkah seolah ia bukan orang tua yang berpura-pura tak menyadari keberadaan anaknya. Sikap seolah semua normal dan baik-baik saja yang selalu ditunjukkan Mamanya serupa hukuman tembak mati. Hanya sebuah cara eksekusi yang lain.
Alya memaku pandangannya kepada piring yang menampung nasi. Sekalipun ingin sebenarnya adalah menunduk hingga hanya melihat pada pangkuan. Tapi orang yang salah akan terlalu tak tahu diri kalau merasa berhak menghindari cercaan dengan menunduk. Namun sekalipun begitu, juga tak pantas mengangkat dagu lebih tinggi seolah tak sadar ia memalukan.
Papanya yang berada di samping kirinya, di kepala meja, pun tak bersuara. Sekalipun ia kepala keluarga, kesalahan di masa lalu membuat otoritasnya mengisut banyak. Alya tahu bagaimana rasanya. Sesama orang yang melakukan kesalahan, ia tahu suara mereka tak layak lagi diperdengarkan.
Tapi bagaimana pun, setidaknya sekalipun hanya formalitas, Papanya tetaplah pemimpin keluarga. Terkadang kalimatnya sedikit berhak untuk muncul ke permukaan. Seperti permintaan agar Alya pulang ke rumah karena sedang masa pandemi. Papanya merasa keluarga sudah seharusnya berkumpul di saat menjalani hal berat. Khawatir pula anaknya sakit sendirian di tanah orang. Kalau memang ajal menjemput, minimalnya saat sedang ada keluarga di sisi.
Alya tak tahu perdebatan apa saja yang Papanya lalui hingga bisa menyampaikan pesan itu padanya. Dan kembali lagi, Alya adalah anak yang penuh dosa. Tugasnya adalah mengangguk apapun yang diperintahkan padanya. Sekalipun ia tahu kedatangannya tak disambut, sudah kewajibannya memenuhi permintaan itu.
"Maaf. Jadi pada nunggu, ya? Tadi temen aku nelfon masalah kerja soalnya"
Suara itu membuat lidah Alya kelu. Eksekusi. Ini detik peluru lepas menembus tengkorak kepalanya. Momen nadi lehernya terjepit di tali pancung. Tapi ia tak mati. Ia diharuskan menerima semua sakit itu tanpa melarikan diri kepada kematian. Berkali-kali ia berpikir untuk berdo'a agar nyawanya dicabut. Tapi ia sadar itu permintaan yang terlalu tak tahu diri. Tuhan sekalipun akan mencemooh inginnya yang berharap semua berakhir. Berdo'a bukan hak pendosa. Karena itu harus ia telan kembali do'anya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SIN [ONESHOT]
RomanceKarena kayaknya susah kalau cerita oneshot-ku pisah-pisah. Jadi aku gabung aja dalam satu judul.