"How Does It Feel?" - Part 3

260 20 16
                                    

Seks membuat banyak hormone bereaksi. Semuanya bisa tampak indah saat mereka ingin meraih puncak kenikmatan. Tapi tidak ketika pikiran mereka kembali normal.

Isaac dengan ragu-ragu membawa sarapan ke dalam kamarnya. Naomi tak berbicara padanya sejak tadi pagi. Bahkan gadis itu membelakanginya.

Isaac jadi ciut. Takut yang terjadi tadi malam hanyalah karena keputusan yang impulsif. Takut Naomi hanya mencintainya dalam satu waktu. Hanya terbawa suasana. Takut Naomi menyesal karena telah kehilangan keperawanannya.

"Makan, Na," ajak Isaac.

Gadis itu tak menanggapi. Membuat Isaac semakin berkecil hati.

Isaac tahu bahwa tiap gadis diajarkan ketat untuk menjaga dirinya. Bahkan di jaman sekarang, walau seks bebas sudah lebih meluas, pada dasarnya orang-orang tahu itu salah. Makanya tak ada yang pernah mengajarkan pada anaknya "Berhubungan seks lah sebanyak-banyaknya. Keperawanan itu bukan hal penting kok". Orang-orang selalu berusaha menyembunyikan sekalipun kenyataannya mereka telah tidur dengan banyak orang. Karena pada dasarnya mereka tidak bangga atas hal itu, hanya tak bisa menahan diri saja.

Tekanan untuk menjaga diri lebih ditekankan pada wanita. Seolah mereka hewan buruan yang harus menyelamatkan diri dari predator. Mereka jadi terobsesi agar tak menjadi buruan, seolah mereka akan kehilangan masa depan di detik pertama mereka kehilangan selaput daranya.

Begitu kuat ajaran itu, sampai Isaac dengar beberapa wanita bahkan tidak suka ketika keperawanannya dirusak oleh suaminya. Mereka disugesti bahwa selaput dara adalah bukti kesucian mereka. Dan saat itu hilang bahkan oleh suami sahnya pun, mereka merasa kesucian itu dirampas. Mereka tidak suci lagi. Mereka merasa kotor.

Tidak masalah bagi Isaac kalau hanya itu yang Naomi rasakan saat ini. Isaac bisa menunggunya sampai tenang. Tapi sebenarnya Isaac tak merasa percaya diri. Kalau bisa, siapapun pasti bermimpi untuk berhubungan seks pertama kali saat menikah. Oleh orang yang dicintai. Dengan cara yang terhormat. Yang dapat bertanggung jawab atas tindakannya.

Sedangkan Isaac merasa ia seperti pecundang. Ia tak menikahi Naomi. Caranya terasa sangat rendah. Bahkan ketika ia melirik ke tong sampah, ia ditampar oleh betapa pengecut ia. Di sana masih terlihat kondom berlumuran selaput dara Naomi. Bukti bahwa ia bahkan tak berani bertanggung jawab atas kenikmatan yang ia ambil.

Diperawani oleh kondom mungkin hal yang tak diinginkan perempuan manapun.

Isaac duduk disamping gadis itu. Memeluknya, mengecup-ngecup pelan punggung polosnya. Ingin mengingatkan kebahagiaan yang mereka bagi tadi malam. Tak ingin Naomi meragu atas hubungan ini.

"Saac?"

"Ya, sayang?" balasnya sengaja dengan nada rayuan.

Naomi menoleh. Ekspresinya tak bersemangat. "Boleh gak aku tinggal di sini aja?"

Isaac terkejut, tentu saja. Tapi ia tak ingin menolak mentah-mentah. Walau ada sedikit kelegaan di dalam hatinya. Ternyata Naomi tampak risau bukan karena penyesalan. Melainkan bingung menghadapi mamanya.

"Na,-"

"Aku gak bisa lagi lihat mama seolah gak tau apapun," ungkapnya sendu. Bagaimana mungkin mamanya dengan tak tahu malu membawa pria itu ke hadapannya? Naomi benar-benar tak habis pikir.

"Sayang, aku pengen banget kita tinggal bareng. Bener-bener pengen. Aku bisa usaha biayain kita berdua. Tapi kamu tahu kita tetap gak bisa, kan?"

Isaac belai wajah cantik pacarnya. "Mama kamu pasti kecarian, Na. Dan kalau dia tahu kamu di sini, hubungan kita gak mungkin bisa lanjut."

"Na, aku gak pengen kita putus." Isaac kecup-kecup tangan Naomi dalam genggamannya. "Tolong kamu ngerti."

"Tapi, Saac-"

SIN [ONESHOT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang