Written In The Stars ⭐ - Part 1

672 17 1
                                    

Sebenarnya ini cerita oneshot. Tapi panjang bingits, kesannya maksa oneshot. Akhirnya aku bagi ke 3 part. Selamat menikmati.




Adnan bergegas menghampiri pintu kamar inap istrinya ketika perawat mempersilahkannya masuk.

“Istri saya kenapa, Dok?” tanyanya dengan raut cemas. Tangannya menggenggam erat tangan istrinya. Sedangkan wanita itu tersenyum lemah barang sekedar berusaha menghilangkan kerisauan suaminya.

“Gak kenapa-napa kok, Pak. Pingsan itu hal yang umum kok bagi ibu hamil. Lagi nyesuain aja ke perubahan tubuhnya.”

Adnan dan Sabilah saling bertukar tatapan. “Hamil?!”

“Perbanyak minum air putih, kalau bisa tidurnya jangan terlentang, sama saya anjurkan olahraga ringan, semisal yoga.” Ia pun menyempatkan seulas senyum sebelum pergi. “Saya permisi.”

Adnan dan Sabilah masih mematung. Sang istri menggoyang tangan suaminya. “Mas, gimana dong?” tanyanya resah.

Adnan masih tak bersuara. Sabilah memiliki polip di rahimnya, sangat tidak memungkinkan untuk bisa hamil. Ia telah tahu itu sejak sebelum mereka menikah. Dan ia menerima sepenuhnya kekurangan wanitanya. Namun sejak awal mereka berdua sama-sama suka anak kecil. Karena itu 2 tahun pernikahan mereka masih berusaha untuk memiliki keturunan.

Mungkin dikatakan harapan mereka muluk-muluk, tapi mereka telah beberapa kali mendengar kejadian orang yang divonis mandul akhirnya dikaruniai anak. Bahkan tidak hanya satu anak. Temannya yang divonis mandul bahkan sampai melahirkan secara normal 5 anak yang sehat. Tidak salah kan kalau mereka berharap keajaiban juga terjadi dalam pernikahan mereka?

2 tahun adalah umur pernikahan yang masih pendek. Walau bagi masyarakat tak wajar dalam kurun 2 tahun tak jua memiliki keturunan, namun menurut medis itu masih wajar. Tapi karena telah mengetahui kondisi Sabilah, usaha selama 2 tahun yang gagal memberi gambaran bagi mereka bahwa mereka akan terus gagal untuk 10 tahun ke depan sekalipun.

“Michelle, gimana?” tanya Sabilah.

Surrogate mother yang mereka sewa. Usia kehamilannya telah mencapai bulan ke-4.

“Aku sama Michelle hamil barengan….that’s mess up.”

Sekejap, ada penyesalan. Biaya yang mereka keluarkan untuk program bayi tabung tidaklah murah. Kalau mereka sabar dalam 4 bulan saja, mereka tak perlu ikut program bayi tabung segala.

Oke. Sebenarnya biaya bukanlah masalah utamanya. Tapi butuh waktu untuk Sabilah meyakinkan diri bahwa anak yang tidak ia kandung dan ia lahirkan adalah anaknya. Itu sel telurnya. Berkali-kali ia katakan itu pada dirinya.

Sekalipun ia tidak tahu apa bisa disebut seorang ibu jika wanita itu tidak hamil, mekahirkan ataupun menyusui. Itu pergolakan batin yang lama. Dan setelah ia akhirnya berusaha ikhlas, malah kabar seperti ini yang mereka dapat. Ketidak ikhlasan itu muncul kembali.

“Hey, it’s okay. Kita suka anak kecil, kan? Surprise banget kan kita dikaruniai 2 anak sekaligus. See? Allah gak tidur. Dia denger do’a kita selama ini.”

“That’s not the point,” sangkal Sabilah. “Mas, waktu anak itu lahir-“

“Anak kita,” tegur Adnan lembut.

“Waktu anak kita yang ada di perut Michelle lahir, aku bakal udah di trisemester ketiga. Udah mudah banget capek. Aku gak bisa hamil sekaligus ngurus anak sekecil itu. 3 bulan sampe aku ngelahirin yang ngurus dia siapa? 1-3 bulan itu fragile banget, Mas. Harus dipantau terus. Sedangkan aku gak dalam kondisi fisik yang mampu buat itu.”

“Mas bantuin, Sayang. Kan anak kita berdua.”

Sabilah menggeleng. Ia menggigit ragu bibirnya. “Mas, umur 4 bulan itu masih bisa abor-“

SIN [ONESHOT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang